Pengantin anak berpose dengan suami
Pengantin anak berpose dengan suami. Semua foto oleh Saumya Khandelwal.
Fotografi

Mengintip Kehidupan Pengantin Anak Lewat Kumpulan Foto yang Bikin Trenyuh

Praktik pernikahan anak terlanjur jadi tradisi turun-temurun di India, sehingga larangan mengawinkan anak di bawah umur tak mampu menghentikannya.
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID

Perempuan muda di Shravasti, Uttar Pradesh, mengakhiri masa kecil mereka yang singkat dengan melewati ritual pembubuhan vermilion (tanda merah) di dahi dan gosok kulit menggunakan pasta kunyit. Selanjutnya, mereka harus siap menjalani kehidupan dewasa meski belum pubertas. Mereka dinikahkan, lalu disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga.

Walaupun telah mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir, masih ada 15 juta lebih anak di bawah umur yang dikawinkan di India. Praktik ini sudah menjadi tradisi turun-temurun, sehingga sulit dihentikan—terlepas dari adanya larangan menikahkan anak perempuan di bawah 18 tahun dan laki-laki di bawah 21 tahun.

Iklan

Alasan perkawinan anak bisa bertahan di India sangat beragam dan kompleks dengan berbagai faktor ekonomi, politik dan sosial-budaya yang mendasarinya. Selain itu, praktiknya lebih banyak terjadi di daerah pedesaan. Perkawinan anak memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kemiskinan dan kurangnya akses pendidikan bagi perempuan.

Saumya Khandelwal, jurnalis foto dari New Delhi, menyambangi Shravasti untuk mengabadikan praktik pernikahan anak di sana. Pasalnya, satu dari empat gadis remaja di Shravasti menikah sebelum mereka berusia 18.

Saumya menyempatkan waktu berbincang dengan VICE soal proyeknya, serta kehidupan pengantin anak di Shravasti.

VICE: Apa yang membuatmu tertarik mendokumentasikan pernikahan anak di Shravasti?
Saumya Khandelwal: Saya pernah membaca tentang tingginya perkawinan anak dan angka kematian anak di Shravasti. Saya benar-benar kaget saat mengetahuinya. Distrik ini cuma 100 km jauhnya dari tempat tinggal saya di Lucknow, tapi tak pernah ada yang membicarakan ini. Orang India pasti sudah tahu pernikahan anak sering terjadi di negara bagian seperti Rajasthan dan Benggala Barat. Praktiknya di Uttar Pradesh juga cukup diketahui, cuma hampir tak ada yang mendokumentasikannya.

Kenapa orang tua di sana mengawinkan anak mereka yang masih di bawah umur?
Saya pernah ngobrol dengan seorang ibu yang mengawinkan putrinya, padahal usia si anak masih 15 tahun. Dia sendiri dulunya pengantin anak, dan mengalami banyak masalah dalam pernikahannya termasuk saat melahirkan. Ketika saya tanya alasannya, dia menjawab “Bagaimana kalau misalnya tahun depan kami kebanjiran dan suami saya meninggal? Siapa yang akan membiayai keperluan anak-anak? Kami ingin memastikan masih ada yang mengurusi mereka [kalau kami meninggal].” Jadi selain kurangnya edukasi dan tingginya tekanan sosial, mereka mengawinkan anak sejak masih remaja karena alasan praktis.

Iklan

Mereka sebenarnya tahu atau tidak kalau praktik ini ilegal?
Sebenarnya tahu, tapi semua orang tetap mempraktikannya. Pemerintah gagal mengendalikan perkawinan anak, sedangkan polisi tidak pernah melakukan apa-apa. Kalaupun ada upaya menghentikan praktik ini, orang Shravasti biasanya akan menunda [prosesi pernikahan] dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Mereka tidak takut ketahuan, ya?
Mereka tahu ini ilegal dan masih melakukannya. Mereka bahkan setuju didokumentasikan. Ini menunjukkan betapa percaya dirinya mereka. Mereka yakin takkan dihukum. Asal kamu tahu saja, saya sering menerima undangan perkawinan anak setiap kali mengunjungi Shravasti.

