UU Perkawinan

MK Kembali Menolak Uji Materi Upaya Melegalkan Pernikahan Beda Agama

Ramos Petege yang beragama Katolik mengajukan uji materi UU Perkawinan agar bisa menikahi kekasihnya. MK kembali menolak uji materi tersebut seperti kasus pada 2015.
Mahkamah Konstitusi tolak uji materi pernikahan beda agama ramos partege asal papua
Ilustrasi pasangan yang hendak menikah via Getty Images

Keinginan E. Ramos Petege menikahi calon istrinya yang beragama Islam lewat revisi undang-undang terpaksa kandas. Warga Papua beragama Katolik ini masuk pemberitaan media tahun lalu, setelah mengajukan uji materi terhadap Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait pernikahan beda agama. Namun dalam sidang 31 Januari 2023, permohon Patege ditolak secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Iklan

Artinya, pernikahan beda agama belum sah secara agama dan belum bisa masuk pencatatan sipil dalam tafsir MK. Pada 2015, MK pernah menolak permohonan serupa yang diajukan lima mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurut MK saat itu, permohonan tersebut tak beralasan.

Meski demikian, dua hakim dari total sembilan hakim MK memberi catatan bahwa negara perlu memberi jalan tengah untuk pernikahan beda agama. Dua sosok itu adalah Suhartoyo dan Daniel Yusmic Foekh. Suhartoyo menganggap negara perlu memberikan kepastian hukum. Negara menganggap perkawinan beda agama ‘tidak sah secara agama’ karena legalisasi perkawinan menurut hukum sipil hanyalah berupa pencatatan administrasi.

Dia menganggap perlu adanya jalan tengah. Terlebih aturan itu sudah ada sejak 1974, saat masyarakat belum sekompleks sekarang. Suhartoyo mengatakan MK perlu memberikan persoalan ini pada pembuat undang-undang apabila dirasa perlu adanya revisi.

“Sehingga permasalahan perkawinan beda agama dapat terselesaikan dari akar masalahnya (root cause), tidak hanya selesai dalam ranah pencatatan administrasi, tetapi juga diperoleh jalan tengah yang bijak dengan tetap mengedepankan pemenuhan hak-hak warga negara untuk mempunyai kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing,” kata Suhartoyo.

Iklan

Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, beranggapan DPR dan Presiden lah pihak yang tepat mengatur perkawinan. Kedua pihak tersebut bisa menyerap aspirasi masyarakat serta riset terkait kondisi perkawinan di Indonesia.

Apabila melihat beberapa kejadian yang sudah berlaku, ada pernikahan beda agama yang kemudian ‘disahkan’ di Jogja. Pasangan beragama Islam dan Katolik tersebut sudah menikah sejak September di salah satu gereja di Sleman. Adapun pengesahan dari Pengadilan Negeri (PN) Jogja berlangsung Desember 2022.

Partege adalah warga Dogiyai, Papua. Gugatan Ramos lahir usai kegagalannya, sebagai pemeluk Katolik, untuk menikahi kekasihnya yang memeluk Islam. Padahal mereka sudah menjalin asmara selama 3 tahun. Ramos meminta hakim MK memberi kepastian hukum tentang dibolehkannya pernikahan beda agama.

Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan tertulis, "perkawinan dikatakan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Ramos beranggapan aturan tersebut merenggut kemerdekaan, kebebasan, atau haknya dalam beragama dan berkepercayaan. Terlebih kemerdekaan beragama sudah masuk dalam Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam pembacaan pertimbangan Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 pada 31 Januari 2023, Hakim Konstitusi Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih, mengatakan implementasi Hak Asasi Manusia (HAM) di setiap negara berbeda. Meski perlindungan HAM sudah dijamin secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR), namun penerapan di setiap negara perlu sejalan ideologi, agama, sosial dan budaya rakyat di negara masing-masing.

Iklan

“MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan, bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Enny, dikutip dari situs MK RI.

Enny menegaskan apabila negara melindungi ‘hak membentuk keluarga’ dan ‘hak melanjutkan keturunan’ yang tertuang Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Namun untuk mendapatkan kedua hak tersebut, ada prasyarat bernama ‘perkawinan yang sah’.

“Dengan menggunakan kaidah hukum, sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban hukumnya menjadi wajib, maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi,” katanya.

Hakim Konstitusi lain, Wahiduddin, memberi penjelasan terkait konsep beragama yang terbagi menjadi dua. Pertama dalam ranah internum atau meyakini agama tertentu. Namun ada juga pengertian agama dalam ranah eksternum atau cara berekspresi dalam beragama di muka umum.

Perkawinan Wahiduddin anggap masuk dalam eksternum dan negara dapat campur tangan. Bukan dalam konteks membatasi kepercayaan tertentu, namun lebih kepada menanggulangi ekspresi bergama agar tidak menyimpang. Pernikahan dia anggap sama dengan pengelolaan zakat maupun haji.

Terkait pengesahan pernikahan beda agama melalui pengadilan, preseden yang sudah terjadi berasal dari Pengadilan Negeri Yogyakarta. Hakim dan Kepala Humas PN Jogja, Heri Kurniawan, menyetujui permohonan nikah beda agama untuk melindungi hak anak dan mencegah kumpul kebo. Sebelum mengajukan ke pengadilan, pasangan itu terkendala dalam membuat akta kelahiran. Mereka tidak punya akta nikah lantaran beda agama.

Iklan

“Kalau dibilang mengesahkan pernikahannya kurang tepat, karena yang diputuskan soal pencatatan pernikahannya. Dari keterangan saksi, kedua keluarga juga mendukung pernikahan itu,” kata Heri, dikutip dari Harian Jogja. Pengesahan pernikahan beda agama lewat mekanisme pengadilan ini bukan kali pertama. Sebelumnya putusan serupa sempat diambil hakim di Surabaya dan Tangerang.

Kegagalan gugatan kali ini boleh saja diartikan pasangan beda agama sebagai belum usainya perjuangan. Jika butuh cerita inspiratif, ini dia:

Pada 2017, sebanyak delapan orang karyawan menggugat UU Ketenagakerjaan 2003 Pasal 153 ayat 1. Perkaranya, pasal tersebut ambigu karena melarang sekaligus membolehkan perusahaan mem-PHK karyawan yang menikah dengan teman satu kantor (buang jauh-jauh ide untuk nyeletukin joke karatan, “Banyak amat nikah satu kantor”).

Menurut salah seorang penggugat kepada Detik, ia prihatin menyaksikan rekan sekantornya yang berprestasi harus dipecat hanya karena mencintai teman kerja. 

"Jadi di perusahaan kita terjadi ini pemecatan pegawai menikah sesama pekerja. Padahal mereka beda unit, bukan sama-sama dari unit keuangan," Edy Supriyanto Saputro mengatakan kepada Detik, 2017 silam. "Itu bukan satu [kasus], sudah banyak," tambahnya.

Para penggugat memohon agar MK menghapus frasa kecuali dan seterusnya di pasal tersebut agar tak ada lagi kesan diperbolehkannya PHK karena menikah dengan rekan kerja. Gugatan itu dikabulkan pada tahun itu juga.