Problem Sosial

Menteri Sosial Menuding Gelandangan dan Pengemis di Negara Ini Dimobilisir Mafia

Agus Gumiwang Kartasasmita melontarkan tuduhan serius itu, sembari menyitir bahwa populasi gelandangan dan pengemis di Indonesia mencapai 77.500 orang.
Untitled design (54)Menteri Sosial Menuding Gelandangan dan Pengemis di Negara Ini Dimobilisir Mafia
Ilustrasi pengemis anak di Indonesia, yang menurut mensos dikoordinir mafia. Foto oleh Jonathan McIntosh/Wikimedia Commons/CC 2.0

Populasi gepeng di seluruh Indonesia kini diprediksi Kementerian Sosial mencapai 77.500 orang. Data ini berbahaya karena maraknya gepeng berpotensi melahirkan kerawanan sosial, pelecehan seksual, dan eksploitasi anak. Kamis (22/8) lalu, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita melontarkan tuduhan serius mengenai populasi gelandangan dan pengemis. Pekerjaannya membina kaum miskin kota itu, menurut Agus, tak kunjung kelar karena ada keterlibatan mafia.

Iklan

"Mereka dikoordinir atau terorganisir oleh semacam mafia atau kartel, bahkan ada pembagian wilayah. Ini suatu kejahatan di mana mereka menjadikan manusia sebagai komoditas. Melibatkan sewa-menyewa anak, menyewa orang, dan modus lainnya," ujar Agus dilansir kantor berita Antara.

Agus melanjutkan, tuduhan ini muncul dari seringnya ia menemukan keterlibatan narkoba dalam dunia gepeng. Menurutnya, sebelum jadi gepeng, calon-calon gepeng ini sengaja diberikan narkoba oleh mafia untuk membentuk pola ketergantungan sebelum akhirnya mudah dieksploitasi.

Sayang Agus tidak menjelaskan lebih jauh definisi mafia yang ia salahkan itu mafia yang apa. Apakah mafia level atas kayak di film The Godfather?Atau mafia kecil-kecilan kayak preman atau koordinator gepeng, yang artinya Agus nggak ngasih informasi baru karena semua orang juga udah tahu? Ngaku deh, pasti kalian juga sudah menduga bahwa emang ada semacam koordinator dari aksi-aksi gepeng di jalanan (tentu tidak semuanya).

Pendapat semacam ini pernah dilontarkan wali kota Surabaya yang siap membantu mengatasi sampah Jakarta Tri Rismaharini. Dua tahun lalu, ia melontarkan pendapat bahwa gepeng yang berkeliaran di Surabaya tidak beroperasi sendiri. Bukan dengan sebutan “mafia”, Risma menyebutnya dengan istilah “joki”, orang yang mengendalikan aktivitas para gepeng di sana.

"Mereka dikendalikan joki, tapi waktu razia kemarin jokinya lari," ujar Risma kepada Kompas. Razia yang dimaksud di sini adalah razia yang dilakukan pemerintah kota Surabaya pada bulan Ramadhan 2017 lalu di lampu merah, rumah ibadah, pemakaman, hingga taman-taman kota. Pada kesempatan itu, pemkot menangkap 51 gepeng untuk kemudian dipulangkan ke daerah asalnya, seperti Lumajang, Jember, Madiun, Ponorogo, Pacitan, Pasuruan, Situbondo, Mojokerto, Magetan, Nganjuk, Gresik, dan Lamongan.

Pendapat Risma diamini peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSSK) UGM Yogyakarta Muhadjir. Ia pernah mengatakan,pengemis di ruas jalanan Kota Yogyakarta digerakkan oleh mafia. Tapi, mafia yang dimaksud Muhadjir lebih kepada aktor intelektual, bukan Vito Corleone.

"Meski belum ada penelitian khusus yang serius, tapi fenomena semacam mafia pengemis mungkin saja ada di Yogya. Tadi disampaikan adanya kampung yang warganya hidup dari mengemis itu bukan kampung pengemis. Secara fisik bagus, alat rumah tangganya bagus, mereka kalau keluar pakaian bagus, tapi kalau mengemis pakai pakaian buruk," ujar Muhadjir kepada Sindonews.

Kepala Dinas Sosial DIY Untung Sukaryadi bahkan mengaku, pihaknya pernah mendapati rombongan pengemis yang datang pagi hari, berganti pakaian mengemis di sejumlah tempat ibadah, lalu berangkat "kerja" ke berbagai pusat keramaian Yogya.