FYI.

This story is over 5 years old.

Can't Handle the Truth

Kehebohan Gaj Ahmada Bikin Kita Pesimis Pada Pendidikan Indonesia

Pekan ini kami membuat refleksi mengenai kaburnya definisi hoax dan obsesi kita mengais kejayaan dari cocoklogi masa lalu.
Ilustrasi Gaj Ahmada (Islam lho dia) oleh Ilham Kurniawan.

Selamat datang di Can't Handle the Truth, kolom VICE Indonesia merangkum hoax dan berita palsu paling ramai dibicarakan pengguna Internet selama sepekan.

Ajaib. Pekan ini hoax yang beredar di medsos (dan whatsapp) berkurang. Mungkinkah bulan ramadan benar-benar berdampak pada perilaku para penyebar kabar bohong dan berita palsu Indonesia?

Sebagai gambaran saja nih. Kolom Can't Handle the Truth biasanya memperoleh 5-6 hoax dari berbagai wilayah setelah tujuh hari mantengin medsos. Nantinya hoax atau berita palsu itu kami pilah lagi jadi tiga saja (karena tololnya ga ketulungan atau dampak merusaknya menjangkau skala nasional) untuk diulas dan dipublikasikan.

Iklan

Pekan ini nyaris saja, nyaris, kami hendak menayangkan judul: "mohon maaf, tidak ada hoax (yang lucu) selama sepekan." Sayang, keinginan itu gagal tercapai. Salah satunya, karena Habib Rizieq Shihab belum pulang.

Yup, berita-berita seputar menghilangnya bibib ke Arab Saudi selama lebih dari sebulan setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus pesan cabul merupakan lahan basah rumor dan hoax. Kalau kalian tertarik mengurangi kewarasan, ketik saja 'chat mesum hoax' di kolom pencarian Facebook atau Twitter. Istilah hoax segera kehilangan maknanya. Tak ada harganya sama sekali.

Kenapa? Sebab semua orang akan teriak tak karuan; ini hoax, itu hoax. Sebagian memang hoax beneran. Seperti kabar Rizieq dicari Interpol, hendak dilindungi Presiden Turki Erdogan, atau dikabarkan hendak pulang ke Indonesia sebelum Lebaran.

Itu baru deretan kabar terverifikasi. Kalau ingin lebih ruwet, simak saja cuitan pendukung—maupun pembenci Rizieq—yang akan saling lempar cap hoax. Informasi (tak valid) menguntungkan kubu mereka dianggap fakta, sementara yang berseberangan langsung dijuluki hoax. Barangkali inilah yang dinamakan banjir hoax. Asal tak suka sebuah kabar, sebut saja hoax. Menapis hoax bukan berbasis verifikasi fakta, tapi berdasar perasaan.

Perlukah kita mencari istilah baru untuk menyebut informasi keliru? Dulu kesannya hoax kan serem. Membingungkan banyak orang dan harus diverifikasi kebenarannya. Di era Rizieq sebagai panglima, orang gampang betul nyebut semua hal sebagai hoax. Gimana nasib saya sebagai pecinta dan pengamat hoax? Apa harus ngarang juga kayak orang-orang lain ketika membahas hoax? Kolom ini jadi ga seru dong… duh.

Iklan

Setidaknya awak redaksi Can't Handle the Truth patut berterima kasih pada Bibib, karena sejak tayang selalu bisa mengandalkan rumor soal pendiri FPI kesayangan umat itu untuk menambah kuota hoax mingguan. Selalu saja ada yang baru.

Selain itu, mumpung menjelang Lebaran, kami mengucapkan permohonan maaf juga kepada Bibib Rizieq karena minta anda cepat pulang. Permintaan itu keliru. Kolom kami bisa kekeringan ide kalau dirimu balik ke Indonesia bib.

Omong-omong, selama libur lebaran kolom Can't Handle the Truth akan rehat dulu. Alasannya kita ingin tahu apakah orang-orang masih tega nyebar kabar bohong di tengah suasana liburan bersama keluarga. Kalau sampai banyak yang kami temukan, berarti emang bangsa ini benar-benar sudah kecanduan hoax dan berita palsu.

Oke-oke, berikut dua hoax (walaupun kurang tepat juga disebut hoax murni) yang bisa jadi bekal kalian mengisi liburan:

Pemerintah hendak hapus pelajaran agama di sekolah

Sebetulnya bukan hoax sih. Sumber informasi ini awalnya kata-kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi saat menggelar rapat kerja dengan Komisi X DPR pada 13 Juni lalu. Pak menteri sedang menjelaskan konsep sekolah lima hari.

Muhadjir ingin menyamakan waktu sekolah seperti hari kerja orang dewasa. Tapi ada konsekuensi dalam proses belajar mengajar. Sebagian mata pelajaran jam ajarnya dikurangi atau dimampatkan. Salah satunya pendidikan agama. Sekolah, menurut Mendikbud, bisa memberikan pendidikan agama dengan mengajak siswa ke rumah ibadah atau mendatangkan guru madrasah ke sekolah. Kalau sudah mendapat pendidikan agama di luar kelas, sangat mungkin murid tidak perlu lagi mengikuti pelajaran agama di kelas. 'Mungkin' dan 'menghapus' itu jauh banget sob. Tapi media massa Tanah Air segera menyebarkan judul yang seram sekali "pemerintah hapus pelajaran agama Islam". Judul missleading sama saja seperti mengulurkan tangan sendiri ke mulut buaya. "Pemerintah hapus pelajaran agama Islam, saya dukung TNI ambil alih pemerintahan," tulis salah satu akun Twitter yang marah-marah. "Sekalian saja hapus sila pertama Pancasila," tulis akun lainnya. Juru Bicara Kemendikbud segera melakukan bantahan, supaya kabar keliru ini tak bikin panas orang-orang yang tampaknya demen banget pelajaran agama. "Upaya meniadakan pendidikan agama itu tidak ada di dalam agenda reformasi sekolah sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan," kata Ari Santoso, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud dalam keterangan tertulis yang diterima VICE Indonesia.

Iklan

Dari keterangan jubir Kemendikbud, jam pelajaran agama justru akan ((ditambah)). Muhadjir, kata Ari, tertarik menganjurkan sekolah-sekolah meniru SD di Kabupaten Siak. Di sana, pelajar hanya belajar sampai pukul 12.00, selanjutnya mereka mengaji dengan ustaz, ditemani makan siang yang dibiayai APBD.

"Justru pendidikan keagamaan yang selama ini dirasa kurang dalam jam pelajaran pendidikan agama akan semakin diperkuat melalui kegiatan ekstrakurikuler."

Baiklah, persoalan pelajaran agama ini clear ya. Tapi PR Kemendikbud masih banyak lho. Dibanding pelajaran agama, rasanya perlu pembenahan besar-besaran kurikulum, termasuk mengenai logika dan pelajaran sejarah. Kenapa? Karena muncul cerita berikutnya yang jauh lebih gila lagi.

Gadjah Mada itu Orang Islam

Oke. Harus mulai dari mana ya? Ketik saja kata kunci Gaj Ahmada, maka kalian bisa menemukan bermacam entri cerita luar biasa yang populer sepekan terakhir ini. Judulnya bikin gentar: MELURUSKAN SEJARAH!!! Wajib pakai tanda seru berulang dan huruf kapital supaya ada efek teriak ke telinga pembaca. Kawan-kawan saya alumni Universitas Gadjah Mada sampai artikel ini ditulis masih "berdebat" apakah kampus mereka harus ganti nama dan ganti logo (syukurlah anak-anak kampus Jogja orangnya selow-selow).

Intinya Maha Patih Gadjah Mada, tangan kanan Raja Mapahit yang kesohor, adalah seorang muslim. Majapahit dalam "penelitian" ini disebut-sebut sebetulnya kerajaan Islam, tapi dikesankan Hindu oleh narasi sejarawan kafir Belanda. Dan yang paling mengejutkan, nama asli Gadjah Mada sebetulnya Gaj Ahmada (terkesan lebih Islami kan?!). Baca dulu deh pelurusah sejarah itu. Sudah?

