FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Hikmah Sesudah Aku Ketemu Pelé dan Pahlawan Sepakbola Lainnya

Berikut catatan jurnalis olahraga Inggris saat bertemu pemain-pemain idolanya. Mabuk bareng sampai pusing memancing mereka agar mau memberi komentar layak kutip.
Penulis (kanan) bersama Pelé. Foto dari arsip pribadi

Saya nongkrong bareng Pelé Minggu lalu. Kedengerannya aneh memang. Sebelum terjadi, saya masuk ke kantor saya. Sekonyong-konyong, telepon saya berdering. Editor saya menelepon dan bilang "Eh, anu, kamu bisa ngewawancarai Pelé jam makan siang nanti enggak?" dalam hati saya bilang "bangsat!" tapi mulut saya ngomong "Bisa kok." Fast forward tiga jam kemudian, aku sudah mondar-mandir di rubata sebuah gedung pameran karya seni di New Bond Street menunggu kemunculan pesebakbola terbaik sepanjang masa. Mungkin kalian bisa menebaknya sekarang, Saya penulis sepakbola yang mumpuni dan penuh dedikasi. Tetap saja, selama bertahun-tahun, saya ditugaskan ngobrol dengan pemain dan manajer sepakbola tersohor. Saya malah pernah menghabiskan satu hari nongkrong di lapangan latihan AC Milan cuma demi bisa mewawancarai Zlatan Ibrahimovich barang sepuluh menit saja. Saya juga pernah mondar-mandir di mansion kepunyaaan Ryan Giggs (mantan skuad Setan Merah ini punya aturan lepas sepatu di rumahnya) sambil ngobrol dengan sang tuan rumah tentang pusat perbelanjaan dan Vimto (bukan ngiklan ya tapi Giggs emang doyan banget merk soft drink ini). Untuk sebuah alasan yang seperti masuk akal waktu itu, saya juga bertanya pada André Villas-Boas soal film Brad Pitt favoritnya. Asal kalian tahu, lelaki yang kini menukangi Shanghai SIPG ini menganggap Inglorious Basterds lucu bukan kepalang.
Kedengerannya pekerjaan saya enak-enak saja. Padahal, aslinya, mewawancarai nama-nama besar di sepakbola ini bikin stress. Pertama, kamu harus bisa membujuk mereka untuk memberikan penyataan yang menarik dan segar, yang pada praktiknya susah banget. Saya bilang begini bukan karena saya seorang snob intelektual atau diam-diam benci pemain sepakbola, wong saya mau tukeran hidup dengan salah satu pemain centre-back yang main di kompetisi Conference North, saya cuma mau menegaskan bahwa syarat sebuah wawancara bagus adalah subyeknya harus mawas diri atau legowo mengkritik dirinya sendiri. Sayangnya, dua syarat ini sangat jarang dijumpai pada pesepakbola. Mereka jauh berbeda dengan frontman/frontwoman band indie yang bawel.
Menurutku ini logis sih. Meski kelihatannya ngebosenin, tapi segala komen-komen positif dari mulut pemain sepakbola punya fungsi tersendiri: menjaga mereka selama tetap percaya diri. Maksud saya, mayoritas pemain sepakbola telah bertahun-tahun melatih diri mereka agar bisa kebal secara emosional. Hasil latihannya sudah pasti sangat berguna misalnya untuk menghadapi 45.000 penggemar Sunderland yang sedang geram. Masalahnya, kemampuan macam ini justru momok menakutkan bagi saya ketika harus mengorek jawaban menarik dari mereka. Alasan lain kenapa mewawancarai pelaku sepakbola seakan bikin kepala saya meledak adalah selalu ada sirkus yang harus kita hadapi. Wawancara dengan pemain atau manajer sepakbola tak pernah cuma mencakup kamu dan subyek wawancaramu. Pemain sepakbola adalah ladang uang, tak ayal ada banyak orang yang nebeng di sepanjang karir mereka. Jadi, misalnya, saya harus mewawancarai Zlatan, yang saat ini sedang gencar mempromosikan versi digital biografinya, I Am Zlatan, sekelompok staf humas dari Swedia benar-benar akan memaksa saya membaca buku Zlatan di Ipad. ini kan ngehe? Saya tahu siapa Zlatan. Saya jauh-jauh terbang ke Swedia dan sudah mempersiapkan banyak hal buat wawancara ini. Tapi, saya yakin Zlatan adalah subyek yang empuk buat diwawancarai. Pria yang kini bermain di Manchester itu adalah sosok besar yang berani mengolok-olok transplantasi rambut Wayne Rooney. Makanya saya bela-belain. Saat ngobrol dengan Giggs di mansionnya, ada sekumpulan orang yang duduk bersama kami. Saya enggak ngerti mereka siapa tapi yang jelas mereka sepertinya bakal langsung ramai-ramai menjotos saya kalau berani-berani bertanya tentang "latar belakang keluarganya yang pelik." Saya gagal meminta Adam Lallana bicara tentang masa kecilnya ketika tinggal di panti jompo, yang bisa bikin interviewnya rame banget kan? Yang ada, Lallana malah ngoceh tentang jumper merk French Connection. Sementara di sebuah ruangan konferensi, yang seharusnya kosong blong, staf humas keripik Walkers bilang kalau saya terlalu banyak nanya tentang bola pada Gary Lineker dan jarang mengorek tentang keripik. Lalu, perempuan itu menaruh macam-macam kripik Walkers di depan saya. Tujuannya jelas banget: mengingatkan saya kalau Lineker ada di sana untuk menjual kripik. Dari sepuluh kesempatan mewawancarai pemain sepakbola, sembilan di antaraya berakhir seperti ini. Kembali ke Pelé. saya ditugaskan mewawancarai legenda asal Brazil lantaran sekelompok seniman yang didanai untuk membuat banyak karya seni yang katanya "terinspirasi" oleh pria 74 tahun penyandang tiga gelar Piala dunia itu. Entahlah. Idenya sih keren. Tapi di sisi lain, ini berarti saya harus hadir dalam konferens pers di rubata sebuah galeri komersial tempat objet d'art bakal ditampilkan. Sudah dipastikan, saya bakal duduk bersama wartawan sepakbola dan pengamat seni. Mereka tentunya juga sudah menyiapkan segala macam pertanyaan. Wartawan sepakbola bakal mencecar Pelé dengan pertanyaan seperti: bagaimana pendapat anda tentang Eden Hazar ("Oh aku suka orang itu"). Sementara, pengamat seni bakal penasaran dengan bagaimana kesan pertama Pelé ketika bersemuka dengan Andy Warhol di dekade '70 ("dia orangnya pendiam"). Saya sendiri juga pengin tahu ide gila macam apa yang jadi inspirasi reka ulang 3D salah satu gol Pelé dari dekade 90an. Saya mau nanya begitu karena hasilnya bagus dan semua orang harus melihatnya. Beneran ini saya enggak becanda. Hasilnya kayak Pelé yang sedang main jadi ibunya di game Pro Evolution Soccer atau game sejenisnya. Saya akhirnya bisa duduk dan ngobrol dengan Pelé. pria 74 tahun itu datang memakai baju safari yang kerap diasosiasikan dengan diktator kejam dari Afrika dan tengah asik mengirim pesan lewat Iphonenya ketika kami diperkenalkan. Ternyata Pelé orangnya asik banget. Maksud saya, Pelé adalah pria baya berusia 74 tahun yang bicara dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, jadi enggak banyak yang dibicarain juga. Dia banyak ngomong kalau dirinya sangat rendah hati, seperti banyak orang rendah hati lakukan, dan betapa besar cintanya pada sepakbola. Ketika ditanya nasihat apa yang bisa diberikan agar saya bisa jadi pesepakbola yang berhasil, dia menjawab singkat "Jadi diri sendiri saja." saya bilang itu tak akan membantu. Pela cuma ngakak. Jadi, intinya dia ngerti kalau saya sedang berkelakar. Dia cuma nyengir dan ngangguk-ngangguk. Pokoknya dia baik sekali. Sudah pasti saya minta foto sebelum Pelé cabut. Saya jarang mengajukan permintaan seperti ini. Tapi, apa boleh buat, ini kan Pelé. masa sih enggak minta foto? Ketika kami akhirnya berpose, saya senang sekali karena tenyata Pelé mengajukan gaya berjabat tangan yang menonjolkan otot-otot bicep seperti yang dilakukan Dutch dan Dillon di film Predator. Ini bikin saya penasaran. Jangan-jangan Pelé sudah nonton film Predator dan kalau sudah, apa pendapatnya tentang film itu? Sayang, Pelé keburu dijemput dan diarahkan ke sebuah minivan berwarna hitam pekat.

