Saya Menyaksikan Pelantikan Donald Trump Sebagai Presiden AS bersama Para Fans Beratnya

FYI.

This story is over 5 years old.

Politik

Saya Menyaksikan Pelantikan Donald Trump Sebagai Presiden AS bersama Para Fans Beratnya

Momen Trump resmi menjabat presiden membuat banyak penduduk AS khawatir. Tapi jangan salah, banyak juga pendukungnya bersemangat datang jauh-jauh ke Washington DC.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Saya mulai mengenakan topi baseball merah pukul 05.45, waktu Washington D.C. Saya dalam perjalanan menuju Gedung Capitol di pusat kota, persis sebelum semburat mentari pagi mewarnai langit; beberapa jam sebelum Donald Trump resmi menjabat posisi paling berpengaruh di Amerika Serikat. Ini adalah momen yang mungkin mengawali, atau malah mengakhiri, sejarah kepresidenan paling aneh dalam sejarah negara kami. Fajar ini, adalah fajar bagi Trump, tapi mungkin senja bagi orang-orang yang tidak mendukungnya.

Iklan

Saya adalah awak media, tapi yang tidak elit-elit amat, sehingga sulit dapat tempat strategis dekat panggung pelatinkan. Saya harus berjalan satu jam dari dekat taman Capitol Hill, untuk menuju panggung utama. Artinya, sepanjang perjalanan saya terpaksa berdesak-desakan dengan ribuan pendukung Trump yang hadir, rombongan manusia yang meyakini Trump akan melunasi janji "make America Great Again." Banyak pemandangan menarik pagi itu. Ada remaja melambai-lambaikan pecahan Dollar bergambar Trump, pengendara motor memakai jaket jeans bertuliskan "jangan macam-macam denganku", serta orang-orang lalu lalang, kendati jalanan masih lumayan gelap.

Gedung Capitol pada pagi sebelum pelantikan.

Gerbang Taman Nasional Washington dibuka tepat pukul 06.00. Orang-orang bergegas masuk, berusaha mencari posisi terbaik untuk menyaksikan pelantikan. Beruntung saya mengenakan kartu pers, sehingga saya tidak perlu ikut mengantre. Setidaknya saya masih bisa menyaksikan pemandangan indah fajar di atas Gedung Capitol. Pagi yang dingin itu akhirnya terobati, karena ada jajaran stan menyediakan kopi gratis bagi semua orang. Saya bertanya pada salah satu penjaganya, pekerja Gedung Putih. Saya bertanya, bagaimana dia membandingkan suasana pelantikan Trump dengan saat Barack Obama pertama dilantik delapan tahun lalu. "Saat itu suasana pelantikan lebih magis," kata manajer stan kopi gratis. "Sementara sekarang, agak mencekam…" imbuh perempuan itu tanpa bersedia merinci lebih lanjut.

Iklan

Saya dan fotografer VICE harus menunggu enam jam lebih, sebelum Trump muncul dan mengucapkan sumpah resmi sebagai presiden. Walau membosankan, setidaknya kami jadi punya banyak waktu untuk mengenal karakter orang-orang yang bersedia datang jauh-jauh merayakan pelantikan Trump. Saya bertemu warga asal Negara Bagian Ilinois, Florida, Ohio, Tennessee, dan New York, yang khusus datang ke Ibu Kota demi acara pelantikan. Mereka mengaku sudah menanti bertahun-tahun, agar sosok seperti Trump terpilih sebagai presiden. Satu pria kepada saya mengaku 40 tahun terakhir mendambakan pengusaha macam Trump menjadi kepala negara AS—usia pria itu baru 60 lebih sedikit.

Para pendukung Trump bersorak surai saat pelantikan berlangsung.

Saat membacakan pidato pelantikan, Trump mengklaim berhasil merebut Washington D.C untuk dikembalikan kepada rakyat. "Mereka adalah pria dan wanita yang selama ini terlupakan oleh pemerintah," ujarnya. Para pendukungnya mengamini pernyataan tersebut. Mereka mengaku muak diperintah oleh presiden yang tidak mereka dukung delapan tahun terakhir. Supaya lebih spesifik, saya minta satu orang dari Illinois menjelaskan, muak kepada siapa maksudnya. Dia menjawab, tentu saja pada Obama. "Saya selalu tidak sabar menantikan Obama lengser."

Pada kolom opini New York Magazine yang terbit setelah hasil pemilu diumumkan, esais Robert Browne mengatakan slogan "Make America Great Again" seharusnya diterjemahkan menjadi "Make America Slow Down". Sebab AS, suka tidak suka, sebetulnya mengalami banyak kemajuan delapan tahun terakhir. Namun bagi pendukung Trump negara mereka pokoknya jadi lebih kacau, lebih menakutkan, dan tidak lagi religius. Mereka, para konservatif pendukung Trump, merasa dianaktirikan oleh rezim pemerintahan Partai Demokrat. Kini mereka merasa diperhatikan kembali. Mungkin.

