FYI.

This story is over 5 years old.

Mata Uang Kripto

'Cryptomatoes': Gabungkan Penambangan Bitcoin sama Pertanian, Jadi Ramah Lingkungan

Cryptocurrency sering dikritik karena butuh listrik dalam jumlah besar untuk penambangannya. Berkat temuan dari Ceko ini, sekarang panas server enggak lagi terbuang percuma.
Kolase foto oleh Staff MUNCHIES. Sumber: akun Flickr Adam Selwood dan Antana

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES

Desember tahun lalu, Bitcoin mencapai nilai tertingginya: US$19.738 [setara Rp270 juta rupiah] per satuannya. Alhasil, banyak orang di sekitarmu pasti tiba-tiba keranjingan membahas duit kripto. Kini, meski nilai sudah anjlok ke angka US$8.009 [sekitar Rp109 juta] per satuannya, Bitcoin masih saja ramai dibicarakan. Artinya, dalam beberapa waktu ke depan, kalau kamu punya teman yang terjun dalam skena duit kripto, kupingmu bakal masih sering disatroni percakapan tentang uang kripto dan kebutuhan listrik besar untuk menambang duit virtual.

Iklan

Seiring naiknya (atau turunnya—tergantung kapan kamu membaca artikel ini) Bitcoin, naik pula kebutuhan listrik untuk menambang duit kripto tersebut. “Sistemnya begini, sekelompok komputer berlomba cepat-cepatan menghabiskan daya listrik sebanyak-banyaknya, dan satu komputer yang menang akan dapat hadiah 12,5 Bitcoin,” begitu tertulis dalam sebuah artikel tentang Bitcoin dalam surat kabar the Guardian.

Makanya, penambang duit kripto selalu mencari wilayah dengan tarif listrik yang rendah. Imbasnya, sekelompok komputer di Islandia bakal menghabiskan daya listrik lebih banyak daripada penduduk negara mungil itu dalam setahun. Sebagai catatan, Islandia adalah surga bagi penambang Bitcoin karena punya energi listrik geotermal yang murah—ingat! Tarif listrik, bagi penambang duit kripto, sama dengan untung yang melimpah.

Selain tagihan listrik yang meroket, kegiatan menambang duit kripto adalah server dan rig yang kelebihan panas. (salah satu penambang level rendahan di Washington bahkan mengaku kalau panas server yang dia miliki cukup digunakan untuk menghangat seisi rumahnya selama musim dingin). Namun, bagi Kamil Brejcha, co-founder pusat penukaran mata uang digital NakamotoX di Ceko, tak ingin menyia-nyiakan panas tersebut. Brejcha mengungkap lewat akun Twitternya bahea Residu panas dari komputer server kantornya dialirkan ke sebuah rumah kaca yang berisi tomat atau “Cryptomatoes”—demikian Brejcha menamai tomat-tomat dalam rumah kaca itu.

Iklan

“Siapa coba yang pernah mikir kalau kegiatan menambang duit kripto dan pertanian bisa berjalan beriringan?” tulisanya. “Angkatan pertama cryptomatoes sudah siap panen. Kami memanfaatkan kelebihan panas [server kami] untuk memanaskan rumah kaca berisi tomat dan ternyata skema ini berhasil.”

Brejcha menolak membeberkan lebih jauh proyeknya (“kami bekerja dalam stealth mode,” dia terus mengulangnya) namun mengungkap bahwa rumah kaca milik perusahaan memiliki luas sekitar lima acre, bahwa tomatnya dalam waktu dekat bisa dibeli di toko-toko biasa di Praha, serta bahwa operasi tambang duit kripto menggunakan daya yang berasal dari sampah bio. “Bisa dibilang kami punya punya sebuah siklus daur ulang energi tertutup,” ujarnya.

Namannya juga Twitter, begitu Brejcha mengumumkan keberhasilannya bercocok tanam tomat dengan residu panas server penambang uang kriptonya, ada saja netizen yang ngelunjak, bertanya kenapa dirinya tak menanam ganja. “Sayangnya, karena aturan ketat yang berlaku di sini, kami tak berhasil mendapatkan lisensi untuk menanam ganja medis jadi kami harus memilih tomat atau sayuran lainnya,” jawab Brejcha kalem.

Ckckckck! Dasar netizen!