Begini Rasanya Hidup di Mosul Sebelum Negara Islam Menyerang

FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Begini Rasanya Hidup di Mosul Sebelum Negara Islam Menyerang

Ketika saya menginjakkan kaki di Mosul pertama kali, kekacauan melanda kota itu. Pejabat pemerintah dibunuh setiap hari, tentara AS rutin diserang, ranjau-ranjau meledak di tengah iringan konvoi di dalam kota.

Foto oleh Getty Images.

Seb Walker Kepala Biro Timur Tengah untuk VICE News Tonight on HBO.

Artikel ini pertama kali muncul di VICE News.

Saya pernah menyewa sebuah apartemen di Kota Mosul, Irak.

Titimangsanya Januari 2004. Kala itu Mosul, masih dibawah kuasa Jenderal David Petraeus dan Divisi 101st Airborne, Angkatan Darat Amerika Serikat. Saya sedang bertugas sebagai koresponden kantor berita Reuters, ditempatkan di kota itu untuk melaporkan serangan pada pasukan AS. Biang kerok serangan ini, sekelompok pemberontak, makin kuat dari hari ke hari.

Iklan

Mosul adalah sebuah daerah yang sebenarnya indah untuk ditinggali. Mosul merupakan sebuah kota bersejarah, kaya bangunan, masjid, dan gereja kuno. Di kota ini berdiri pula universitas terbesar kedua Irak. Pada sore hari, keluarga-keluarga dari kabilah Moslawi memenuhi kafe-kafe pinggir jalan Mosul. Kadang sebagian orang duduk di perapian terbuka sepanjang sisi sungai Tigris, memanggang ikan masgouf—semacam ikan gurami—yang baru ditangkap dari sungai

Satu keluarga di Irak menyebrangi sebuah sisi sungai Tiggris ke sebuah pulau untuk menghabiskan sore di tahun 2003. Foto oleh AP.

Namun, kondisi kota ini lantas berubah drastis.

Mosul di era modern sejak awal merupakan sebuah kota militer. Di kota ini para jenderal dan perwira tinggi yang menggerakkan kekuatan militer Saddam Hussein bermarkas. Jadi, mudah memahami alasan banyak warga Mosul keki, ketika koalisi militer yang dipimpin AS memutuskan menjatuhkan pemerintahan sah Saddam beberapa minggu setelah menginvasi Irak. AS juga membubarkan seluruh divisi militer Irak sepenuhnya.

Pembubaran ini berarti puluhan ribu prajurit kehilangan pekerja mereka dalam waktu singkat. Prajurit pengangguran ini kemudian menemukan alasan kuat untuk melawan pasukan koalisi Barat. Akhirnya, kaum pemberontakan mulai menampakkan diri secara terstruktur dan terorganisir di Mosul. Serangan kaum pemberontak sedang panas-panasnya ketika saya menginjakkan kaki di Mosul—pembunuhan pejabat pemerintah, penembak jitu rutin membantai prajurit AS, termasuk munculnya alat peledak buatan menghujani konvoi pasukan koalisi.

Iklan

Tak butuh waktu lama bagi kelompok pemberontak meneguhkan fondasi mereka di Mosul. Mereka memanfaatkan ketidakpuasaan rakyat terhadap pemerintah Irak pilihan AS di Ibu Kota Bahdad.

Jalan yang ditempuh Negara Islam dan Irak (ISIS) untuk menguasai Mosul tiga tahun lalu, kemudian mengubah kota ini menjadi markas besar para pejuang khilafah setali tiga uang—cukup dengan mengeksploitasi ketidakpuasan menahun rakyat sipil terhadap status quo. Banyak penduduk Mosul setidaknya berpikir ISIS yang bermazhab Sunni jauh lebih baik dibanding pemerintah pusat yang didominasi kaum Syiah.

Kini, pertarungan di Mosul jauh lebih rumit dari narasi kacangan pertarungan kelompok baik-versus-jahat yang kerap mewarnai beragam media arus utama dunia.

Pasukan yang merangsek masuk Mosul 13 hari lalu, misalnya, disusun oleh koalisi dari bermacam faksi agama dan etnik yang berbeda—suku Arab dan Kurdis, Sunni dan Syiah—masing-masing dengan kepentingan dan agenda sendiri selain memukul mundur ISIS. Bahkan, militer Irak sendiri rentan dengan sekterianisme: Tank dan kendaraan militer sengaja memasang bendera Syiah saat melewati kota dan kampung Sunni di Irak.

Jelas, ada sebuah dimensi geopolitis di balik semua ini. Kelompok pemberontak ini bukan satu-satunya ingin memukul mundur ISIS. Pasukan militer AS dan milisi yang didukung oleh Iran juga punya tujuan serupa, meski hanya dalam jangka pendek. Sementara itu, Turki secara seksama menunggu di pinggir arena, mengancam akan ikut campur jika keadaan tidak menguntungkan mereka.

Alhasil, walaupun pemerintahan brutal ISIS tidak populer di kalangan penduduk Mosul, dan pasukan yang terus merangsek ke Mosul dielu-elukan setiap kali berhasil mendesak ISIS, ada pertanyaaan yang terus saya dengar di Mosul. Apa yang bakal terjadi jika ISIS berhasil dipukul mundur?

Dalam hitungan hari atau bulan, Mosul toh pasti jatuh ke tangan pasukan kiriman Baghdad dan sekutu internasionalnya. Namun, seiring menghilangnya ISIS dari lanskap Mosul, lalu apa? Apakah tentara koalisi ini ngeloyor pergi begitu saja setelah mengalahkan ISIS? Atau yang lebih penting lagi, pembalasan macam apa yang akan diterima warga Mosul, sebuah kota yang dianggap terlalu bermurah hati membuka pintu bagi kelompok ekstremis hendak memorakporandakan Irak?

Perdana Menteri Irak menyakinkan warga bahwa hanya tentara dan polisi nasional Irak yang diperkenankan masuk Mosul setelah kota itu direbut—sebuah usaha mencegah terulangnya pelanggaran HAM seperti dialami Fallujah dan kota lainnya di timur jauh Irak, selepas berhasil direbut kembali dari militan. Di sini lain, pembatasan akses dilakukan untuk mencegah milisi Syiah dan Kurdi masuk ke Mosul dan memantapkan kedudukan mereka—saat ini pasukan pembebas sedang bertempur bersama, namun tiap faksi punya kepentingan politiknya sendiri.

Jelas belaka ini aliansi militer yang ringkih. Kebanyakan warga Irak yang saya ajak bicara meragukan aliansi tersebut mampu bertahan lama. Kekhawatiran terbesar rakyat Irak adalah seandainya kelak terjadi silang pendapat, Irak bakal menghadapi bencana yang lebih kelam dari apa yang mulai terjadi awal 2014. Yakni ketika perseteruan memperebutkan Mosul dan kota lain di Irak berujung pertikaian antar sekte yang menumpahkan banyak darah rakyat tidak berdosa.