FYI.

This story is over 5 years old.

Tekno

Teknologi VR Berpeluang Menghidupkan Mereka yang Telah Meninggal

Simulasi virtual dapat kita perkirakan sebagai tahap lanjut evolusi cara manusia menghadapi rasa duka cita.
Foto diambil dari Flickr

Artikel ini tayang pertama kali di Motherboard.

Anda bangun pagi-pagi, bersiap untuk pergi kerja, menyempatkan makan bubur ayam dan menyeruput teh manis dengan pasangan anda, lalu pamitan pergi ke kantor. Semanya biasa saja, seperti hari-hari kerja lainnya. Namun, ada sedikit perbedaan: pasanganmu sudah berpulang beberapa tahun lalu. Anda tak sarapan semeja dengan istri anda. Anda sarapan "berdua" bersama simulasi pasangan anda.

Iklan

Simulasi pasangan anda berdiam dalam lingkungan virtual, mungkin anda bisa mengaksesnya dengan bantuan Oculus Rift. Sebuah perusahaan layanan berkabung digital telah mengumpulkan dan menganalisis serangkaian data tentang pasangan anda guna membuat versi digitalnya. Suaranya, caranya berjalan, semua yang khas darinya sampai gelak tawanya—semua disalin dengan sangat rapih. Alhasil, menghabiskan hari-hari dengan pasangan anda—yang baru saja dilahirkan di dunia digital—jadi kegiatan rutin dalam hidup anda.

Kematian melampui sekat-sekat kelas, ras dan identitas, kerap dianggap sebagai sebuah kejadian yang menandai berakhir sebuah pengalaman. Namun, kelak kematian tak harus dipahami seperti ini. Meski yang berpulang tak lagi bisa berkomunikasi dengan kita, setidaknya simulasinya masih mau bicara dengan kita. Pada akhirnya, mangkatnya bapak saya lah yang akhirnya menginspirasi saya merealisasikan proyek khayali ini menjadi nyata.

Lebih dari dua abad silam, banyak orang bahkan tak punya foto pasangan yang mendahului mereka. Beberapa dekade lalu, kita juga belum punya rekaman video/film orang yang kita cintai di masa hidup mereka. Namun, dalam waktu dekat, simulasi bisa jadi mampu meniru mereka yang sudah meninggal, membuat kita tetap bisa berkomunikasi seakan mereka tetap hidup bersama kita. Seiring teknologi terbaru bahu-membahu membuat simulasi mereka yang telah mendahului kita, Ini tak lagi sebuah fantasi ala film-film fiksi sains.

Iklan

Dengan ponsel pintar, lewat data pergerakan diri dan segudang data online lainnya, kita bisa memetakan tindak-tindak seseorang. Ini yang akan digunakan sebagai dasar penciptaan simulasi sesorang. Manusia memiliki tendensi untuk menyematkan kepribadian pada benda mati. Tak ayal, menciptakan simulasi yang sangat menyakinkan tak sepelik seperti yang kita duga. Sebagai bandingan, kita bisa menengok kasus Eliza, sebuah program buatan tahun 1960an, berisi beberapa deret kode yang membuat penggunanya seolah-olah bicara dengan seorang psikoterapis. Tentu anda semua mafhum, bot-bot komputer sudah jauh lebih maju dari Eliza.

Meski demikian, salah satu masalah yang bakal kita hadapi adalah fakta bahwa simulasi tak akan memiliki kepribadian yang utuh seperti orang aslinya. Namun, ini sama saja dengan bilang software catur tak bisa bisa bermain catur layaknya para grandmaster. Meski Deep Blue, program catur buatan IBM, punya gaya bermain catur berbasis pencarian yang menjemukan lagi kurang elegan, Deep Blue sukses mengalahkan Garry Kasparov, salah satu grandmaster catur paling hebat yang pernah hidup.

