Teror Geng Motor

Teror Geng Motor: Isu yang Selalu Muncul Saat Ramadan

Polisi kerap berurusan dengan isu pembegalan dan aksi mengerikan geng motor di Indonesia, saat umat Islam seharusnya tenang beribadah. Benarkah kambing hitamnya sahur on the road?
Menelisik Penyebab Isu Teror Geng Motor Selalu Muncul Saat Ramadan
Patroli polisi di Bintaro membubarkan balap motor liar jalanan. Foto oleh Rizky Rahadianto/VICE

Ramadan di Tanah Air beberapa tahun terakhir kerap diwarnai seabreg kekerasan remaja yang tergabung dalam geng motor. Biarpun polisi sudah menangkap puluhan anggota geng motor, beberapa daerah di malam hari tetap mencekam akibat ulah sekelompok remaja yang meneror warga dan pengendara lewat aksi tawuran, pembegalan, dan pembacokan.

Persoalan serupa mewarnai Ramadan 2019. Media sosial dibanjiri dengan unggahan beragam aksi kekerasan. Awal pekan ini misalnya, media sosial diwarnai tebar ancaman antar anggota geng motor. Pada 8 Mei muncul sebuah video di Instagram yang menampilkan konvoi gerombolan sepeda motor sambil membawa senjata tajam di Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Selang beberapa saat kemudian, beredar kabar seorang remaja tewas dibacok peserta konvoi di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Iklan

Beberapa hari kemudian, muncul pesan berantai di WhatsApp yang menjadi viral terkait perekrutan anggota geng motor. Di pesan tersebut, inisiasi anggota baru geng motor bakal diwarnai dengan aksi pembacokan secara acak.

"skrg ini ada gangster2 motor sedang rekrut anggota baru..dan salah satu persyaratan masuk gangster tersebut adalah dengan membacok acak siapapun yg mereka temui di jalan."

Di pesan tersebut juga mengimbau publik untuk tidak keluar rumah lewat jam 11 malam. Juru bicara Polda Metrojaya Kombes. Argo Yuwono mengonfirmasi pesan berantai tersebut, namun menurutnya, pesan tersebut sudah viral dari tahun lalu dan muncul kembali di Ramadan kali ini.

"Itu kasus lama ya, tahun lalu berkaitan gangster-gangster itu yang sudah kita lakukan penangkapan. Itu ada kultur sendiri bahwa dalam suatu kelompok kalau dia lukai orang itu dia akan diangkat jadi pimpinannya," kata Argo dikutip media.

Argo menampik jika suasana malam hari di Jakarta mencekam. Ia mengatakan situasi tetap aman dan kondusif karena personel kepolisian terus menggalakkan patroli di sejumlah titik yang dinilai rawan, terutama beberapa ruas jalan protokol. Apalagi kata Argo, Polda Metrojaya sudah membentuk satgas Tim Anti-Bandit yang khusus menangani kejahatan jalanan.

"Saya sampaikan bahwa Kamtibmas di Jakarta dalam kondisi kondusif. Masyarakat jangan khawatir. Yang mau ke Jakarta dan mau beraktivitas jangan khawatir, tidak ada kegiatan menakutkan," kata Argo.

Iklan

Kendati diklaim sebagai konten lama, pesan berantai tersebut kadung ditanggapi beragam oleh masyarakat. Abdul Kohar, warga Jagakarsa, Jakarta Selatan, selalu merasa was-was setiap kali pulang malam dari kantornya di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Padahal tak jarang dia harus bekerja lembur di kantornya yang bergerak di bidang jasa asuransi. "Sekarang mending pulang cepat," kata Abdul kepada VICE. "Untung kerjaan lemburan boleh dibawa ke rumah."

Abdul punya alasan kuat, daerah tempat tinggalnya, mulai dari kawasan Lenteng Agung hingga Jagakarsa punya sejarah pembegalan dan kekerasan melibatkan geng motor. Kini setiap kali ia melihat sejumlah pemuda bergerombol, perasaan was-was selalu hinggap ke benaknya.

Budaya kekerasan saat Ramadan tak bisa dilepaskan dari tradisi Sahur On the Road (SOTR) yang marak belakangan ini di sejumlah daerah seperti Banten, Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Tengah. Asal-usul tradisi SOTR memang sulit dilacak, namun aksi tersebut sebenarnya hal yang lumrah, ketika masyarakat membagikan makan sahur buat orang tidak mampu. Tak jarang pembagian makan sahur tersebut diiringi konvoi kendaraan.