Bagaimana gadis remaja di sana tahu mereka akan dinikahkan?
Ada yang baru tahu akan menikah di hari H. Tubuh pengantin perempuan akan dilulur pakai kunyit sebelum menikah. Nah, anak perempuan satu ini baru sadar kalau pesta yang digelar di rumahnya itu buat dia. Saya juga pernah ngobrol sama gadis remaja lain yang sudah tahu sejak beberapa bulan sebelumnya. Tapi, tak ada satupun dari mereka yang dimintai persetujuannya.

Bagaimana pandangan perempuan Shravasti terhadap masa depan mereka?
Mayoritas anak yang saya ajak bicara tidak bisa menjawab pertanyaanku soal masa depan. Beberapa bilang akan menikah dan memiliki anak. Seorang anak bilang dia kepingin jadi polwan. Mereka tidak punya masa depan. Mereka bahkan tidak sadar di luar sana, ada anak gadis seusia mereka yang melakukan berbagai hal dalam hidupnya.

Iklan

Apa yang para gadis remaja ini pikirkan tentang perjodohannya?
Saya mengabadikan pernikahan Muskaan. Saya menanyakan perasaan dia di hari pernikahannya. Dia menjawab, “Memangnya harus bagaimana? Ini akan terjadi. Semua orang menikah, termasuk saya.” Mereka tampaknya menurut saja ketika dijodohkan, seakan-akan begitulah nasib mereka.

Apa pemahaman mereka tentang pernikahan di usia semuda itu?
Sebagian besar memahami mereka harus mengurus rumah, memberi makan ternak, memasak, dan mencuci alat makan dan pakaian. Itulah yang mereka saksikan sejak kecil.

Apa saja tradisi atau ritual perkawinan anak di Shravasti?
Dalam adat Hindu, pengantin perempuan baru diperbolehkan tinggal bersama suami setelah melakukan upacara “gauna”. Upacara ini dilangsungkan beberapa bulan setelah mereka menikah. Gauna adalah waktu perempuan dianggap sudah dewasa, dan siap hidup dengan suami. Saya rasa ada semacam kesadaran usia 14 tahun terlalu muda untuk menikah.

Bagaimana mereka memastikan anak perempuan sudah dewasa?
Ketika dia sudah menstruasi.

Apa yang terjadi selama upacara gauna?Pada dasarnya, gauna adalah upacara perpisahan yang melibatkan keluarga dan teman perempuan. Mereka berkumpul di rumah untuk menangis bersama-sama. Pengantin menangis pertama kali, lalu diikuti kerabatnya.

Saya takjub menyaksikan upacara ini. Tangisan pengantin dibuat-buat, tapi akhirnya memicu perasaan emosional alami. Muskaan awalnya tidak sungguhan menangis, tapi terus dia sepertinya sadar akan keluar dari rumah. Setelah itu, dia mengucapkan perpisahan kepada semua orang dan pindah ke rumah suami sambil membawa barang-barang pribadi.

Bagaimana kehidupan pengantin anak setelah menikah?
Saya akan terus terang mengatakannya. Mereka bagaikan pembantu di rumah suaminya. Mereka tidak boleh keluar rumah, dan harus mematuhi semua permintaan suami atau mertua.

Apakah pemikiranmu tentang perkawinan anak berubah setelah melakukan proyek ini?
Meski saya tidak setuju dengan perkawinan anak, saya tidak mau bertingkah seolah-olah saya ini orang kota dan merasa praktiknya tidak tepat. Itu tidak adil; karena pada akhirnya, begitulah cara masyarakat berkembang tidak peduli saya setuju atau tidak. Mereka menganggap perkawinan anak normal, sehingga saya berusaha memasukkan sisi normal tersebut ke dalam proyek foto ini.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.