Jika percobaan simulasi kami bisa melewati tes turing terhadap orang mati, bisa dibilang kami sudah berhasil merampungkan tugas untuk memeroleh semua pengalaman seorang yang sudah mangkat. Tak usahlah report berpikir untuk menyematkan kepribadian atau kecerdasaan pada software ini. Lagipula, jika tujuannya akhirnya adalah interaksi dengan mereka yang sudah wafat, perihal metafisika tentang identitas personal jadi tak relevan. Apakah sistem simulasi ini akan memiliki jiwa? Apakah simulasi akan memiliki kesadaran? Pertanyaan-pertanyaan sok berat macam ini bukan cuma tak lagi relevan, tapi juga akan menghalangi usaha kita membangun simulasi yang kita inginkan. Proyek saya berusaha menyuguhkan pengalaman seseorang yang sudah berpulang—meski tak sampai mengalami sesuatu bersama sang mendiang.

Iklan

Simulasi bisa dianggap sebagai tingkatan baru dalam evolusi cara kita berkabung. Setiap kebudayaan memiliki cara sendiri untuk mengenang seseorang yang sudah meninggal, entah itu dengan menulis eulogy, membangun monumen atau membuat nisan. Yang jelas, kita tak pernah berhenti mengenang. Salah satu bagian yang menarik dari agama adalah bahwa ia menjanjikan pertemuan kembali dengan mereka yang mendahului kita, entah itu alam baka atau di surga. Simulasi akan mengubah pandangan bahwa kematian memisahkan yang masih hidup dari yang sudah wafat.

Pada saat yang sama, teknologi simulas juga akan mengubah cara kita memahami kehidupan. Bayangkan, anda tak harus mengucapkan "selamat tinggal" kepada siapa pun selamanya (ya tentu saja, sebelum anda dapat giliran masuk liang lahat). Meninggalnya seorang teman tentu masih akan tetap ditimpali dengan kesedihan. Namun, suatu waktu di masa depan, anda akan bisa menghabiskan waktu terkekeh-kekeh dan bernostalgia yang tak bisa anda bedakan dari sang mendiang.

Di sisi lain, kemewahan berinteraksi simulasi ideal seseorang yang ada kenal akan berdampak pada hubungan dengan orang lain di dunia nyata. Misalnya, buat apa anda repot-repot ngobrol dengan paman anda yang bawel kalau anda punya versi paman yang lebih baik, lebih bocor sekaligus lebih menyenangkan di dunia maya? Lagian, ini yang mengasikkan: bot bisa di-mute dan sifat-sifat yang jelek bisa dengan gampang kita hapus.

Iklan

Nah kalau sudah begini, pertanyaan jadi: buat apa menghabiskan umur kita dengan orang lain jika simulasi mereka yang sudah wafat lebih menyenangkan dan kepribadiannya bisa kita atur seenaknya?

Selain itu, pola perilaku baru dan tak terduga akan muncul. Pengguna yang sedikit "kreatif", contohnya, bisa saja menggunakan untuk membalas dendam pada seorang yang telah tiada. Lewat simulasi, mereka bisa mengungkapkan segala kekesalannya kapan pun. Sebaliknya, seseorang bisa bersabar menunggu sampai orang yang dibencinya meninggal. Baru setelah itu—lagi-lagi lewat simulasi—mereka bisa mengubur dendamnya bersama versi musuhnya yang lebih menyenangkan. Yang membedakan, keduanya tak akan berhadapan seorang manusia sungguhan; mereka cuma bersemuka dengan sesosok simulakra.

Ini dia masalahnya: jika tak bergegas berembug tentang segala kemungkinan dan viabilitas di sekitar teknologi simulasi, kita bakal tergagap-gagap menghadapi dampak teknologi ini di masa depan. Tentu, percakapan ini akan dipenuhi dengan beragam dilema moral dan pertanyaan seputar kondisi manusia.

Apapun itu, garis pemisah antara yang hidup dan yang mati tak lagi kentara.

Muhammad A Ahmad adalah ilmuwan peneliti di Departemen Ilmu Komputer di University of Minnesota. Kajian yang menarik minat Ahmad adalah evolusi massive historical networks social networks, analisis perilaku klandestin, network dan deep learning.

Artikel ini pertama kali terbit di Aeon dan diterbitkan kembali di bawah Creative Commons.