perempuan mengenakan seragam koki Rajin Masak Membantuku Menenangkan Serangan Rasa Cemas
Foto ilustrasi via Getty Images
Kesehatan Mental

Rajin Masak Membantuku Menenangkan Serangan Rasa Cemas

Aku biasa menghadapi gangguan anxiety. Untungnya aktivitas masak membutuhkan konsentrasi penuh, sehingga pikiranku tak sempat berkeliaran ke mana-mana.
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID

Julia Child pernah bilang, “Masak buat orang tersayang sama romantisnya dengan membelikan kado valentine.” Betul banget. Makanan mampu memberikan kenyamanan dan kehangatan, dan merupakan tanda cinta bagi penerimanya—terutama mereka yang sedang kelaparan. Itulah mengapa aku suka masak buat diri sendiri.

Aku masih ingat masakan pertamaku. Kedua orang tuaku sibuk saat aku masih kecil, jadi aku harus bisa masak sendiri—terutama kalau lagi kepingin ngemil. Aku suka bikin pizza ala-ala dari tortilla tepung, string cheese, dan saus marinara yang dipanggang di oven sampai kejunya meleleh. Rasanya emang enggak seenak bikinan restoran bintang tiga Michelin, tapi aku bangga banget bisa mengurus diri sendiri.

Iklan

Ayah dari Italia dan bekerja sebagai koki, sedangkan ibu lahir di Filipina dan merupakan seorang juru masak hebat. Jadi, enggak heran kalau makanan lezat sangat penting buat keluarga kami. Saat Thanksgiving, meja makan kami selalu dipenuhi beragam jenis hidangan. Ayah ibu bahkan pernah menyajikan turducken ketika merayakan Thanksgiving. Seriusan. Keahlian ayah memasak segala santapan ini tak pernah gagal membuatku terpana.

Enggak ada yang bisa mengalahkan nasi ayam kecap bikinan ibu, jadi aku mencoba resepnya sesering mungkin, khususnya kalau aku lagi stres abis. Kenangan paling berharga dalam hidupku selalu menyangkut makanan buatan sendiri, baik itu keju panggang yang dibikin dini hari bareng teman-teman sehabis mabuk, taco buat sarapan suami seperti saat kencan pertama kami, atau roti panggang keju yang aku bikin khusus buat sahabat jauh setiap kami ngumpul bareng.

Bagiku, makanan adalah nomor kesekian. Prosesnya justru yang terpenting. Masak membutuhkan konsentrasi penuh, jadi pikiran enggak boleh berkeliaran ke mana-mana. Ini berguna mengurangi kecemasan, serta menjauhkanku dari ponsel (kecuali pas ngikutin resep di internet) dan chat. Aku dipaksa memberikan waktu lebih supaya aku enggak mengacaukan segalanya.

Aktivitas memasak benar-benar menjadi penyelamat hidupku. Aku bakal goreng telur dan mencampurkannya ke gnocchi setiap serangan panik mau kumat. Ada saat-saat aku merasa enggak bisa mengendalikan diri, sehingga aku menenangkan diri dengan bikin nachos. Percaya atau enggak, perasaan dan suasana hati kita bisa tertuang ke masakan. Kesannya seperti mantra. Itulah sebabnya aku hampir enggak pernah masak kalau lagi emosi berat. Aku enggak mau “meracuni” diri sendiri. Kalau udah kayak begini, aku biasanya milih pesan makanan aja.

Jujur, aku kadang suka nyesel pesan makanan pas depresi atau tertekan karena aku merasa bisa bikin sendiri dan jauh lebih enak rasanya. Aku pernah membeli spageti dan jus jeruk untuk mengenang Prince yang baru meninggal dunia. Aku beli ini karena katanya Prince menyukai makanan tersebut, meski kayaknya bohongan sih. Mau tau rasanya gimana? Enggak enak. Mendingan bikin sendiri tau?

Bolognese buatan Osteria La Buca emang enak, tapi enggak mampu memulihkan jiwaku seperti pas masak pasta. Biayanya juga jauh lebih terjangkau. Itulah enaknya bikin makanan sendiri. Enggak perlu menghabiskan banyak uang. Nilai tambahnya, bumbu instan dan bawang putih aja bisa menghasilkan sesuatu yang enak banget.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly