FYI.

This story is over 5 years old.

Budaya

Potret Warna-Warni Pakaian yang Dipakai Dalam Upacara Adat dan Keagamaan di Jepang

Charles Fréger menghabiskan bertahun-tahun memotret berbagai upacara di daerah-daerah terpencil di Jepang. Hasil jepretannya bisa kalian lihat di sini.
Foto seragam upacara adat di Jepang, dipotret oleh Fréger
Semua foto diunggah seizin Charles Fréger

Tajuk kumpulan foto terbaru dari fotografer kelahiran Prancis Charles Fréger adalah Yokainoshima, atau secara harfiah berarti "pulau monster." Ditemani seorang pemandu lokal, Fréger bepergian menyusuri daerah-daerah terpencil di Jepang sebanyak lima kali, dari kurun 2013 sampai 2015. Dia melakukannya demi memotret foto pakaian yang dipakai untuk upacara adat dan keagamaan.

Berbagai pakaian itu––dari rok jerami hingga kimono berwarna cerah––hanya dikenakan untuk upacara demi memohon kesuburan, hasil panen melimpah, atau membasmi roh jahat. Setelah menyelesaikan proyek foto sebelumnya, Wilder Mann (2010-2011), yang mendalami tradisi-tradisi panen mistis di Eropa, Fréger beralih menjelajahi adat-adat serupa di seluruh dunia. Topik yang langsung membuatnya terbang ke Jepang.

Iklan

Spesialisasi Fréger selama karirnya adalah pemotretan yang berfokus pada kegiatan komunitas, yang biasanya bertema tradisi cerita rakyat. Dia pernah mendokumentasikan pakaian Mardi Gras berbulu cerah penduduk asli benua Amerika. Dia juga memotret aneka seragam maritim profesional di Outremer, Prancis.

Ketertarikannya pada tata busana mendorongnya untuk bekerjasama dengan berbagai perancang busana –– termasuk Manish Arora asal India, yang seperti Charles, tertarik pada tekstil dan pola-pola unik.

Kami mengobrol bersama Fréger membahas latar belakangnya dulu yang pernah bekerja sebagai petani, ketertarikannya pada bermacam jenis kain, dan mengapa dia tak pernah merasa layak disebut antroplog, sekalipun fotonya punya semangat antropologi yang kuat.

Berikut cuplikan obrolan kami:

VICE: Halo, bisakah kamu cerita latar belakangmu? Kenapa tertarik dengan fotografi?
Charles Fréger: Saya berasal dari daerah terpencil; ayah saya petani dan saya belajar pertanian sebelum sekolah di École des Beaux Arts di Rougen pada umur 20. Di kampus saya mulai melukis, tapi saya langsung beralih ke fotografi potret, dan fokus pada semua topik seputar komunitas. Saya suka dengan gagasan proyek seni berseri. Seri foto Wilder Mann dan Yokainoshima menghubungkan kembali pada akar saya sebagai penduduk daerah terpencil.

Seragam dan pakaian upacara adat sering muncul dalam karyamu. Apakah hal-hal seperti itu juga ada di Prancis?
Di kampung halaman saya tidak ada banyak ritual; daerahnya bernama le Berry. Di situ tidak ada tradisi masquerade, tapi ada tradisi penyihiran, yang berlangsung sampai tahun 1940-an atau 1950-an, tapi sudah menghilang. Dulu juga ada kepercayaan mengenai penyembuh, khususnya penyembuh perempuan, yang sampai sekarang masih ada di daerah itu. Kami menyebut mereka tukang sihir.

Iklan

Pada Yokainoshima, tradisi yang kamu potret tampak sangat dipengaruhi unsur gender, secara spesifik maskulinitas. Apakah perempuan terlibat secara inklusif dalam tradisi adat di Jepang?
Di Eropa dan Jepang, fenomenanya sama: sebagian besar tradisi masquerade sangat didominasi laki-laki. Saya pikir ada hubungan antara kesuburan pertanian dan maskulinitas. Ada festival di pulau Sado di Jepang, di selatannya Kagoshima, di mana kostum laki-laki mempunyai alat kelamin raksasa yang seharusnya membawa kesuburan, terutama bagi panen beras. Saya juga kebetulan lebih banyak memotret ritual yang dilaksanakan laki-laki.

Mengingat fokusmu pada pakaian dan silhouette, apakah kamu tertarik sama fotografi fesyen?
Saya pernah melakukan fotografi fesyen, dan [karyaku] masih mengacu pada seni pahat: saya mengaitkan model dengan bahan. Untuk pemotretan fesyen yang saya lakukan, pose-posenya sangat mirip dengan yang terlihat dalam Wilder Mann dan Yokainoshima. Ini bukan pose-pose model tipikal; posenya lebih mewujudkan tarian atau perayaan, yang bisa menyerupai keriangan atau kesurupan.

Seperti apa caramu menjalin hubungan dengan subyek yang difoto? Apakah kamu memikirkan pose-pose tertentu terlebih dahulu?
Selalu ada konteksnya. Kamu tidak bisa mengantisipasi keseluruhan parameter sebuah potret. Kamu harus beradaptasi pada situasi, cuaca, reaksi para subjek, dan pakaiannya. Ada unsur-unsur tak terduga –– juga untuk fotografi fesyen. Entah namanya improvisasi atau apa, tapi kamu tetap harus beradaptasi. Saya mempunyai protokol fotografik dengan penyinaran, cara penyusunan, dan hubungan saya dengan orang yang saya potret: dan itu semua cukup ketat. Saya mereproduksi cara memotret yang cukup unik. Selalu ada ide untuk menciptakan harmoni atau koneksi antara model dan lingkungannya. Pilihan lokasi untuk pemotretan sangat kritis, dan saya jarang memotret di studio. Lokasi yang saya pilih selalu dihuni orang, ada esensi khasnya, entah di alam ataupun tempat tertutup.

Iklan

Apakah kamu merasa ada unsur antropologis dalam karyamu? Apakah sifat serial foto-fotomu menciptakan semacam tipologi?
Ini sebuah serialitas artistik. Saya mulai dengan ide bahwa saya takkan membuat karya tipologis atau antropologis; seri ini hanya selengkap konsepsi visual saya akan apa yang saya potret. Ketika ada grup, saya belum tentu memotret semua orang, karena tidak semua orang sesuai dengan apa yang saya inginkan.

Saya tidak bekerja secara ilmiah; saya tidak mencari netralitas. Saya juga tidak mencari kontak jangka panjang dengan subjek saya. Saya bahkan tidak mengamati ritualnya secara langsung. Saya mengkonstruksinya, alih-alih memotret langsung ritualnya. Saya mengintegrasi subjek saya ke dalam visi fotografik saya.

insanely-colorful-photos-of-japanese-ritualistic-garments-body-image-1469813849

Simak karya lain fotografer ini di situs charlesfreger.com

Artikel ini pertama kali tayang d i-D