FYI.

This story is over 5 years old.

Budaya Pop

Hantu Kuntilanak adalah Ikon Feminis Asia Tenggara

Walau mitos kuntilanak lahir di Kalimantan, arwah perempuan memburu lelaki bejat itu menginspirasi perempuan berbagai negara Asia Tenggara. Pesannya: terus lawan ketidakadilan gender, sekalipun dari alam kubur.
Foto kiri dari pameran "It's Easier to Raise Cattle", oleh Amanda Eu. Foto kanan diambil dari pameran I-Lann Yee di Pontianak pada 2016.

Di Asia Tenggara, marak beredar legenda yang memperingatkan laki-laki sedang berjalan seorang diri di malam hari agar tidak menatap wajah perempuan cantik yang mereka temui di jalan. Alasannya? Karena sangat mungkin perempuan itu adalah setan yang siap mengoyak perut mereka. Bagi perempuan yang pernah dilecehkan saat jalan malam-malam, legenda ini terdengar seperti imbauan yang menyegarkan. Setidaknya, laki-laki jadi tidak sembarangan menatap wajah perempuan yang mereka lihat.

Iklan

Menurut cerita rakyat di Malaysia, Indonesia, dan Singapura, seorang perempuan yang meninggal dunia saat melahirkan atau akibat kekerasan yang dilakukan laki-laki akan berubah menjadi arwah gentayangan yang dikenal dengan sebutan Kuntilanak.

Setan ini biasanya mengenakan tunik putih dan rambutnya gelap (kalau kalian benar-benar belum pernah dengar soal Kuntilanak, silakan membayangkan Sadako dari novel Ringu—mereka mirip). Kuntilanak biasanya menggoda laki-laki sebelum merobek perut mereka dengan kuku yang tajam bak keris, dan melahap organ-organ mereka. Kehadirannya biasanya dikaitkan dengan aroma manis bunga kamboja, diikuti dengan bau mirip mayat membusuk.

Sebagai sumber teror bagi anak-anak dan orang dewasa, kuntilanak adalah salah satu setan paling populer di Asia Tenggara, wilayah di mana takhayul membentuk pengalaman sehari-hari. Orangtua sering menggunakan sosoknya sebagai ancaman, supaya anak-anak menuruti perintah mereka. Gadis-gadis muda diperintahkan mengikat rambut mereka oleh kerabat lansia, jika tidak mereka akan terlihat seperti kuntilanak. Kalau sudah menyebut-nyebut kuntilanak, pasti ada satu orang yang menimpali bahwa dia mengenal seseorang yang pernah melihat langsung, di taman atau hutan.

Sebagai setan favorit sutradara film horor, pontianak (atau kuntilanak, sebagaimana dikenal di Indonesia, atau churel di Bangladesh, India, dan Pakistan) sering digambarkan semasa hidupnya dulu sebagai orang buangan yang tertimpa kemalangan. Biasanya ada cerita arwah perempuan ini gagal menjalankan tugasnya sebagai ibu. Tetapi, kuntilanak juga mewujudkan energi perempuan subversif yang menarik perhatian banyak penulis skenario serta sutradara film gelombang baru di Asia Tenggara.

Iklan

"Buatku sosok kuntilanak menarik, karena hantu ini melakukan banyak hal sendirian; dia bisa menjadi cantik dan provokatif sesuai keinginannya. Dia sekaligus bisa sangat lembut atau menggoda—tetapi jika kamu berani menyentuh tanpa persetujuannya, cakarnya akan keluar," kata pembuat film berbasis di Kuala Lumpur, Amanda Nell Eu, saat diwawancarai Broadly.


Tonton wawancara VICE bersama Tara Basro membahas feminisme, mitos, dan banyak lainnya di kuburan kuno tengah Jakarta:


Film pendek karya Eu, judulnya It's Easier to Raise Cattle, diputar awal 2018 di Festival Film Internasional Singapura. Film itu menggambarkan persahabatan antara dua gadis desa, salah satunya ternyata jelmaan kuntilanak. Alih-alih fokus pada pembunuhan yang membuat arwah kuntilanak gentayangan, film ini lebih memperhatikan bagaimana ikatan antara dua protagonis berlangsung bahkan setelah kegiatan mistis sang kuntilanak terungkap.

Kengerian sosok kuntilanak dipicu oleh sifat femininnya—sebuah konsep tampilan perempuan, yang dijuluki pakar feminisme Barbara Creed sebagai monstrous-feminine. Kuntilanak tampak rapuh, tetapi ganas ketika diprovokasi.

