Hong Kong

Pemimpin Hong Kong Janji RUU Pemicu Rusuh Tak Akan Disahkan, Massa Tetap Mau Demo

Carrie Lam menyampaikan hal itu supaya demo sebulan terakhir mereda. Demonstran memergoki kalau RUU-nya masih masuk ‘program legislatif’ sampai Juli 2020. Demo ini jadi tantangan paling serius buat Tiongkok.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menghadiri mengklaim sudah menghentikan proses pengesahan RUU ekstradisi. Foto oleh Vincent Yu/AP
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menghadiri mengklaim sudah menghentikan proses pengesahan RUU ekstradisi. Foto oleh Vincent Yu/AP

Pemimpin Hong Kong Carrie Lam menegaskan Rancangan Undang-Undang Ekstradisi dengan Tiongkok yang memicu kontroversi telah dicabut. Keputusan ini seharusnya meredakan amarah jutaan demonstran yang memadati jalanan kota administrasi khusus itu selama sebulan terakhir.

Nyatanya para aktivis menolak klaim Lam. Massa bahkan berjanji akan terus menggelar aksi sampai RUU itu ditarik sepenuhnya.

Selasa (9/7) pagi waktu setempat, Lam mengatakan dalam konferensi pers bahwa proses pengesahan RUU-nya "sudah dihentikan" dan tidak akan diundang-undangkan kembali di parlemen.

Iklan

"Saya lihat masih ada pihak yang meragukan ketulusan pemerintah, atau takut proses pembahasan RUU-nya akan dimulai kembali di Dewan Legislatif," ujar Lam di hadapan awak media. "Saya tegaskan di sini kami sama sekali tak merencanakannya. RUU itu sudah mati."

Sekadar mengingatkan, Hong Kong sedang dilanda demonstrasi beruntun sebulan belakangan. Semuanya gara-gara satu RUU 'pesanan' Beijing yang dianggap mengancam kebebasan berekspresi dan proses demokratis Hong Kong.

Apabila beleid itu disahkan, para aktivis mengklaim Beijing bakal sewenang-wenang mengekstradisi semua jenis pelanggar hukum dari Hong Kong ke Tiongkok. Orang yang mengkritik pemerintah Tiongkok atau aktivis pro-demokrasi berpeluang ikut dikirim ke Cina Daratan. Masalahnya, tidak ada pengadilan yang transparan di Tiongkok. Pelanggaran HAM sering menimpa tahanan, dan hukuman mati masih rutin dilaksanakan tanpa peradilan layak.

Para aktivis menganggapnya sebagai upaya Beijing kembali menguasai perpolitikan Hong Kong. Sikap Partai Komunis Cina ini dianggap demonstran melanggar kesepakatan pengembalian wilayah Hong Kong yang ditandatangani Cina bersama Inggris pada 1997. Dalam keputusan bersama dulu, Hong Kong dijamin Tiongkok akan tetap memiliki sistem politik, termasuk pemilu, yang independen. Demokrasi dan HAM akan dihormati, serta ekonomi pasar bebas tetap berlaku.

Sebutan populer perjanjian itu adalah 'dua sistem satu negara'. Maklum, pada 1997 Tiongkok masih relatif miskin, sementara Hong Kong jadi pusat perekonomian dunia. Sekarang kondisi berbalik. Tiongkok makin kaya, dan punya pengaruh sangat besar di kawasan. Rakyat Hong Kong yang terbiasa menikmati kebebasan khawatir kota mereka diubah jadi seperti Cina Daratan. Ada gelagat Tiongkok tak mau Hong Kong menikmati demokrasi terlalu lama. Pemilihan Kepala Eksekutif Hong Kong (setara gubernur dengan wewenang mirip presiden) sudah dipengaruhi Beijing sejak lima tahun terakhir. Anak muda dan aktivis demokrasi akhirnya menyatakan genderang perang terhadap otoritarianisme Tiongkok.

Iklan

Gelombang unjuk rasa melibatkan banyak anak muda mulai berlangsung sejak awal Juni lalu. Menurut keterangan penyelenggara, diikuti lebih dari dua juta orang. Demonstrasi berlanjut bahkan setelah Lam menangguhkan RUU pada pertengahan Juni. Aksi damainya pun sempat berujung pada munculnya kekerasan. Beijing pusing melihat demonstrasi tak kunjung mereda. Belum pernah dalam era kepemimpinan Presiden Xi Jinping, kemauan Tiongkok tidak dituruti wilayah yang mereka kuasai.

Pada 1 Juli lalu, demonstran malah berhasil menerobos masuk ke dalam kantor pusat Parlemen Hong Kong setelah beberapa jam mengepung gedung tersebut. Aksi terbaru berlangsung pada Minggu, dengan puluhan ribu orang berbaris di Kowloon, daerah yang sering dikunjungi turis asal Cina Daratan.

Joshua Wong, pemimpin gerakan pro-demokrasi 'Gerakan Payung' yang berhasil melumpuhkan kota selama 79 hari pada 2014, termasuk yang tidak memercayai omongan Lam. Dia mengklaim RUU-nya masih berlaku sampai sekarang.

"Carrie Lam telah membohongi masyarakat Hong Kong dan media internasional dengan berujar ‘RUU sudah mati’, karena RUU itu masih ada di ‘program legislatif’ sampai Juli tahun depan," demikian bunyi twit Wong yang dipenjara karena aktivismenya.

Wong dan para demonstran lainnya menuntut agar pemerintah menyelidiki kekerasan polisi terhadap pendemo, polisi membatalkan tuduhan yang ditujukan kepada pengunjuk rasa, Lam mengundurkan diri, dan dilakukan pemungutan suara untuk memilih pemerintahan baru.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News