Korupsi

Calon Hakim Agung Menilai Keseringan OTT Tersangka Korupsi Bisa Hambat Investasi

Peserta seleksi hakim agung bernama Adly menganggap operasi tangkap tangan sebaiknya dikurangi. Adapun menurut ICW, di Indonesia pencegahan dan penindakan harus sama-sama masif.
Calon Hakim Agung Adly Menilai OTT KPK Bisa Hambat Investasi saat Seleksi Komisi Yudisial
Mahasiswa membawa atribut unjuk rasa pada 1 Oktober 2019, karena revisi UU dianggap melemahkan KPK. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Seru juga menonton ‘Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung 2021’ yang disiarkan akun YouTube Komisi Yudisial (KY). Di pelaksanaan hari kedua seleksi, tepatnya pada 4 Agustus 2021, jawaban salah satu peserta seleksi bernama Adly membuat gelaran ini serasa acara Fear Factor.

Dia ditanyai panelis sekaligus anggota KY, Amzulian Rifai, tentang keterkaitan pemberantasan korupsi dengan fokus perbaikan aspek ease of doing business (alias kemudahan berwirausaha) di Indonesia. Adly lantas menilai operasi tangkap tangan (OTT) yang kerap dilakukan KPK sebaiknya dikurangi, karena berdampak buruk pada minat investasi asing di Indonesia.

Iklan

“Dengan strategi yang akan diterapkan itu [OTT], makanya, ini pendapat saya, bahwa ada perubahan di KPK yang semula pemberantasan dengan OTT, ini mereka [perlu] kurangi. Pandangan saya ini, mereka kurangi [OTT] tapi arahnya [berfokus] ke pencegahan dari tindak pidana korupsi. Kalau orang sering ditangkap, kepala daerah, menteri, ditangkap, akan memberikan dampak investasi ke negara Indonesia,” jawab Adly kepada Amzulian saat sesi tanya jawab.

Masih ada yang lebih “seru” dari jawaban Adly. Ia lanjut bercerita bahwa korupsi di daerah banyak terjadi karena para pejabat setempat, seperti kepala desa atau kepala sekolah, sebetulnya tidak mengerti kalau kebijakan mereka masuk kategori korupsi.

“Pencegahan dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan hukum kepada mereka. Contoh, untuk perkara di daerah, kecuali kota besar, itu perkara yang diadili adalah kepala sekolah, kepala desa, aparat desa, ini hal-hal yang naik ke pengadilan. Sementara dia [pelaku] sendiri tidak mengerti apa itu korupsi, bagaimana melaksanakan dana desa ini,” kata Adly. “Ada pembimbingnya, tapi pembimbingnya tidak memberikan [penjelasan] kalau Anda ambil uang, Anda harus gunakan.”

Karena itu, Adly punya gagasan agar ada penyuluhan hukum rutin ke daerah, termasuk ke kepolisian, kejaksaan, dan pihak yang menangani perkara tipikor.

Iklan

Apakah ini opini brilian? Pegiat anti-korupsi justru menilai ide Adly basi. Koordinator Law and Court Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter Kaban menjelaskan kepada VICE, permintaan untuk fokus ke pencegahan dibanding penindakan korupsi bukanlah narasi baru.

“Yang mengganggu adalah seolah-oleh kerja penindakan korupsi itu datang dari ruang hampa. Padahal, kalau dilihat utuh, ini bukan dua hal yang bisa dipisahkan. Pencegahan dan penindakan itu rangkaian dari pemberantasan korupsi,” kata Lola saat dihubungi VICE.

Masalah terbesarnya, menurut Lola, adalah pemerintah tidak mempunyai cetak biru upaya pemberantasan korupsi. Alhasil kerja KPK mirip pemadam kebakaran: bertindak kalau ada kasus.

“Ini bukan pemakluman, tapi jadi lumrah kalau ada kekeliruan persepsi [seperti pendapat Adly] gitu. Karena negara enggak menunjukkan keseriusan dalam pemberantasan. Dari sisi pencegahan enggak serius, penindakan juga enggak serius,” ujar Lola.

Terkait konteks pernyataan Adly yang “menyalahkan” OTT KPK sebagai hambatan investasi, Lalola tak sepakat.

“Kerja penindakan dianggap sebagai kambing hitam. Karena banyak kasus korupsi yang ditindak, maka enggak ada yang mau investasi. Buat saya itu enggak masuk akal. Misleading juga kalau bilang pencegahan mesti diutamakan karena pencegahan itu sudah banyak agendanya. Masalahnya, enggak ada cetak biru,” tambah Lalola.

Iklan

Ia mengatakan bahwa kesan fokus ke penindakan macam OTT KPK juga dipengaruhi ekspose media yang lebih sering memberitakan penindakan dibanding upaya pencegahan.

“Sehingga apa yang dikatakan oleh Pak Adly itu enggak berdasar karena memang dia hanya melihat apa yang tampak, hanya lihat gejala. Dia enggak address ke masalah utamanya, karena kalau melihat, dia akan paham bahwa pencegahan dan penindakan itu enggak bisa dipisah,” ujar Lalola.

Terkait poin Adly mengenai pejabat daerah yang tidak tahu sedang korupsi, Lola setuju kasus demikian memang kerap terjadi.

“Misalnya, dia enggak punya kapasitas mengelola anggaran, itu kan harus jadi kewajiban negara untuk meningkatkan. Sejak anggaran desa diberlakukan lewat UU Desa, enggak pernah ada mekanisme sustainable yang memberikan mereka kemampuan mengelola anggaran, ya wajar mereka enggak tahu. Saya bukan membenarkan [praktik korupsi tersebut], tapi ada tanggung jawab [negara] yang enggak dituntaskan di situ. Jadi, anggaran besar itu kan kayak dapat duit kaget, tapi enggak dibarengi sama kemampuan dan pemahaman menyeluruh soal tata kelola.”