FYI.

This story is over 5 years old.

Game Legendaris

Penyebab 'Final Fantasy VIII' Jadi Anak Tiri Dibanding Seri FF Lainnya

Franchise role-playing game ini dicintai banyak orang, kecuali untuk 'FF VIII'. Masalahnya terletak pada plot ceritanya nyeleneh tapi jujur itu.
Adegan cutscene di Final Fantasy VIII bikinan SquareEnix
Cuplikan adegan FF VIII dari SquareEnix

Postscript adalah kolom dari editor game kami, Cameron Kunzelman, membahas berbagai game yang tak lagi dilirik orang

Final Fantasy VIII (selanjutnya FF VIII) selamanya dianggap sebagai bagian dari waralaba Final Fantasies yang paling nyeleneh. Game ini dirilis antara Final Fantasy VII yang sukses di konsol PS1 dan throwback terhadap versi film layar lebar Final Fantasi IX yang memicu nostalgia. FF VIII bercerita tentang perasaan remaja menghadapi akhir dunia.

Iklan

Kendati sangat berhasil di segala paramater yang biasa digunakan mengukur kehebatan sebuah game—misalnya review bagus dan angka penjualan fantastis—FF VIII tak mendapat respons sama seperti game-game seri Final Fantasy lainnya. Buktinya: role-playing game yang pada 2019 resmi berusia 20 tahun itu belum diproduksi di semua konsol dan platform, seperti saudara-saudaranya. Menurut dugaan saya, sikap adem ayem Square Enix ada hubungannya dengan alur ceritanya.

Pada dasarnya, FF VIII punya pola cerita yang sama seperti semua episode Final Fantasy. Rangkumannya kurang lebih begini: beberapa orang bertemu berkat irisan nasib, terlibat dalam satu kejadian yang sama, lalu sadar bahwa masalah atau musuh yang mereka tak cuma di daerah asal mereka, melainkan mengancam nasib satu planet. Setelah itu, mereka tak punya pilihan lain selain menyelamatkan dunia.

the cast of Final Fantasy 8 gathered in a grand hall.

Kisah Squall Leonhard adalah cerita tentang anak sebatang kara yang tak kunjung merasa menemukan arti hidup. Parahnya lagi, lingkungan sosial di sekitarnya tak begitu menerimanya. Dia diperlakukan sebagai karakter yang aneh. Squall adalah prajurit anak-anak, dan perjalanannya menjadi pria dewasa—bersama rekannya Zelll dan gurunya Quintis—direcoki berbagai aktivitas sejumlah negara bangsa di plot FF VIII, yang bersaing mengendalikan percaturan politik global.

Ini jelas bukan alur cerita yang bisa dinikmati semua orang, setidaknya dalam semesta Final Fantasy. FF VIII memang menjauhi tema-tema besar seperti game induknya. Artinya, cerita dalam game ini sangat tragis dan spesifik.

Iklan

Squall bukan anak yang sekonyong-konyong bertanya pada ibunya apakah dia siap mengarungi sebuah petualangan besar. Squall adalah remaja—belum sepenuhnya dewasa—yang dihantui mimpi-mimpi buruk. Dia tak punya ingatan sedikitpun tentang masa lalunya, orang yang tumbuh bersamanya, atau sejengkal hidupnya sebelum masuk akademi militer.

Seiring waktu, kita paham belaka yang dia alami adalah kerusakan otak. Itulah harga yang harus Squall bayar untuk bisa menyatu dengan Guardian Forces, makhluk berkekuatan luar biasa yang bisa dipanggil buat meningkatkan daya magis seseorang. Begitu “kontrak” dengan makhluk terjalin, makhluk itu menguasi otak seseorang dan menyingkirkan semua kenangan akan masa lalunya.

Plot semacam ini jelas sebuah tragedi. Squall dan kawan-kawan ternyata difungsikan sebagai senjata perang yang bisa dikirim ke manapun, kapan saja. Parahnya, mereka dibentuk menjadi demikian dengan perangkat magis yang merenggut masa lalu anak-anak itu. Bagi anak-anak itu, kondisi ini abadi. Mereka selamanya akan jadi prajurit tanpa masa lalu.