Iklan

Jadi, SIAPA SIH YANG NULIS SOAL GAJ AHMADA INI ANJIRRR?

Ada dua sumber berbeda. Sebagian artikel di situs berita abal-abal menyebut pelakunya adalah Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah Yogyakarta. Namun Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim (Lesbumi) Nahdlatul Ulama berbaik hati memberi klarifikasi hoax absurd itu. Lesbumi menyatakan sumber artikel yang banyak disebar itu tulisan Herman Sinung Janutama, sosok pemerhati budaya Jawa yang, huft, pernah saya ikuti forum diskusinya kala kuliah.

Secara pribadi saya mengapresiasi semangat orang seperti Herman dan kawan-kawan sekumpulannya yang menggeluti budaya Jawa secara intens. Tapi cerita mengenai Gaj Ahmada ini menandakan tren yang semakin marak sejak akhir 2010, semacam kegandrungan membangun narasi pseudosains, alias cocoklogi, mengagung-agungkan sejarah Jawa (ya cerita ini lebih tepat disebut pseudosains dibanding hoax).

Mulai dari Jawa adalah lokasi sesungguhnya peradaban kuno Atlantis, Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman; dus Sleman di DIY itu nama peninggalan sang rasul, lalu sekarang ada Gaj Ahmada.

Deretan pseudosains atawa cocoklogi itu barangkali semacam defense mechanism untuk mengatasi keminderan kita bergaul di tataran dunia. Ada satu kawan WNI yang kuliah di AS agak gelagapan ketika ditanya teman sekelas, "memang apa sumbangan Asia Tenggara untuk peradaban dunia?"

Mungkin pertanyaan ngehek macam itu yang bikin sebagian orang tergerak membuktikan peradaban Jawa (sori ya pulau-pulau lain di Indonesia yang sementara terabaikan oleh penggemar cocoklogi) sudah berhasil menjajah dunia di era Maya dan Inca. Kenapa kejayaan budaya Jawa oleh kalangan cocoklogi selalu terjadi jauh sekali di masa lalu? Barangkali karena penjajahan oleh Belanda terlalu membekas dan ingin dienyahkan jauh-jauh dari pikiran kita. Demi ambisi inilah, peninggalan sejarah, disiplin ilmu arkeologi, sejarah, serta kitab klasik macam Negarakertagama dibuang ke tempat sampah. Diganti utak-atik gathuk yang tak jelas dasarnya.

Iklan

Lesbumi punya sanggahan yang cerdas untuk para penggemar pseudosains bertopik Jawa penguasa dunia.

"Jika Borobudur bikinan Nabi Sulaiman dan Majapahit didirikan orang Arab keturunan Nabi Muhammad SAW, akan terdapat simpulan bahwa pribumi lndonesia itu kumpulan manusia primitif yang tidak memiliki peradaban dan kebudayaan. Bagaimana bangsa lndonesia disebut beradab jika membikin candi saja tidak becus, menunggu kedatangan Bani lsrael?"

Nah!

Dibanding sewot sama penggemar cocoklogi, saya lebih sebal pada media dan penerbit besar yang memfasilitasi peredaran wacana ngawur semacam itu sih. Sebagian pseudosains yang saya sebut di atas diliput oleh media arus utama tanpa kritik sama sekali. Buku-buku yang isinya ngawur dijual bebas di toko jaringan besar. Kalau Kemendikbud, katakanlah, mendiamkan saja situasi macam ini, maka kubu yang pesimis terhadap masa depan Indonesia tambah punya amunisi. Seakan-akan tak ada gunanya sekolah dari SD sampai SMA 12 tahun, kalau ujung-ujungnya kita lebih percaya postingan cocoklogi tak jelas metodologinya dan antiintelektual. Jadi, minat baca tinggi dan akses internet cepat buat apa sih?

"Buat baca sejarah palsu Majapahit dan nyebar hoax lah!"

Duh.