"Kuntilanak punya sifat lemah lebut, hantu ini sering tersentuh tangisan bayi yang tinggi dan kemunculannya dibarengi aroma kamboja, tetapi coba dan manfaatkan dia maka dia akan menghisap bola matamu," kata penulis Singapura, Sharlene Teo, yang novel pertamanya Ponti terinspirasi mitos tersebut.

Iklan

Bukunya yang dirilis tahun ini tersebut mengisahkan jalinan hidup tiga karakter perempuan Singapura yang terkait satu sama lain gara-gara mitos pontianak. Salah satu protagonisnya adalah aktor yang berperan sebagai pontianak dalam film horor kelas B.

Sampul novel 'Ponti' karya Sharlene Teo.

Mitos seputar kuntilanak itu tentu saja cocok pada visi para sutradara, seniman, dan penulis skenario yang ingin membuat horor dengan agenda memberdayakan perempuan. Kuntilanak menantang ekspektasi sosial masyarakat Melayu tradisional. "Kuntilanak tidak mampu menjadi ibu di budaya yang menganggap fungsi reproduksi sangat penting bagi identitas seorang perempuan, sehingga kehadiran setan macam ini mengganggu cita-cita feminitas kaum Melayu," ungkap Alicia Izharuddin, guru besar studi gender di Universitas Malaya.

Sifat balas dendam kuntilanak turut membantu memberikan mitos tandingan terhadap pengalaman kehidupan nyata seorang perempuan dalam masyarakat patriarkal. Kuntilanak, yang mengalami kekerasan dan penderitaan, membalas kejahatan yang dialami perempuan-perempuan dalam masyarakat misoginis setiap harinya: pembunuhan, perkosaan, dan kekerasan dalam rumah tangga.

"Balas dendam Kuntilanak adalah upaya memperbaiki ketidakadilan dalam masyarakat tradisional yang memiliki banyak kendala bagi perempuan," urai Adeline Kueh, dosen senior di LASALLE College of the Arts, Singapura.

Cuplikan adegan film yang rilis 1958 berjudul 'Sumpah Pontianak.'

Pembunuhan lelaki bejat oleh kuntilanak dipandang sah karena dia sudah mati. "Ini menjelaskan banyak hal soal masyarakat Asia, bahwa kami tidak dapat memberikan hak kepada perempuan yang masih hidup," kata Izharuddin. Beberapa orang mungkin melihat kekerasan kuntilanak sebagai hal yang pantas dipertanyakan secara moral. Tetapi menurut Eu, tindakan balas dendam kuntilanak dapat ditafsirkan sebagai bentuk kekuatan dan kebebasan. "[Ini tentang] membiarkan ekspresi dirimu keluar dan tidak peduli dengan kata orang," kata Eu.

Iklan

"Saya merasakan simpati yang besar untuk kuntilanak," lanjut Eu, sembari menjelaskan bahwa setan itu adalah ciptaan dari ketakutan sosial masyarakat Melayu. "Pada pandangan pertama, kamu takut padanya, tapi setelah itu kamu menyadari bahwa monster sebenarnya adalah manusia dan masyarakat. Semua cerita horor dibuat dari ini."

Eu sedang dalam upaya untuk membedah dan menceritakan kembali kisah-kisah tentang hantu perempuan Malaysia. Rencana tindak lanjutnya untuk It's Easier to Raise Cattle adalah komedi gelap yang melibatkan penanggalan, makhluk peminum darah dengan kepala mengambang dan organ internal dalam jumlah banyak. "Saya ingin menggambarkan roh-roh ini sebagai perempuan yang kasar, aneh yang seharusnya tidak ditakuti atau disingkirkan, melainkan dipuja," kata Eu.

Teo juga berharap bahwa novelnya akan membantu mengubah persepsi monster kami yang mendarah daging, menyoroti Babadook sebagai contoh. Seorang pemakai tophat dari film thriller psikologis Australia 2014 dengan nama yang sama, Babadook bersembunyi di sudut-sudut gelap dan sejak itu telah berubah menjadi ikon LGBTQI. "Interpretasi revisionis dari monster terkenal bisa positif," kata Teo memberitahu saya. "Mengapa tidak mencari kepositifan dalam representasi populer dari horor dan ketakutan?”

Tetapi, ilustrasi yang menguntungkan dari hantu perempuan masih tetap menjadi anomali dalam budaya Asia, meskipun Izharuddin berharap ini akan segera berubah. "Waktunya tepat untuk representasi yang lebih beragam dari perempuan supranatural di bioskop Asia," katanya.

Sampai saatnya tiba, generasi pembuat film, penulis, dan seniman Asia Tenggara tampaknya akan terus mengolah mitos kuntilanak, membuatnya jadi cerita yang memberdayakan perempuan secara subsversif, serta menafsirkan ulang segala kemuliaan kuntilanak yang mengerikan.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly