Psikologi

Kalian Merasa Burnout Selama Kerja/Belajar dari Rumah? Solusinya: Bermalas-Malasan

Jalani hidup dengan lebih santai, dan lakukan apa yang benar-benar harus kalian lakukan. Niscaya rasa lelah karena merasa harus produktif tiba-tiba menghilang.
Tips mengatasi kelelahan mental alias burnout selama WFH adalah dengan bermalas-malasan
Foto ilustrasi oleh Klaus Vedfelt via Getty Images

Sejak September 2020, ada acara open mic stand up komedi yang digelar setiap Kamis tak jauh dari apartemen temanku Sonya. Dulu kami meluangkan waktu untuk menontonnya bersama, tapi belakangan ini kami sibuk banget. Sonya sedang menyelesaikan gelar Master-nya, sementara aku menggarap pekerjaan lepas apa saja yang ditugaskan kepadaku. Kami kecapekan, gelisah dan lelah.

Ketika semua tugas akhirnya rampung, kami memantapkan diri untuk menghadiri acara open mic lagi. Pertunjukan tersebut sebetulnya enggak bagus-bagus amat, tapi waktu yang kami habiskan bersama sangatlah seru. Setelah satu tahun yang penuh kesibukan, kami memperhatikan para penampil dengan kekaguman baru.

Iklan

Ketika kami menyaksikan seorang gitaris Prancis bernyanyi ala Courtney Love, aku berbisik kepada Sonya, “Kok bisa kita ketinggalan acara seru kayak gini?” Sebagian besar waktu kami tersita untuk mencoret to-do-list, menyelesaikan tugas dan lain-lain. Sekarang kami muak dengan itu semua! Kami cuma ingin menjadi anak nakal.

Anak-anak nakal yang aku kenal jarang main keluar, tapi mereka ogah melakukan apa-apa. Dalam budaya kelangkaan waktu, itu pemberontakan terburuk yang bisa mereka lakukan. Waktu menjadi semakin langka bukan hanya karena banyak pekerjaan dan tuntutan pragmatis lainnya. Setelah setahun hidup dalam keterbatasan, kita secara kolektif mulai “mengganti waktu yang hilang”. Di bawah kondisi ini, memandang waktu dengan boros, serampangan dan santai terasa sangat berani, dengan cara yang pasif.

Sonya ingin lebih sering tidur siang. Aku ogah membalas email, dan lebih sering SMS-an. Aku mungkin bakalan begadang sampai subuh untuk membaca buku, dan enggak siap mengikuti rapat online keesokan paginya. Mungkin malah aku akan sengaja melewatkan rapat.

Kalau ada yang bertanya tentang karier, aku ingin menjawabnya dengan kikuk.

Anak nakal bisa jadi pemalas tingkat dewa. Mereka dapat menghabiskan waktu tanpa memikirkan produktivitas terukur, yang sepertinya akan aku ikuti. Ada banyak cara untuk bermalas-malasan. Memang benar aku suka naik kereta untuk menikmati pemandangan, tapi juga karena tak ada yang bisa menggangguku ketika bekerja sepanjang perjalanan. Di masa lalu, saat aku masih menjadi sosok yang teladan, aku naik kereta untuk menyelesaikan pekerjaan sambil mendengarkan sesuatu yang tenang dan membuatku berpikir.

Iklan

Anak nakal enggak akan kerja saat naik kereta. Mereka mungkin tidur di sepanjang perjalanan, atau membaca buku jelek yang mereka temukan di toko buku. Kira-kira itulah yang aku lakukan minggu lalu, dan rasanya menyenangkan. Menguping pembicaraan orang begitu mendebarkan: Semuanya datang ke pesta! 60 orang menginap di satu vila! Aku dengar di sana ada “cowok biseksual ganteng.” Dia pandai menari!

Aku berhasil hidup ogah-ogahan dengan berdandan seolah-olah ingin pergi. Satu jam aku habiskan dengan mondar-mandir di kamar, menggonta-ganti pakaian, mendengarkan lagu dan minum dua kaleng bir. Pilihanku jatuh pada satu pakaian saja. Aku merasa seperti seorang yang glamor, Marlene Dietrich, pangeran yang gagah berani, penasihat yang menyedihkan atau nihilis dalam balutan dress pink. Benar-benar seperti anak nakal.

Urusan pekerjaan menjadi yang paling sulit aku taklukkan, tapi mungkin merupakan elemen penentu status mereka. Bekerja seadanya terasa seperti… enggak etis? Berisiko? Ada kalanya aku bekerja keras, ada kalanya aku biasa saja. Dan apa jadinya? Enggak ada korelasi antara seberapa banyak usaha yang aku lakukan dan seberapa besar aku menyukai pekerjaan itu. Fakta tersebut menguatkan hati, tapi juga menyedihkan.

Aku masih khawatir akan kehilangan semua pekerjaanku jika enggak sungguh-sungguh dalam mengerjakannya. Tapi anak nakal mungkin selalu berisiko dikeluarkan, dan itulah yang harus kulakukan. Aku yakin akan menyukai sensasi hampir kehilangan sesuatu, misalnya seperti berhasil mengejar kereta. Aku mencoba untuk lebih memegang teguh keyakinan bahwa jika sesuatu bersifat sementara, sedikit sabotase diri bisa menggiurkan. Mengalami kegagalan adalah suatu kebebasan. Meski cuma sebulan saja.

Follow Maggie Lange di Twitter.