FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Sepanjang 2016, Musik Pop Jadi Semakin Aneh

Beyonce dan Rihanna meninggalkan tradisi lama, Craig David (ya ampun) muncul lagi, dan maraknya lagu pop yang berisi lirik kritik sosial. Dunia sedang jungkir balik!
Gambar dari cover album Rihanna 'Anti'

Kalau dipikir-pikir, ada banyak kejadian di 2016 yang tidak berjalan semestinya. Kalian sudah nonton Stranger Things? Serial televisi terbaik sepanjang tahun ini memuat segala referensi 80-an, menceritakan adanya dunia paralel di balik di dunia nyata yang sama-sama tai kucing kondisinya. Nah, 2016 kayak begitu juga. Tolong jangan buru-buru mencuit hal-hal buruk menggunakan tagar '2016'. Sebab, dalam musik pop, situasi "tai kucing" justru baik. Tahun ini musik pop tidak berjalan semestinya. Hasilnya justru lebih nampol.

Iklan

Bayangkan, 2016 dibuka dengan karya baru Rihanna—penyanyi mesin pencipta hits. Anti, judul albumnya, sudah lama tertunda perilisannya. Album itu menipu banyak orang karena ternyata ada cover dari Same Ol' Mistakes yang aslinya milik band psiko-rock Australi Tame Impala. Di dalam album ini muncul lagu blues menyayat hati Love On The Brain. Kecuali kolaborasi dengan Drake, Work, di album itu tak ada lagu pop standar. Oh ya, bahkan Anti memuat sample Dido! Anehnya, di bulan yang sama penggemar musik langsung disuguhi album baru Sia, This Is Acting, yang tadinya kita pikir akan lebih sering memuat sample musik Dido. Apa yang terjadi? Sia malah menyertakan daur-ulang lagu Sisqo Thong Song. Ada pula kabar This Is Acting Cheap Thrills sebuah lagu yang Rihanna banget—konon memang diciptakan Sia untuk Rihanna namun ditolak—menduduki peringkat 1 tangga lagu AS. Menyaksikan berbagai kejutan itu, tepat belaka mengamini pernyataan produser Justrin Raisen (Charli XCX, Sky Ferreira) saat diwawancarai Pitchfork: "Pop lagi kenapa, sih? Gue engga ngerti deh… Pop sudah bukan pop lagi."

Bagaimanapun ini 2016. Jadi 'kepergian' Rihanna dari ranah pop tidak berlangsung lama. Mungkin album Anti jadi nyeleneh lantaran dia kangen sama musik dance, terutama EDM. Rihanna pernah berkolaborasi dengan Calvin Harris untuk This Is What You Came For, yang kini lebih dikenal sebagai lagu yang ditulis bersama oleh Calvin semasa masih pacaran dengan Taylor Swift. Mulanya, publik hanya tahu lagu itu ditulis bersama Calvin dan Nils Sjöberg. Belajangan sosok Nils adalah pseudonim Taylor Swift, setelah TMZ menceritakan detail alasan mereka berdua putus.

Iklan

Album Anti sepertinya akan menjadi semacam jeda sejenak sebelum Rihanna kembali sepenuhnya pada pop. Tentu ada alasan lain saya menyebut tahun ini sebagai musim keanehan pada kancah pop arus utama. Ada bintang pop kawakan yang merilis sesuatu yang lebih absurd lagi: Lady Gaga. Album baru Gaga, Joanne, tidak lagi menggunakan synth, mesin drum, dan DJ White Shadow tua yang malang. Gaga beralih pada gitar elektrik, kicauan country, dan sisi otentik khas hasil kerja produser Mark Ronson. Dengan segala ide dan kualitasnya, Joann menyertakan Lady Gaga dalam ajang bintang pop terbesar tingkat dunia. Mungkin karena kecewa atas tanggapan terhadap ArtPop, album Joanne—yang sepertinya akan lebih populer di masa mendatang ketimbang tahun ini—menunjukkan Lady Gaga yang sebenarnya. Ide kreatif semacam itu bukan tugas mudah, mengingat Lady Gaga memiliki banyak citra yang telah terbangun dengan rapi dan kokoh sejak kemunculannya. Ingatlah Geri Halliwell, Lady Gaga-nya era 90-an, yang sama-sama meninggalkan pop untuk secara perlahan bermusik folk.

