Kami Mendatangi Komunitas Muslim Terbesar Inggris, Membuktikan Tidak Ada Radikalisme di Sana
Masjid Jami Shahjalal Birmingham.

FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Kami Mendatangi Komunitas Muslim Terbesar Inggris, Membuktikan Tidak Ada Radikalisme di Sana

Pemerintah Inggris mengeluarkan laporan yang menuding komunitas muslim kurang bersosialisasi dengan etnis lain serta rentan tertarik ideologi jihad. Kami ke Birmingham, lalu meyakini laporan itu omong kosong.

"Kohesi antar komunitas tak selalu erat di seluruh penjuru Inggris" tulis Dame Louise Casey. Bagi Dame Casey, Pejabat Bidang Kesejahteraan Sosial Inggris, melalui laporan "2016 Integration Review" negara itu sejatinya hanyalah hamparan distopia yang terbagi dalam beragam kelompok etnis terpisah. Kemudian dia menekankan Inggris terancam oleh kehadiran komunitas muslim radikal. Menurut Casey, kencenderungan para imigran itu menjadi jihadis bisa diredam oleh patriotisme ala Inggris. Laporan itu niatnya ditulis untuk menyingkap semua akar ketidakadilan di Inggris Modern. Dari semua hal yang diungkap, mayoritas laporan Dame Casey banyak menyoroti Islam, memberikan perhatian lebih eksistensi komunitas muslim Pakistan dan warisan budaya Bangladesh. Secara tidak langsung, menuding dua komunitas itu wajib diwaspadai.

Iklan

Dalam salah satu bagian laporannya, Dame mengurut sepuluh komunitas yang paling terpinggirkan karena penduduknya adalah "penganut agama dan etnis minoritas." Sesudah membaca laporan ini, saya bergegas mengunjungi kawasan Washwood Heath di Kota Birmingham. Dalam daftar Dame, kawasan ini berada di posisi keempat paling terpinggir, gara-gara 77 persen penduduknya memeluk Islam dan 55 persen yang berdiam di sana berdarah Pakistan.

Tentu saja, lawatan saya ke sana bukan tanpa maksud. Saya ingin membuktikan apa benar penduduk Washwood Heath hidup "berlawanan dengan nilai-nilai dan hukum Inggris."

"Saya belum pernah dengar satupun orang sini yang hijrah ke Suriah," ujar Sadia sambil bersungut-sungut. Sadia, berprofesi sebagai agen properti, telah bermukim di Washwood Heath sejak lahir. "Selama tumbuh dewasa di sini, tak ada yang radikal bisa saya lakukan. Boro-boro ada program pemerintah menjangkau kami, polisi juga banyak menangkap orang Asia kerena penyalahgunaan obat—harusnya ini yang jadi fokus pemerintah."

Iram, 62, mengamini keterangan Sadia. "Kami merayakan Idul Fitri, Natal, dan Diwali bersama-sama tetangga kami," ujarnya.

Toko peralatan ibadah umat muslim di Washwood yang dikelola Emran.

Keragaman warga Washwood Heath ini kemudian tertutup oleh pemberitaan tentang negatif, apalagi jika ada orang Islam melakukan kejahatan kecil-kecilan seperti berkelahi. Di luar kasus penusukan dan penembakan, Washwood Heath terakhir kali ramai diberitakan setelah terungkap upaya pemerintah Inggris menaruh kamera CCTV mahal untuk mengawasi warga muslim.

Iklan

Dame dalam tulisannya memberi beberapa usulan untuk memperbaiki kuliatas hidup komunitas ini. Ada yang masuk akal seperti meningkatkan tingkat melek teknologi informasi di kalangan wanita muslim. Selebihnya, usulan lain seperti "sumpah kesetiaan terhadap nilai-nilai Inggris," terdengar konyol kalau tidak bisa dibilang bernuansa fasisme.

Yang paling menyeramkan, Dame Casey "penuh kebanggaan dan tanpa malu" mengelu-elukan strategi pencegahan antiterorisme khusus warga muslim Inggris, bernama 'Prevent'. Sebuah program yang telah diulas banyak pakar dan pemimpin lingkungan sebagai kebijakan yang tidak efektif, kolot, dan rasis. Menanggapi respon negatif seperti ini, Dame mengatakan bahwa Prevent "memang tidak secara eksplisit dirancang meningkatkan kohesi sosial setiap komunitas."

Di halaman Masjid Jami Shahjalal, saya bertemu Saf. Dua hari sebelumnya, Saf baru saja diinterogasi oleh polisi antiteror menyusul penggerebegan di sebuah masjid di Kota Wolverhampton. "Tapi, engga ada kok yang saya sembunyikan," ujar Saf. "Saya cinta negara ini, saya bekerja keras, dan saya bayar pajak."

Saf kemudian dibebaskan oleh polisi karena memang tidak ada bukti dia terlibat terorisme.

