FYI.

This story is over 5 years old.

milenial

Apa Kata Pakar Milenial tentang Generasi Kita?

Ternyata ada orang yang secara profesional dibayar untuk menjadi penyambung lidah generasi milenial dengan generasi-generasi sebelumnya. Apakah pandangan dia benar-benar mewakili keresahan kita?
Gambar oleh Ashley Goodall

Terlahir menjadi seorang milenial itu tampak seperti sesuatu yang sangat 'cool' dan 'seru'. Salah satu alasannya karena kita anak milenial dalam menjalani hidup harus senantiasa was-was sebab di luar sana akan ada orang-orang yang selalu ingin mengomentari gaya hidup yang kita pilih. Bukan hanya kita yang dikomentari, tapi juga teman-teman kita. Geng kita.

Setiap generasi pasti pernah lah dicap terlalu self-sentris, apatis, tapi pada saat yang sama juga dicap terlalu politis dan progresif. Kontradiktif emang, tapi ya begitulah. Kayak-kayaknya milenial adalah generasi yang paling sering dicemooh, dikomentari, setidak-tidaknya lebih sering daripada generasi orang tua kita. Mungkin karena generasi kita suka banget selfie, jadi potensi di-bully nya lebih besar daripada orang-orang di generasi dulu. Untungnya sekarang ada yang namanya pakar-pakar milenial, mereka yang ditugaskan untuk meruntuhkan mitos yang sering disematkan pada generasi milenial: generasi yang sukanya ngerusak semua tatanan yang ada. Emily Miethner dari New York adalah satu dari sekian banyak pakar-pakar milenial itu. Dan saya kagum banget sama cara dia bikin wacana-wacana tentang generasi milenial jadi bisnis yang menghasilkan. Miethner beririsan dengan perkara-perkara ke-milenial-an dalam dua cara. Pertama, dia dipekerjakan oleh para baby boomers (lahir 1946-1964) dan para anggota Gen X (1961-1981) yang ingin memahami kebiasaan-kebiasaan anak muda zaman sekarang. "Saya enggak mau bilang kalau baby boomers suka ngajuin pertanyaan-pertanyaan bodoh. Saya cuma mau mastiin mereka tidak menganggap milenial bukan anak-anak manja yang selalu minta diistimewakan," kata Miethner dari kantornya di Manhattan. "Saya ngerasa harus banget ngebela milenial di hadapan generasi tua. Perlu ditegaskan masalah utamanya bukan soal karakter tiap generasi, tapi lebih kepada konteks. Soal kenapa generasi ini begini, kenapa generasi itu begitu." Dengan cara begitu, kata Miethner, baru bisa tercapai dialog yang sehat antar generasi. Cara yang kedua, Miethner berurusan dengan para milenial karena dia menjalankan bisnis untuk anak muda lewat sebuah komunitas yang namanya FindSpark. Komunitas itu dibentuk untuk menolong anak muda lebih memahami diri sendiri serta mendorong mereka untuk lebih giat menggapai cita-cita. Apa yang dilakukan di FindSpark sedianya tergambar oleh slogan yang mereka tulis di situs, "komunitas, media sosial, dan usaha. Ayo, kita bisa!" Obrolan kita enggak ubahnya seperti sesi terapi. Lagipula saya kan juga milenial. Status-status yang saya tulis di facebook selalu penuh kalimat-kalimat penyemangat, ambisi karir lebih tinggi dari kemampuan. Saya banyak merusak layar-layar, entah layar teve atau handphone, lalu setelah itu menghabiskan banyak duit buat bayar tukang reparasi. Saya kerap galau sendiri dan pilihan-pilihan estetik saya disetir oleh nostalgia era 90-an. Sebagaimana kebanyakan orang seumuran saya, saya sering kebingungan, kewalahan, dan stres. Saya mengisi kekosongan relung jiwa dengan tumbuh-tumbuhan. Miethner menghubungkan kecemasan saya dengan media sosial serta internet secara umum. Pada FIT di New York, Miethner mengajari murid-muridnya cara-cara mengelola banjir informasi. "Dengan penekanan pada pengelolaan hubungan antara manusia. Karena mudah sekali tersesat di internet apalagi kita tidak berhubungan langsung dengan orang lain." "Sebagian besar milenial berkomunikasi en masse, atau lewat kelompok-kelompok," ujarnya. "Kamu mengirim atau mengunggah sesuatu untuk followers-mu, kirim ke grup-gurp Snapchat, kamu ngobrol di chat group. Tak ada banyak cara yang mudah dan bagus untuk berbagi dengan orang-orang tertentu tanpa membuat diri sendiri kewalahan. Ini adalah pergumulan yang umum: kamu akan punya jutaan grup chat untuk dikelola dan di-update, dengan kelompok keluarga dan teman yang berbeda-beda." Yang telah disadari Miethner seiring waktu adalah, meski generasi milennial sering menggunakan media sosial, mereka tak selalu menikmatinya. "Generasi yang lebih tua merasa anak-anak muda zaman sekarang sangat akrab dengan teknologi. Namun, akrab dalam artian tahu cara mengoperasikan teknologi bukan berarti mereka memahami dampak dari penggunaan platform-platform ini. Anak muda terkesan amat percaya diri dengan platform-platform ini, namun mereka sama frustrasinya dengan orang tua, soal cara mengintegrasikannya dalam hidup mereka."

