Industri Musik

Sudah Ada Layanan Streaming Musik, Konsep Album Kompilasi Ditaksir Bakal Mati

Spotify dan Apple Music rutin memasok playlist khusus band tertentu. Kenapa musisi masih merilis album kompilasinya sendiri?
Drew Schwartz
Brooklyn, US
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID
JP
Diterjemahkan oleh Jade Poa
Sudah Ada Layanan Streaming Musik, Konsep Album Kompilasi Ditaksir Bakal Mati
Foto Spoon oleh Oliver Haflin, milik Matador Records

Band legendaris Spoon bakalan merilis album kompilasi Everything Hits at Once berisi 12 lagu hits mereka dan satu lagu baru Jumat besok. Mereka pantas melakukan ini, berhubung Spoon telah menelurkan delapan album keren sejak 2001 dan mengukuhkan status mereka sebagai band indie rock. Tapi masalahnya sekarang sudah 2019. Bagi sebagian penikmat musik—terutama mereka yang memiliki akun Spotify—beli album fisik sudah ketinggalan zaman. Kalian kini bisa dengan mudah mendengarkannya lewat layanan streaming musik, perlahan-lahan mengalahkan penjualan album greatest hits.

Iklan

Tiap kali buka Spotify, kalian akan menemukan playlist “This Is: [X]” di setiap profil musisi. Apple Music melakukan hal serupa dengan “Essentials”-nya. Kedua aplikasi ini membuat album kompilasi greatest hits tak ada artinya lagi. Ini juga menjadi alasan mengapa kita semakin jarang melihat album kompilasi di toko kaset.

Pengumuman perilisan Everything Hits at Once cukup membuat orang-orang kebingungan. Untuk apa Spoon mengeluarkan album kompilasi kalau Spotify dan Apple Music sudah membuatnya? Di Spotify, kalian bisa mendengarkan ke-12 lagu di album tersebut. Sementara di Apple Music, kalian dapat menikmati keseluruhan isi albumnya.

Kenapa, sih, musisi dan label terus melakukan ini? Green Day, Kylie Minogue, Train, Daughtry, dan My Chemical Romance telah merilis album kompilasi mereka dalam lima tahun terakhir, padahal Spotify dan Apple Music menyediakannya secara cuma-cuma.

“Album greatest hits sudah kuno,” kata Paul Resnikoff, pakar industri yang mengelola situs Digital Music News, kepada VICE. “Ini sangat tak masuk akal bagi penggemar dan industri musik modern.”

Spoon dan labelnya, Matador Records, sangat paham akan hal ini—tetapi mereka punya alasan lain. Frontman Britt Daniel mengaku sudah lama ingin membuat album greatest hits. Dia bisa tahu band-band macam The Cure dan New Order berkat album kompilasi mereka, Standing on a Beach dan Substance. Daniel berharap Spoon bisa semakin dikenal orang jika merilis Everything Hits at Once.

Iklan

“Saya suka album greatest hits yang dibuat dengan baik,” Daniel menyatakan.

Chris Lombardi, pendiri dan co-president Matador, mengakui timnya “galau” dengan rencana pembuatan Everything Hits at Once. “Dilihat secara finansial, keputusan ini patut dipertanyakan,” tuturnya. Akan tetapi, itu tidak penting untuknya.

“Kehebatan band ini mulai dibahas lagi,” Lombardi memberi tahu VICE. “Mereka sudah lama bermusik dan tak pernah berhenti mengasah keahliannya. Britt Daniel adalah salah satu penulis lagu terbaik di Amerika. Dia telah melakukannya sejak lama, dan musik ciptaannya selalu keren. Saya rasa mereka pantas diakui karya-karyanya.”

Bagi Lombardi, album kompilasi yang resmi dibuat musisinya memiliki keunikan tersendiri. Ini tak seperti playlist spotify yang diciptakan berdasarkan algoritma. Spoon memilih dan menyusun sendiri daftar lagu di albumnya. “Ini greatest hits mereka,” lanjut Lombardi—bukan ciptaan mesin raksasa teknologi dunia.

Pertanyaannya: seberapa besar kepedulian pendengar terhadap perbedaannya? Playlist “This Is” sangat populer. Spoon diikuti lebih dari 19.000 orang di Spotify, tapi playlist buatan mereka “The Official Night Running Tour Playlist” cuma punya 212 pengikut. Everything Hits at Once bisa laku terjual kedengarannya mustahil.

Kenyataan pahit ini benar-benar membuat album greatest hits bagaikan sudah ketinggalan zaman. Resnikoff yakin “98 persen” kompilasi macam ini bakalan hilang sepenuhnya. Beberapa media memandang dominasi layanan streaming musik dalam membuat playlist kompilasi tak bisa dihindarkan. Pitchfork pernah menulis “Why the Death of Greatest Hits Albums and Reissues Is Worth Mourning”, dan Salon menerbitkan “In Defense of the Lowly Greatest Hits Album”. Hilangnya album greatest hits mungkin memang tak seburuk yang kita pikirkan.

Iklan

“Saya tak akan bilang album greatest hits adalah bentuk ekspresi artistik yang telah hilang,” kata Resnikoff. “Hanya saja, ini sudah digantikan dengan pengalaman lain.”

Bahkan kalaupun album greatest hits benar-benar menghilang, sebetulnya kita tak kehilangan apapun. Kompilasi tersebut sanggup meringkas karier musisi dari awal hingga akhir, sampai kalian terkagum-kagum setiap kali mendengarnya. Album semacam ini mengingatkanmu betapa kalian mencintai sebuah band. Kalau kalian baru menyukai suatu musisi, album best of mereka mengajak kalian mendalami musiknya.

Bentuknya sendiri tidak penting, mau itu playlist, CD, atau piringan hitam. Yang terpenting adalah proses penemuan sampai kalian menyukai mereka. Perasaan bahagiamu setiap kali mendengar “I Turn My Camera On,” “Do You,” dan “Don't You Evah” juga lebih penting. Kalian jadi teringat betapa berartinya Spoon bagimu, seakan-akan kalian mendengarkan musik mereka untuk pertama kalinya.

Tidak peduli seberapa besar industri musik akan berubah—tidak peduli bagaimana kamu menemukan musik yang kamu sukai––rasa itu akan terus bertahan.

Follow Drew Schwartz di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey