Opini

Jangan Terpikat Gagasan 'Herd Immunity' untuk Hadapi Corona, Korban Bisa Amat Banyak

Opsi ini ditentang ahli medis. Kapasitas fasilitas kesehatan Indonesia juga dinilai belum sanggup melayani perjudian demi mendapat kekebalan kelompok.
Herd Community buat virus corona di Indonesia bisa timbulkan korban jutaan jiwa
Jamaah Masjid Agung Surabaya tetap menggelar salah jumat pada 20 Maret 2020. Foto oleh Juni Kriswanto/AFP

Tanpa karantina wilayah skala nasional dan tanpa larangan mudik yang tegas, kita patut curiga bahwa jalan keluar yang dipilih pemerintah Indonesia dalam menghadapi wabah virus corona adalah dengan membiarkan masyarakat sakit, lalu sembuh sendiri, lalu punya imun terhadap sang virus.

Semakin banyak yang kebal, semakin aman pula sebuah kelompok masyarakat dari serangan pandemi. Apabila persentase orang yang kebal di dalam kelompok mencapai 50-67 persen, kelompok tersebut sudah memiliki herd immunity alias kekebalan kelompok. Hasilnya, virus enggak sanggup menembus benteng pertahanan imun dan selamatlah manusia dari kehancuran.

Iklan

Namun, kenyataannya tidak seindah itu.

Kekebalan kelompok membutuhkan tumbal, yaitu mereka-mereka yang meninggal karena kalah oleh virus sebelum sempat membentuk imunitas dan sembuh dari penyakit. Dengan persentase kematian mencapai 8,9 persen, opsi kekebalan kelompok di Indonesia memungkinkan memakan korban hingga 16 juta orang.

Mengutip dari Tirto, gambar kasarnya kira-kira begini: Indonesia punya 271 juta penduduk. Kalau mau punya kekebalan kelompok, harus ada 182 juta orang kena corona lalu sembuh. Dengan persentase kematian 8,9 persen, maka Indonesia diperkirakan bisa kehilangan 16 juta orang.

Kecurigaan bahwa opsi kekebalan kelompok dipilih pemerintah sebagai langkah melawan corona juga dirasakan oleh Direktur Eksekutif Center for Clinical Epidemiology & Evidence-Based Medicine Fakultas Kedokteran UI-RS Cipto Mangunkusumo, dr. Tifauzia Tyassuma. Menurut Tifauzia, ini terlihat dari bagaimana pemerintah tergesa-gesa mengambil langkah reaktif dari kejadian di lapangan namun lamban dan terlambat menjalankan langkah preventif.

Ada dua cara bagaimana kekebalan kelompok bisa terjadi. Pertama, dilakukan secara alami alias dibiarin sakit dan sembuh sendiri. Kedua, lewat vaksinasi. Nah, opsi kedua belum bisa jadi pilihan karena ilmuwan memperkirakan vaksin paten khusus SARS-CoV-2 baru hadir satu setengah tahun lagi. Jadi, opsinya tinggal kekebalan kelompok secara alami, yang mana 16 juta jiwa bisa terancam tadi.

Iklan

Angka 16 juta ini bisa jadi bertambah karena imunitas yang dihasilkan setelah sembuh dari virus corona belum diketahui akan bertahan berapa lama di tubuh manusia. Epidemiologis Fakultas Kesehatan Masyarakat UI dr. Tri Yunis Miko Wahyono jadi salah satu yang khawatir mengingat belum ada data pastinya.

"Jadi, membarkan saja masyarakat [kena virus] memang akan terjadi imunitas. Tetapi imunitas dalam virus SARS-CoV-2 ini tidak memberikan imunitas jangka lama. Jangka pendek pun terlalu pendek, paling lama setahun. Enggak tepatlah [kekebalan kelompok)], masa diulang [kena corona] setiap tahun?" kata Tri kepada Kumparan.

Tidak hanya para ahli kesehatan, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance Dradjad Wibowo juga meminta pemerintah tidak memikirkan opsi kekebalan kelompok karena bertentangan dengan kemanusiaan.

"Puluhan juta rakyat yang sakit ini akan dirawat di mana? [kekebalan kelompok] bertentangan dengan peri kemanusiaan yang adil dan beradab, jadi herd immunity ini kita tutup saja, jangan kita bahas, wacanakan, apalagi sampai dijadikan policy. Karena akan banyak yang sakit, akan banyak yang meninggal, apalagi dengan kapasitas kesehatan yang ada di kita," jelas Dradjad kepada Liputan6.

Belanda, melalui Perdana Menterinya Mark Rutte, emang sempet menyebut kekebalan kelompok sebagai pendekatan pemerintahannya melawan pandemi. Namun, pernyataan ini langsung dicaci para ahli medis sampai membuat Rutte harus melakukan klarifikasi cepat.

Dalam klarifikasinya, kekebalan kelompok hanya efek samping dari pendekatan negara, namun bukan itu cara yang dipakai. Pemerintah tetap mengutamakan kebijakan lockdown dan social distancing.