Untungnya “inti” game ini bukan paparan di atas, setidaknya pada tataran plot. Perang terresterial yang terjadi dalam game ini adalah indikasi sebuah masalah yang lebih besar lagi: bangkitnya Sorceress Edea, yang baru saja menaklukan Galbadia dan memulai penaklukan dunia. Squall dan kawan-kawannya berusaha membunuh Edea, melawannya dan mengambil kembali kendali negara dari tangannya. Makin lama kamu bermain, apa yang dipertaruhkan oleh Squall makin besar sampai akhirnya kita semua sadar bahwa apa yang diperjuangkan selama ini tak ada hubungannya dengan geopolitik. Ini semua—suprise suprise—adalah persoalan struktur ruang dan waktu.

Iklan

Beginilah alur permainan Final Fantasy VIII: sekelompok anak yatim dikumpulkan dan disuruh bertindak ibarat panah yang melesat melewati waktu dan mengalahkan penyihir yang menjelajahi waktu bernama Ultimecia. Dia hidup di masa depan, dan terus berusaha menghancurkan waktu agar hidup anak-anak ini bisa berakhir seperti Squall dan para protagonis lainnya. Ujung-ujungnya, mereka menjadi senjata melawan kekuatannya yang semakin bertambah.

Squall Leonhart has become unstuck in time.

Ultimecia menginginkan “time kompression,” yang istilahnya sengaja diberi aksen. “Stylization” itu sangat hebat karena bisa memberikan arti yang berbeda dari frasanya. Time Kompression bukanlah “time compression” biasa. Kehidupan manusia dan alam semesta akan hancur total jika menyelesaikannya.

Rasa sakit yang luar biasa dan kebahagiaan yang agung muncul setiap saat. Sungai yang mengalir berubah menjadi pusaran air pribadi. Time Kompression menghapus jarak dan waktu yang memisahkan kita. Masa kecil Squall tak akan terkubur di antara trauma dan kerusakan otak. Masa kecilnya terkubur saat ini, dan akan selalu terkubur. Time Kompression adalah perasaan aneh yang kalian rasakan saat menonton Eternal Sunshine of the Spotless Mind untuk selamanya. Hanya saja, “selamanya” tidak benar-benar ada karena segala hal akan di-Kompressed menjadi masa kini yang penuh kesedihan dan kebahagiaan. Kedengarannya bagus, kan? Bukankah enak kalau kalian bisa mengalami kebahagiaan setiap saat, selamanya?

Iklan

Untuk mencapai titik ini, pemain harus melalui beberapa segmen yang melibatkan perjalanan waktu, setiap segmennya dibumbui nostalgia dan kehilangan. Kita akan menyaksikan Squall yang kehilangan saudara perempuannya saat melihat ke masa lalu. Kita akan melihat Laguna Loire menggiring teman-temannya ke jebakan maut, melukai dan menghancurkan semangat mereka. Kita juga menyaksikan momen-momen orang yang mengalami nasib tragis.

Final Fantasy VIII mengajarkan bahwa peluang di masa depan adalah satu-satunya hal yang menyemangati kita dalam menjalani hidup. Waktu yang terus berus berjalan dan harapan nasib buruk akan diganti dengan hal-hal baik membenarkan keseluruhan proyek. Ada cakrawala. Di cakrawala itu ada utopia persahabatan, percintaan, dan dunia yang ada di luar jangkauan. Kita cuma perlu sampai ke tujuan. Time Kompression mencegah hal itu terjadi. Tak ada penebusan. Tak ada dunia yang bisa diselamatkan.

Berhubung waktu hilang saat Time Kompression terjadi, Final Fantasy VIII harus menggambarkannya sebagai musuh utama. Time Kompression adalah runtuhnya sejarah, dan sejarah permainan dipenuhi kekerasan, trauma dan tragedi. Harapan dan masa-masa indah hanyalah khayalan dan akan terus ditunda (setidaknya sampai musuh utama berhasil dikalahkan).

Final Fantasy VIII akan menanyakan apa yang terjadi jika sudah tidak ada lagi masa depan, dan semua harapan itu tak pernah terjadi. Game ini lalu mempertarungkan karakter-karakternya dengan kenyataan sekeras mungkin. Jawabannya pun terlalu berat untuk ditanggung.

Waktu yang linear dalam game ini tidak membawa kita ke mana-mana. Kita hanya mengalami tragedi di masa lalu. Waktu tak mungkin ada lagi setelah dikalahkannya musuh utama. Time Kompression akan menghancurkan semua yang didasarkan pada harapan kita: Apakah hal-hal baik dalam sejarah lebih berharga daripada yang buruk?

Apabila semuanya terjadi pada waktu bersamaan, apakah pengalamannya akan menyenangkan atau menyedihkan?

Jangan lupa follow Cameron di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di Waypoint