Iklan

Tentu pagi itu tidak hanya dipadati pendukung Trump. Ada banyak orang berkeliaran membawa papan, berisi kalimat protes seperti "Kami Akan Terus Melawan" atau "Pussy Grabs Back", sebuah kecaman atas kalimat seksis Trump di masa lalu yang melecehkan perempuan. Pertemuan dua kubu berseberangan pagi itu, tidak sampai berakhir dengan baku pukul. Pendukung Trump mungkin juga sudah malas menanggapi para demonstran. Mereka sudah menang, setidaknya lewat jalur pemilu. Kalaupun kalian menyaksikan ada kerusuhan yang pecah karena demonstrasi menolak pelantikan Trump, termasuk ada tembakan gas air mata dan pembakaran sebuah mobil limo, semua peristiwa itu terjadi jauh dari Washington D.C.

Pria anti Trump berkeliaran dekat panggung pelantikan.

Trump dan Obama datang nyaris bersamaan. Layar jumbotron yang dipasang di setiap sudut halaman Gedung Capitol menampilkan lautan massa dari sisi berbeda-beda. Berikutnya gambar yang muncul menyorot para pejabat dan tokoh penting yang hadir. Ketika di layar terlihat sosok Capres Bernie Sanders, yang kalah oleh Hillary Clinton di pemilihan internal Partai Demokrat, banyak orang berteriak kasar. "Dasar bajingan sosialis!" kata beberapa orang bersamaan. Uniknya, ketika kamera menyorot Ketua DPR Paul Ryan, politikus Partai Republik pengusung Trump, orang-orang mencemooh lebih keras lagi. Ryan memang berseberangan dengan banyak pandangan politik Trump selama masa kampanye. Lautan massa meneriakkan caci maki paling keras ketika di layar tampak sosok Hillary Clinton. Koor "Segera penjarakan Hillary" dikumandangkan banyak orang.

Iklan

Dua pria di belakang saya kasak-kusuk melihat Michelle Obama muncul di panggung pelantikan. "Masa Michelle pernah bilang kalau Trump terpilih Amerika tak punya harapan lagi," kata satu orang. Pria di sebelahnya menanggapi, "Dasar idiot. Dia seharusnya tahu Trump bahkan didukung oleh banyak ibu tunggal."

"Aku berharap Michelle nanti terpeleset pas pulang," imbuh pria satunya.

Barack Obama, tentu saja, disambut massa dengan cemoohan. Mereka bernyanyi, "Na, na, na, na, hey, hey, hey, goodbye!" Sementara ketika Melania Trump, calon Ibu Negara baru muncul di Jumbotron, banyak orang bersiul.

Suporter Trump mengenakan masker.

Saat sosok Trump benar-benar muncul, ribuan orang berteriak histeris. Di depan saya ada gerombolan mahasiswa, tampaknya dari satu kampus yang sama, saling berpelukan dan berbagi botol air minum diisi whiski. Mereka menitikkan air mata.

Pidato Trump sesudah pelantikan sebetulnya cenderung lebih landai dan kurang menohok dibanding biasanya. Tapi apapun yang diucapkan Trump, apalagi yang bernuansa nasionalistis, pasti disambut meriah para pendukungnya. Jurnalis Matt Taibi membuat catatan menarik di Twitter. Dia bilang, slogan Trump "America First" bisa saja diganti "America Fuck Yeah!" dan para pendukungnya mungkin akan berteriak gembira lebih kencang lagi. Mereka benar-benar berbahagia. Kaum liberal, kaum elit, orang-orang snob, yang sok pintar, yang berpendidikan tinggi, semuanya sudah berhasil mereka kalahkan.

Setelah pesta pelantikan berakhir, pendukung Trump membubarkan diri. Sebagian dari mereka bertemu para pengunjuk rasa di jalan. Saling ejek terjadi. Ketika saya berusaha keluar dari kerumunan, seorang remaja perempuan diseret ibunya agar tidak bertemu pendukung Trump. Remaja itu membawa plang bertuliskan "Fuck This President."

Dari kejauhan, helikopter mengangkut Obama dan keluarganya melayang semakin tinggi di atas Gedung Putih. Seorang perempuan di sebelah saya berteriak ke arah langit. "Obama, kamu dipecat!" Lelaki di sebelahnya tertawa kecil, sebelum kemudian ikut nyeletuk. "Silakan pergi sana. Kami sekarang yang berkuasa!"

Follow John Surico di Twitter.

Follow fotografer Jason Bergman di Instagram.