Bisakah Perilaku Curang Dalam Laga Sepakbola Dibenarkan Jika Bikin Pertandingan Menarik?
PA Images

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Bisakah Perilaku Curang Dalam Laga Sepakbola Dibenarkan Jika Bikin Pertandingan Menarik?

Ulah curang pemain tenar macam Luis Suarez dan Sergio Ramos (yang melanggar Mo Salah pada Final Champions) dikecam sekaligus dipuja. Kalau kecurangan itu memenangkan tim favoritmu, akankah kalian juga protes?

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports UK.

Begitu wasit meniup peluit tanda laga malam 8 Maret 2017 berakhir, kemenangan gemilang Barcelona atas Paris Saint-Germain langsung didampuk sebagai salah satu comeback paling hebat dalam sejarah sepakbola modern. Tertinggal 4-0 di laga pertama dan masih butuh tiga gol setelah laga berlangsung 88 menit, Barcelona menggelontorkan gol demi gol hingga unggul 6-1 dan membuat mata penonton yang hadir di Stadion Camp Nou—dan jutaan lainnya yang menonton siaran langsung laga itu di TV—terpukau.

Iklan

Bahkan jikapun kemenangan ini dirayakan dengan minum-minum sampai jackpot, momen ini tak akan menguap dari otak pendukung Blaugrana dengan gampang. Momen ini akan dibawa ke liang kubur oleh setiap pendukung Barcelona dan akan menyatu dengan hikayah tentang Barcelona yang sudah nyaris mitos. Nanti di masa depan, saat prestasi Barca terseok-seok—seabsurd apapun itu terdengar—cerita tentang kemenangan atas PSG bakal dikeluarkan sebagai pembangkit semangat.

Tak bisa dipungkiri, PSG telah membuang-buang kesempatan maju ke babak perempat final Liga Champions 2007. Meski harus melawan raksasa bernama FC Barcelona, seharusnya tak ada satupun tim—apalagi yang sudah jor-joran belanja pemain macam PSG—yang kebobolan enam gol setelah berjaya di leg pertama.

Namun, PSG malam itu punya hak untuk berduka. Jangan lupa, malam itu Luis Suarez harus bersandiwara, melakukan diving dengan sangat teatrikal demi mendapatkan penalti yang mengubah papan skor menjadi 5-1 (penalti yang menyebabkan Barca unggul 3-0 juga tak dihadiahkan karena pemain Barca dilanggar dengan keras di kotak penalti). Begitu Neymar mencetak di menit-menit injury time, gol keenam Blaugrana seperti sudah menjadi suatu kepastian. PSG yang panik berusaha menghentikan pergerakan penyerang Barca. Tepat di saat inilah, di tengah kebingungan barisan pertahanan PSG, Sergi Roberto menyelinap dan melesakkan gol terakhir malam itu. Dan pujaan terhadap Barcelonapun mengalir bak air bah.

Iklan

Masalahnya, kendati semua gol yang dicetak Barcelona pada dasarnya sah secara teknis, faktanya tetap tak bisa disangkal: bahwa pencetus salah gol kunci ini kental dengan kecurangan. Sayangnya, itu tak sedikitpun mengurangi perayaan akan kemenangan Barcelona. Bahkan salah satu tokoh yang kerap menggembar-gemborkan fairplay, Gary Lineker menyebut diving Suarez sebagai tindakan yang “cerdas,” kata yang mungkin tak akan dia gunakan saat menjelaskan gol tangan tuhan pada Piala Dunia 1986.

Laporan pertandingan antara Barcelona VS PSG di BBC menyebut tindakan Suarez “kontroversial.” Surat kabar Daily Mail menulisnya sebagai tindakan, "meragukan", sementara Guardian dengan enteng menulis "Suarez sengaja jatuh" untuk mendapatkan penalti. Pernyataan yang sudah dipungkiri jika kita memperhatikan dengan seksama proses jatuhnya Suarez.


Tonton dokumenter VICE Sports soal derby-derby sepakbola paling brutal dalam sejarah sepakbola modern:


Begitu pula kalau kita melihat rekaman Mohammed Salah yang sengaja dijatuhkan Sergio Ramos, sampai harus ditarik pada menit 30 dalam laga final Liga Champions 2018 antara Real Madrid vs Liverpool. Kehilangan Salah tentu berpengaruh terhadap performa The Reds, sehingga skor akhir membuat Madrid juara Champions untuk kali ke-13. Ramos bebas dari kartu kuning dan bisa melenggang jadi pemenang atas tackle-nya yang berbahaya tapi terkesan bersih di hadapan wasit.

Tentunya, banyak yang menyuguhkan cerita yang berbeda—salah satunya bos-bos Lineker BT Sport, yang dua hari sebelumnya baru saja menggolontorkan £1,2 miliar untuk mendapakan hak penayangan pertandingan Liga Champions—dan cerita itu jadi pelik dan hancur karena diskusi blak-blakan tentang diving Suarez dan sandiwara yang kerap dilakukan Barcelona saat terdesak jelang akhir pentandingan. Jadi, pertanyaannya, apakah hasil akhir (comeback paling gemilang sepanjang sejarah) bisa menjustifikasi kecurangan yang dilakukan Suarez?

Iklan

Dari sini, kamu akan melihat etika dibuang jauh-jauh dalam pembicaraan tentang kecurangan Suarez. Dari sudut pandang industri hiburan, diving Suarez adalah plot twist yang sempurna (dan salah satu yang paling saya sukai). Seperti tiap orang yang tak ambil pusing apakah Qatar Airways Barcelona atau Qatar Investment Authority PSG yang keluar sebagai pememang malam itu, satu-satunya yang saya cari adalah hiburan malam itu. Suarez pada akhirnya dapat penalti yang dia inginkan, namun cerita bagaimana penalti itu tercipta begitu memukau. Sepakbola pada level setinggi Liga Champions begitu tercerabut dari kenyataan hingga tambahan sedikit unsur fiksipun tak akan jadi masalah.