Joanne melanjutkan tema-tema Gaga sebelumnya soal perpaduan antara pop dan musik indie, serta memperlihatkan tipisnya perbedaan antara musik pop dan genre lainnya. Selain itu, album ini merupakan hasil kolaborasi Gaga dengan musisi-musisi seperti Josh Homme, Beck, dan troll Twitter, serta musisi paruh waktu Father John Misty. Nama yang disebut belakangan, Father John Misty, juga muncul di album cetar membahana milik Beyoncé, tahun ini: Lemonade. Misty menjadi penulis-kolaborator lagu Hold Up. Ada pula musisi macam MNEK, Diplo, dan Ezra Koenig dari Vampire Weekend, turut mengisi lagu tersebut. Untuk sebuah album yang mengambil sample penuh perhitungan, lagu yang berkisah tentang hubungan asmara yang rusak karena perselingkuhan, terdiri dari sample-sample lagu ciptaan Andy Williams, Soulja Boy, dan Yeah Yeah Yeahs. Album Lemonade mengukuhkan posisi Beyoncé sebagai bintang pop pasca-genre setelah Michael Jackson, dengan belokan mulus dari country (Daddy Lessons), ke rock (Don't Hurt Yourself bersama Jack White), ke Formation (perangkap berisi isu New Orleans). Terutama dengan lagu Formation, Beyoncé mengumumkan kepulangannya dengan muncul dari entah berantah pada Februari, diikuti dengan sebuah video panjang yang merayakan blackness dan memantik diskusi soal blackness. Hal itu merupakan suatu cara, atau gaya, yang belum pernah dilakukan Beyoncé sebelumnya. Isu blackness dalam Lemonade juga terasa pada album milik Solange dan Blood Orange.

Mengingat 2016 adalah tahunnya layanan streaming, Lemonade mencapai penjualan yang luar biasa meski sedikit terhambat karena hanya tersedia di Tidal, sebuah layanan streaming yang aneh karena engga sengaja membocorkan album Anti sebelum waktunya.

Bahkan, dominasi layanan streaming mulai menggoyahkan pengertian hits sebelumnya. Bukti lainnya soal 2016 merupakan tahun yang aneh adalah bintang-bintang pop yang biasanya menduduki tangga lagu tertinggi, tiba-tiba jadi anjlok banget. Misalnya saja Olly Murs. Sebelum streaming turut mempengaruhi tangga musik, Murs menjajaki peringkat delapan pada single top 10 UK. Kini, sebetulnya sejak 2014, dia tak pernah lagi masuk tangga lagu teratas. Untungnya, sesama alumni X Factor, Little Mix, melonjak ke tangga tertinggi dengan lagu Shout Out to My Ex yang dia rilis pada sebuah hari Minggu alih-alih Jumat seperti biasanya. Jadi masih ada harapan untuk Olly! Bagi musisi kurang mapan, layanan streaming mengindikasikan perpindahan parameter hits. Contohnya, label seperti Dua Lipa dan Anne-Marie yang single-singlenya tak tembus top 15, tetapi justru memiliki napas lebih panjang mengingat angka streaming-nya stabil. Beberapa tahun lalu musisi manapun di luar top 10 akan merasa malu. Kini statistik streaming yang justru menunjukkan kiprah seorang musisi. Tentunya, untuk merespon tren seperti itu kesabaran musisi dan label menjadi kunci.

Cukup soal yang baru-baru. 2016 juga merupakan tahun untuk comeback paling asu. Pertama-tama, Rick Astley (kalau engga tahu dia siapa, coba tanya tantemu) beranjak dari sekadar meme di Internet menjadi penguasa tangga lagu setelah album kedelapannya, 50, laris 100,000 keping. Untuk menambah kekagetan kita, Craig David muncul kembali setelah mengubur rasa malu karena pernah merilis album What's Your Flava? Dan Bo Selecta. Album kebangkitan Craig David, Following My Institution, terdengar sangat kekinian tetapi juga kuno, yang boleh jadi disebabkan karena semua produser yang masih aktif hari ini tumbuh besar dengan album Born to Do It. Saya sih tidak terkejut ketika mendengar sampel dari Justin Bieber (atau tepatnya, dari Where Are Ü Now milik Jack Ü) pada lagu 16-nya Craig David. Pertama-tama, Bieber sangat ngefans pada Craig David, dan kedua, Bieber tak lebih dari momok sepanjang 2016 terutama setelah merilis lagu Sorry. Sulit rasanya untuk berjoget pada lagu-lagu tanpa chorus bergenre tropical house di 2016, dengan virus yang terus mengubah setiap lagu yang telah dirilis menjadi remix tropical house. (Kamu doyan remix tropical house lagu Never Gonna Give You Up oleh Rick Astley? Huft, yaudah deh.)

Mungkin pencapaian terbesar pop di tahun 2016, mau bagaimanapun, adalah menjadikan orang Prancis eksenstrik Christine & The Queens, aka Héloïse Letissier, sebagai bintang global. Letissier membubuhkan gaya queer di ranah arus utama ketika konservatisme sayap-kanan sedang memuncak. Dia juga menawarkan suara alternatif yang brilian, asyik, dan jernih. Lagu-lagunya mendiskusikan ras, seksualitas, dan kesehatan mental. Musik pop menjadi ranah yang sadar akan sekitarnya: dunia yang sedang jungkir balik.