FYI.

This story is over 5 years old.

VIDEO GAME

Biarkan Saja Video Game Kembali Dituduh Mengajarkan Kekerasan, Nanti Juga Reda Sendiri

Presiden Trump menyalahkan video game sebagai pemicu penembakan massal di Parkland bulan lalu. Kalau benar begitu, banyak SMA lain mengalami penembakan juga dong selain di AS.
Cuplikan 'Doom'. Sumber foto: Bethesda

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Pekan ini Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertemu pimpinan industri video game di negaranya. Pertemuan itu berlangsung karena Trump menyimpulkan video game penuh kekerasan merupakan salah satu penyebab maraknya penembakan massal, seperti yang terjadi di Stoneman Douglas High School, Parkland, Florida, bulan lalu.

Saya pribadi tidak peduli Trump mau bilang apa soal isu tersebut karena dia sudah terlalu sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontradiktif dan sulit dipahami, yang biasanya gagal menghasilkan kebijakan konkret. Lebih baik kita tunggu saja dia mau ngapain. Saya enggak peduli dengan apa yang dibilang para perwakilan Entertainment Software Association, kelompok yang mewakili perusahaan-perusahaan game, kecuali jika mereka menggebrak meja Resolute dan berteriak “kontrol senjata atau mati,” yang merupakan sebuah permohonan sekaligus pernyataan faktual.

Iklan

Tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung kesimpulan Trump kalau video game penuh kekerasan menyebabkan penembakan massal. Sebagaimana disampaikan ESA, banyak bukti justru menunjukkan sebaliknya. Namun fakta-fakta di lapangan tidak mencegah Trump membangkitkan kembali kepanikan moral yang tak berlandasan ini. Saya tidak terkejut saat grup pelobi industri senjata api NRA menyalahkan video game. Mengkambinghitamkan orang lain, kecuali industri senjata api, memang pekerjaan mereka. Menyalahkan orang lain adalah alasan mereka ada. Tapi saya terkejut melihat publikasi arus utama seperti CNN merilis artikel opini yang isinya adalah "calon penembak massal latihan sebelum beraksi pakai video game."

Tulisan itu membawa saya kembali ke masa dua dekade lalu, di mana ada anggapan umum bahwa video game mengubah anak-anak menjadi pembunuh.

Orang-orang telah menggunakan alasan tersebut selama penembakan sekolah berlangsung. Video game tembak-tembakan, Doom, mendapatkan pemberitaan buruk di era 90'an karena para pelaku pembantaian SMA Columbine di Colorado memainkannya dan membicarakannya di internet. Pada titik tertentu, kerabat korban pembantaian Columbine gagal menuntut perusahaan video game, mengklaim bahwa tanpa video game tersebut “pembantaian tersebut tidak akan terjadi.”

(Catatan: Adik Donald Trump, Robert Trump, adalah satu anggota dewan Zenimax, perusahaan induk dari perilis video game Bethesda, yang kini memiliki Doom dan pengembang asilnya, id Software. Bethesda merilis beberapa video game yang paling bengis yang pernah dibuat, seperti Doom (2016), di mana pemain menginjak kepala lawan sampai meledak, dan menjalankan beragam “pembunuhan bergelora,” dan Wolfenstein II, di mana pemain menembak para Nazi, menancapkan kapak pada dada mereka, dan melakukan tindakan brutal lainnya dengan cara yang “kreatif.” Apakah Robert hadir pada rapat ini di Gedung Putih? Apakah dia diundang ke makan malam Thanksgiving?)

Iklan

Pada 1993, orang-orang sangat terkejut dengan kefatalan Mortal Kombat, Kongres mengadakan dengar pendapat soal game tersebut. Berikut adalah foto Joe Lieberman menggenggam pistol plastik biru:

Image: Twitter/ Robert Scott Patterson

Lieberman ingin melarang penjualan video game karena konten kekerasan di dalamnya. Akhirnya yang muncul adalah Entertainment Software Rating Board, sistem rating swaregulasi untuk video game yang saya yakin banget diabaikan oleh para orang tua karena setiap saya main Call of Duty saya bisa mendengar anak-anak berusia 10 tahun meneriakkan kata-kata makian lewat voice chat.

Di era awal 2000'an, ada pengacara anti video game kekerasan bernama Jack Thompson, yang perjuangannya melawan video game begitu gagal sampai-sampai izin praktiknya dicabut.

Setelah era Thompson berlalu, orang jadi tak terlalu kuatir soal video game. Ada hal-hal lain yang memicu kepanikan moral, seperti smartphone, media sosial, dan internet secara umum.

Lebih mudah untuk ikutan panik soal hal-hal yang tidak kita pahami, dan semua orang sekarang lumayan paham soal video game. Sebagaimana diungkapkan ESA, 72 persen pemain video game berusia lebih tua dari 18 tahun, dan rata-rata pemain video game berusia 35 tahun. Di Amerika Serikat, 65 persen rumah tangga memiliki anggota keluarga yang aktif bermain video game secara teratur. Di berbagai negara, video game sangat normal, umum, dan tidak menakutkan.

Ada banyak teknologi baru yang bisa memicu kepanikan moral. Misalnya video porno palsuyang diciptakan oleh machine learning. Faktanya ada begitu banyak video yang diunggah ke YouTube setiap harinya, Google bahkan tidak tahu bahwa neo-Nazi menggunakan platform tersebut untuk menyebarkan kebencian. Bahwa algoritma YouTube menyajikan video mengganggu pada anak-anak. Belum lagi perang meme memakai agama atau menjelek-jelekkan minoritas.

Saya berharap kepanikan moral bahwa video game dianggap mengajarkan kekerasan berlangsung selamanya. Lebih baik orang tua takut sama video game. Menyalahkan video game lebih sederhana dan enteng dibanding harus menghadapi berbagai masalah sosial akibat perkembangan teknologi yang menanti kita di masa mendatang. Jadi nikmati sajalah selama perdebatan kesekian kalinya ini kembali berlangsung.