Tradisi yang semula bertujuan mulia, kini justru bersinonim dengan kata kekerasan. Dikutip dari Tirto.id aksi kekerasan pertama saat SOTR disinyalir terjadi pada Ramadan 2014, ketika tiga orang mengalami luka bacok di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Bak serial, kekerasan anggota geng motor terus memakan korban. Sembilan orang terluka di beberapa sudut Jakarta pada 2017. Kemudian pada bulan puasa tahun lalu misalnya, seorang pelajar tewas setelah dua kelompok bentrok di Kemang, Jakarta Selatan.

Iklan

Dari catatan kepolisian, jumlah geng motor di Jakarta tak bisa dibilang sedikit. di Jakarta Barat saja misalnya terdapat 25 geng motor yang diidentifikasi. Sementara baru delapan kelompok saja yang berhasil ditangkap. Sementara polisi hanya bisa melakukan penindakan saat kejahatan sudah terjadi, lantaran geng motor tak bisa dibubarkan karena bukan organisasi berbadan hukum.


Tonton dokumenter VICE yang nongkrong bersama geng motor paling bengis di Jepang:


Usaha untuk meredam budaya kekerasan selama Ramadan pun terus digaungkan, bahkan sejak era gubernur Fauzi Bowo. Di era gubernur Basuki Tjahaja Purnama, SOTR sempat diwacanakan untuk dilarang, namun batal terjadi. Sementara di bawah Anies Baswedan, imbauan agar warga tak usah ikut SOTR juga dikeluarkan, meski akhirnya imbauan tersebut tak mempan. Pelarangan juga terjadi di beberapa daerah di Jawa Barat itu pun tak optimal meredam.

Sebenarnya apa penyebab sulitnya memutus mata rantai kekerasan di bulan puasa?

Merujuk penelitian di Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Sumatera Utara, Tuti Atika menyimpulkan seiring banyaknya geng motor yang berkembang, maka akan menimbulkan persaingan yang semakin keras dan tidak menutup kemungkinan jumlah tindakan keonaran yang akan mereka lakukan akan semakin banyak.

Hasil penelitian Tuti masuk akal jika dikaitkan dengan tradisi SOTR yang sejak lama tak jarang diwarnai konvoi kendaraan. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai ajang menunjukkan taji eksistensi geng motor.

Iklan

"Tidak hanya menjadi wadah untuk berkumpul saja, geng motor juga menyediakan ruang bagi untuk mendapatkan kebebasan. Mereka beranggapan bahwa dengan mengikuti geng motor mereka lebih bebas untuk berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya, secara psikologis hal tersebut diakui mereka sebagai bentuk pelampiasan atas kejenuhan mereka terhadap pengekangan yang selalu mereka alami di lingkungan keluarga dan sekolah," tulis Tuti.

Pencarian lewat Google misalnya, menunjukkan kebanyakan akar kekerasan SOTR didominasi persoalan dendam lama antar kelompok geng. Lantaran tak pernah ada mediasi, akhirnya dendam tersebut menjadi tradisi. Polisi pun sulit mendeteksi sebab geng motor selalu merahasiakan identitas mereka.

Jadi mungkinkah kita mengakhiri kekerasan geng motor? Kriminolog dari Universitas Indonesia Iqrak Sulhin kepada Tirto.id mengatakan remaja anggota geng motor harus diposisikan sebagai korban, karena mereka masih mencari jati diri. Tak jarang seseorang hanya ikut-ikutan karena ajakan teman. Maka menurutnya, pendekatan hukum formal tak cocok buat menangani remaja korban geng motor.

"Anak-anak yang terlibat kejahatan mesti diposisikan sebagai korban dari situasi yang melingkupi dirinya terlebih dahulu," kata Sulhin kepada VICE.

Pendekatan pidana, menurut Sulhin, dikhawatirkan malah berdampak negatif pada masa depan remaja. Seorang remaja yang ada di penjara, misalnya, bisa mendapat role model yang dapat mengukuhkan jati dirinya sebagai kriminal.

Tuti Atika berpendapat bahwa remaja perlu diberikan wadah aktualisasi diri di masyarakat. Lembaga pendidikan dan masyarakat seharusnya dapat memberikan wadah aktivitas positif yang mampu menjauhkan remaja dari dampak negatif pergaulan.