PA Images

Mereka yang menolak cara pandang ini berkukuh bahwa kecurangan, apapun alasannya, tak boleh dibiarkan begitu saja dalam olahraga. Tak peduli hasil akhirnya bikin sejuta orang ternganga. Ini baru yang namanya mempertahankan integritas sepakbola. Jeleknya, narasi yang tercipta jadi kurang ciamik. Kalau saja wasit berpendapat seperti ini, pemain asal Uruguay pasti akan dihadiahi kartu kuning dan laga malam itu langsung jadi tak menarik ditonton walau dijamin jadi lebih adil. Fakta inilah yang alfa diberitakan dalam headline, pembahasan di TV dan radio dan pergunjingan di media sosial.

Dan tak ada yang pantas berada di pusat kebingungan moral ini selain Suarez sendiri, orang yang pernah masuk koran Inggris lantaran ujaran-ujaran bernada rasial dan gigitannya di badan Branislav Ivanovic? Pun, ada yang sudah mengajukan pertanyaan dengan cukup adil tentang apa yang bakal dirasakan para pengamat dan penulis sepakbola Inggris jika Suarez melakukan diving untuk mendapatkan penalti dalam laga Uruguay VS Inggris dalam Piala Dunia 2014. Memang itu tak terjadi. Suarez menjebloskan dua gol dalam pertandingan itu, mengirim pulang anak asuh Roy Hodgson dengan cara yang Inggris banget sebelum akhirnya mendaratkan giginya di badan Giorgio Chiellini pada pertandingan berikutnya dan dipulangkan dengan tidak hormat.

Iklan

Masalahnya, Suarez tidak merasa bersalah setelah melakukan tindakan tercelanya. Dia tidak disukai klub sepak bola seperti Liverpool, dan kita bisa menjadikannya contoh seberapa beda budaya sepak bola di sana dengan kita. Di beberapa daerah di Amerika Selatan, menipu wasit agar bisa berpeluang menang dianggap sebagai senjata penting pemain. Bermain curang mungkin dianggap hina di sini, tapi di sana malah dibiarkan.

Banyak penggemar sepak bola yang mengelu-elukan Barcelona. Mereka menganggap Barcelona sebagai klub terbaik di dunia, sehingga membiarkan segala kecurangan yang pernah pemainnya lakukan. Sedangkan klub sepak bola lain diperlakukan berbeda. Akankah Real Madrid – tim sepak bola yang biasa disebut-sebut pemain sepakbola yang nyambi jadi preman di lapangan hijau macam Sergio Ramos – jadi tim yang sangat digandrungi?

Yang kita tahu, sikap curang seperti ini mungkin tidak akan dibiarkan begitu saja kalau dilakukan terhadap tim sepak bola Inggris yang bertanding di Eropa. Budaya sepak bola di negara ini sering menghakimi tukang diving dengan ekspresi marah (hanya meludah yang dianggap buruk). Tukang diving akan dianggap curang dan pengecut yang melanggar aturan. Pertandingan harus berjalan secara adil, maka wasit menerapkan peraturan ketat dan tidak jarang salah membuat keputusan. Pemain harus adil dalam bermain, tidak peduli nantinya mereka akan kalah atau menang.

Tidak ada salahnya apabila kamu beranggapan seperti ini, atau mengira kalau menipu wasit sebagai bagian dari permainan. Kamu bebas berpendapat.

Iklan

Sayangnya, kamu tidak bisa memberlakukan ini bagi klub favoritmu saja. Kamu tidak bisa membiarkan Suarez bermain curang karena membawa kemenangan bagi Barcelona, tapi menghina pemain dari klub lain saat melakukan hal serupa. Kalau kamu bisa menoleransi aksi curangnya melawan PSG, maka kamu harus membiarkan segala kecurangan yang Suarez lakukan saat bertanding.

Kita semua harus jujur pernah melakukan ini. Kita akan membiarkan aksi diving kalau memang diperlukan. Supporter akan membiarkan kecurangan kalau ini menguntungkan klub favoritnya, sedangkan penonton di rumah akan menoleransinya kalau menghibur. Sedangkan awak media membiarkannya demi artikel yang akan mendatangkan banyak pembaca. Ini sudah menjadi hal yang wajar di Inggris. Orang akan memercayai apa saja yang ditulis di bus kalau sesuai dengan yang mereka inginkan.

Kita sering ngeributin soal bermain adil dan menuntut orang lain supaya adil, tapi apakah kita benar-benar menerapkannya saat tim kita sedang main? Suarez adalah contoh paling sempurna: fans Liverpool sayang banget sama dia dan mentolerir perilakunya karena dia sering mencetak gol. Pendukung rival benci bukan main sama dia—mereka mau dia dikirim ke penjara setiap minggu—tapi kalau ditransfer ke tim favorit kita, dia pasti kita banggakan.

Intinya, sepak bola adalah soal gratifikasi: menyaksikan klab kita menang, atau sebuah pertandingan luar biasa di televisi. Dan ini semua soal hiburan: menyampaikan kisah besar dengan karakter-karakter yang akrab dan plot twist di akhir kisah. Bermain adil sangat bagus, tapi juga gak bisa dibandingkan dengan syarat-syarat tersebut. Ini adalah ideal yang mulia, sampai akhirnya dia menghalangi kisah bagus.

Follow penulis artikel ini lewat akun @Jim_Weeks