Perkembangan karir dan pencarian pekerjaan juga dibuat lebih rumit dengan keberadaan internet, yang menjadi kecemasan umum lainnya yang diamati Miethner. "Ada banyak sekali pekerjaan, banyak sekali orang untuk dihafal dan dikenal. Saya rasa proses ini juga membuat stres karena kita tahu terlalu banyak." Saya jadi kepikiran bahwa Miethner terdengar sedikit seperti orang tua dari generasi baby boomer, saat dia bilang anak muda menghancurkan hidup mereka di internet. Namun dia tidak sepesimistis orang tua kita. Menurutnya, generasi milennial memiliki kekuatan yang tidak dimiliki generasi lain, misalnya kesadaran politik. "Saya rasa kita bisa jadi sangat kewalahan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan atau dikatakan. Namun, untuk sebagian besar waktu, orang-orang merasa lebih berdaya untuk menyatakan pendapat mereka, terutama di internet. Kita tahulah hal ini menjadi lebih mudah daripada dulu-dulu." Keuntungan generasi kita yang lain adalah kemampuan menghadapi perubahan. Kita telah mengalami dan melihat begitu banyak perubahan dalam hidup kita, terutama dalam hal teknologi dan kita tahu cara memanfaatkan teknologi. "Kita bisa mengeluh soal teknologi, tapi kita tetap bisa beradaptasi dengan cepat. Dan saya harap kita bisa terus seperti itu." Banyak bos tua melabeli karyawan muda sebagai orang-orang yang kerap "merasa berhak mendapatkan yang lebih baik." Miethner telah musabab mengapa cap-cap seperti itu muncul. Generasi milennial dapat beradaptasi dengan sangat cepat. Hal tersebut kemudian menimbulkan "keinginan untuk bergerak dengan sangat cepat dan merasa generasi lebih tua tidak bergerak cukup cepat," kata Miethner. "Generasi-generasi lebih tua, cenderung lebih sabar. Mereka terbiasa menunggu lebih lama. Kita perlu belajar menjadi sabar dengan perkembangan karir kita dan tidak stres ketika kita tidak menjadi wakil direktur di usia 24 tahun." Akankah generasi milennial baik-baik saja? Miethner percaya begitu, meski dia diupah untuk membongkar kekurangan generasi kita. "Saya rasa kita perlu memperhatikan hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Tidak terbuai dengan kenyamanan dan kecepatan hal-hal, karena nanti kita sendiri yang merugi. Pastikan kita memperhatikan bahwa semua orang berbagi pengalaman mereka. Berpikirlah secara kreatif soal informasi pribadi mana yang kita sebarkan dan bagaimana hal tersebut akan digunakan orang lain." Untungnya, bahkan seorang milennial profesional utamanya berpikir perbedaan antar generasi cenderung dilebih-lebihkan. "Emangnya ada ya generasi yang tidak mau sukses? yang tidak menginginkan perubahan positif? yang mau hidup dengan nyaman, dan lain-lain?" ujarnya.
"Orang-orang lain punya perjuangan dan masalah yang mirip-mirip. Meski beberapa hal kini berbeda. Generasi lebih tua tidak punya utang sebanyak generasi kita," Kata Meithner