Saf berusia 36 tahun. Selama hidupnya, dia kenyang keluar masuk penjara dan melahap narkotika kelas A. Saya kami berjumpa, Saf baru lima hari lepas dari ketergantungan ganja. "Jihad secara harfiah berarti perjuangan. Nah, perjuangan ini bisa dipahami berbeda-beda oleh setiap orang," ujar Saf. "Jihad saya menghadapi ketergantungan narkoba—ISIS tak ada hubungannya dengan jihad."

Iklan

Meski terlihat rapuh, Saf hanya jadi ancaman bagi dirinya sendiri. Dia terkesan gusar ketika mengenang ketergantungan ganja yang membuat anak dan istri meninggalkannya. Beruntung, seorang imam masjid berhasil mengembalikan kesadarannya. Di Washwood, Saf menemukan "kedamaian sejati" dan "dukungan nyata" yang memang dia dambakan.

Sambil berdiri di sebuah bilik kasir di Bar miliknya, Emran menunjukkan kepada saya kliping koran pada 2009. "Emran Kabur dari Teror Taliban di Usia Delapan Tahun" begitu bunyi headline surat kabar itu, tertera di atas sebuah foto seorang anak yang tersenyum. "Kini dia punya rumah di kota kita," tulis si wartawan. Sambutan ramah kepada imigran tak lagi muncul dari media massa Inggris. Pengungsi anak asal Suriah tahun lalu diperiksa imigrasi tak kalah ketat seperti orang dewasa. Mereka malah harus melewati pemeriksaan gigi sebelum bisa masuk Negeri Ratu Elizabeth.

Ketika membahas segala tindakan brengsek para petugas program Prevent kepada komunitas muslim, Dame Casey mewanti-wanti agar "media tidak didominasi oleh narasi yang isinya kritik belaka."

"Kini, media malah menyebarkan kebencian terhadap kaum muslim. Mereka mencomot aspek negatif dari berbagai budaya Asia dan menganggapnya sebagai budaya Islam," ujar Emran.

Bagi Yassin, pria 6o tahun yang mengelola sebuah toko, jaringan supermarket Morrisons lebih berbahaya bagi Washwood Heath, bukannya madrasah. "Sejak superstore besar dibuka, orang-orang dari komunitas sekitar tidak sudi datang ke pasar tradisional untuk belanja lagi," ujarnya.

Iklan

Selama 40 tahun tinggal di Washwood, Yassin menyaksikan sendiri banyak tetangga kulit puti mengumpulkan uang untuk pindah dari lingkungan tersebut. Migrasi macam ini dikenal sebagai white flight. Ujung-ujungnya, kaum muslim lagi yang disalahkan. Padahal yang pertama kali tidak nyaman melihat kedatangan imigran muslim adalah orang-orang kulit putih.

"Kami tinggal di sini karena kami cuma kelas pekerja, bukan karena kami muslim," tegas Saf.

Bahkan jika kaum muslim di Washwood benar "teralienasi dan terisolasi", faktanya kejahatan dilatari kebencian terhadap kaum muslim meningkat sebanyak 326 persen sepanjang 2016 di Inggris. Sangat mengada-ada bila muncul tudingan menyebut komunitas muslim kurang loyal pada Inggris gara-gara terpengaruh paham jihadis. "Kaum muslim hidup bersama-sama dalam satu komunitas karena itu pilihan yang aman," ujar Emran. "Jika mereka masuk pemukiman kulit putih, habislah mereka."

Dame Casey, pejabat yang terkesan anti-Islam ini, sebetulya mengakui "Komunitas kulit putih Inggris dan etnis Irlandia adalah grup-grup yang paling enggan menjalin hubungan sosial dengan bermacam etnis". Di Washwood, kawasan mayoritas muslim keempat dari 7.669 daerah elektoral di Inggris,dua per tiga penduduknya lahir di Inggris. Bahasa Inggris digunakan di setiap rumah dan dalam percakapan 80 persen penduduk Washwood. Hanya 3,7 persen penduduk Washwood yang tak bisa berbahasa Inggris.

Iklan

Seperti yang tercantum laporan Dame Casey, mereka yang tak bisa berbahasa Inggris biasanya perempuan, yang tidak diperkenankan keluar rumah tanpa muhrim. Perempuan muslim tak bisa berbahasa inggris jumlahnya dua kali lipat dari jumlah lelaki. Lebih dari itu, ada 1.220 perkawinan hasil perjodohan yang terdaftar di Inggris (mayoritas terjadi dalam komunitas muslim) tahun lalu. Sebaliknya, Dame Casey menemukan "tingkat kasus kekerasan dalam rumah tangga tertinggi dialami oleh perempuan kulit putih dan hitam karibia (14 persen) dan perempuan etnis Irlandia (12 persen). Laporan Dame Casey mencatat adanya ketimpangan pendapatan selebar 19.2 antara perempuan dan laki-laki. Artinya, masalah sebenarnya, kalaupun memang komunitas muslim Inggris memilikinya, terletak pada ketidakadilan gender. Bukan karena agama yang mereka anut.

Yang jadi masalah, Dame Casey di laporan itu terus menuding komunitas muslim enggan berintegrasi dengan masyarakat Inggris. Pejabat seperti dia semestinya menjelaskan ke publik alasan pemotongan anggaran belanja pemerintah terhadap program bantuan sosial bagi perempuan korban KDRT komunitas kulit hitam dan dari etnis minoritas lainnya.

Sy, seorang perawat, menemui saya di luar gedung balai latihan kerja setempat. Dia menyatakan Washwood lebih butuh penciptaan lapangan kerja daripada dibebani stigma-stigma 'radikalisme'.

"Susah bagi perempuan untuk mendapatkan pekerjaan di Washwood—ini yang harusnya jadi perhatian pemerintah," ujarnya. Setelah belajar bahasa Inggris bersama sukarelawan di komunitas ini, perempuan berumur 32 tahun itu sekarang lebih percaya diri menemukan pekerjaan sebagai pengajar.

Iklan

"Kalau ada satu warga keturunan Asia dan beragama Islam berbuat jahat, pemerintah sini langsung latah mengatakan semua etnis Asia teroris," ujar Sadia. "Mereka tak menyebut pelaku sebagai 'satu orang asia saja'."

Masjid Ali di Washwood

Bias kecurigaan pemerintah Inggris yang berlebihan pada Islam sangat kentara dari tulisan Dame Casey. Dia menggambarkan masjid dengan semena-semena sebagai "ladang ternak radikalisisasi dan terorisme." Padahal setelah mengikuti pengajian, disertai debat teologis sengit berdurasi 30 menit di Masjid Ali, tak ada sekalipun muncul ujaran kebencian atau kata-kata semacam orang kafir layak dibunuh. Memang, ada anggota majelis yang memuji-muji hukuman mati ala Arab Saudi—"efektif lho!" kata seorang pria. Meski demikian, pria yang sama mewanti-wanti agar Syariat Islam hanya diterapkan di negara yang penduduknya setuju menjalankannya.

"Di bawah hukum Islam, saya bahkan tak punya hak membunuh semut sekalipun."

Ada hal yang menyatukan orang Washwood yang berdebat dalam masjid: kebencian terhadap ISIS. Kemudian sangat ironis, bila kita ingat, Dame Casey adalah wakil pemerintah Inggris. Pemerintah inilah yang menjadi makelar penjualan senjata bernilai miliaran Dollar kepada Arab Saudi. Sebagian senjata itu beredar di Timur Tengah, lantas jatuh ke tangan ISIS.

Pada akhirnya, bagi saya, Washwood sangatlah Inggris. Anda bisa menemui citra-citra khas Inggris di sana: anak lelaki yang membonceng pacarnya dengan sepeda BMX, kaleng Carlsberg penyok berserakan di dekat pagar, dan hal-hal berbau Inggris lainnya. Serupa komunitas miskin lain, Washwood punya masalah sosialnya sendiri. Kawasan ini mempunyai tingkat kemiskinan sebesar 37 persen. Washwood juga tercatat sebagai salah satu tempat dengan tingkat kematian anak tertinggi Inggris.

Iklan

Kita jangan sampai mengikuti usulan ngawur Dame Casey, menyelesaikan masalah-masalah di Washwood dengan cara-cara patriotis. Yang bermasalah adalah cara laporan itu menarik kesimpulan. Dame Casey gagal mengkritisi pemerintah Inggris yang secara tak langsung menyuburkan ekstremisme di komunitas yang terdiri dari warga "mantan koloni dan teritori Kerajaan Inggris" melalui segala penjualan senjata dan intervensinya di Timur Tengah.

Dame Casey dengan pongah percaya komunitas muslim di Washwood harus disesuaikan dengan nilai-nilai Inggris pasca-Brexit. Warga Washwood hendak diwajibkan mengenal "kecintaan akan monarkisme, BBC, kebiasaan antre, hingga obrolan tentang cuaca" atau mereka bakal menerima konsekuensi buruk. Laporan Dame Casey adalah guyonan garing ala fasis yang menjijikkan.

Bagi para muslim di Washwood, kritik Dame Casey yang membabibuta terhadap komunitas Muslim justru menunjukkan obsesi konyol mencari kambing hitam untuk dituduh sebagai jihadis-jihadis ISIS, alih-alih berusaha mengurai masalah yang sesungguhnya dihadapi komunitas Islam. Ini masalah yang terjadi tak hanya di Inggris, namun juga banyak dilakukan pemerintahan Eropa lainnya.

"Untuk apa juga jadi radikal?" kata Sef sinis. "Menjadi Islam radikal tidak akan membuat anak dan istriku kembali."

Kutipan dan data dalam tulisan ini diambil dari 2016 Integration Review serta sensus Inggris 2011, kecuali jika disertai keterangan berbeda.

Follow penulis artikel ini lewat akun @hashtagbroom