Iklan

Penulis artikel ini (kanan) bersama Lee Chapman.

Sebenarnya, kalau saya bilang saya enggak pernah minta foto dengan pemain sepakbola, saya sebenarnya sedang bohong. Beberapa kali saya pernah foto bareng Lee Chapman. Dalih saya waktu itu adalah saya ditugaskan sebuah majalan untuk menulis tulisan panjang tentang pahlawanan masa kecil dan Chapman dipilih karena dia bikin gol yang memenangkan Leeds United ketika saya masih bocah sepuluh tahun. Chapman adalah orang pertama yang saya dekati. Waktu itu Chapman punya sebuah bar di King's Road. jadi saya enteng saja menelepon dia dan minta izin datang ke barnya dan ngobrol dengan Champan. Kami akhirnya minum-minum dan Chapman tampak sekali sangat tersentuh lantaran saya ada di sana, nyerocos panjang lebar tentang poster dirinya yang dulu saya punya. Istri Chapman, aktris Leslie Ash, datang ke bar agak malam dan kami sempat ngobrol seru, walau aku lupa apa yang kami bicarakan. Kayaknya sih tentang desain interior? Tapi enggak tahu juga sih.
Oh ya ngomong-ngomong soal fiturnya, tulisan itu enggak jadi naik cetak. Lagian, ayolah jujur saja, enggak ada yang bakal baca cerita seorang wartawan minum-minum sampai teler dengan Lee Champman? Sampai di titik ini, saya sudah menyebut hampir semua pesepakbola yang pernah saya temui. Stock nama yang bisa saya pamerkan di tulisan ini. Tapi tenang, saya belum menyebut Frank Lampard. Saya bertemu ikon Chelsea ini di fasiltas latihan Cobham, milik The Blues. Frank orangnya asik diajak ngobrol dan yang paling keren saya bisa bertemu dengan Frank dan agennya, Snigger. Saya enggak pernah seberuntung dan sebahagia ini. Sebenarnya ada yang berpendapat kalau saya enggak terlalu sering merayu pemain sepakbola untuk tertawa, kemungkinan besar saya bisa mewawancara lebih banyak bintan sepakbola lainnya. Tapi, begitulah yang terjadi ketika kamu menghadapi krisis-krisis kecil di lapangan. Sebenarnya, yang menarik yang aku temukan di Cobham adalah Petr Čech dalam pakaian biasa. Kiper Chelsea ini mirip kayak nerd. pokoknya mirip kayak mahasiswa S3 yang dapat beasiswa Erasmus dan sedang belajar apa gitu di Inggris. Terus siapa lagi ya? Oh ya, Mel Stuart beberapa waktu lalu. Dia orang B aja sih. Dia cerita tentang pengalamannya jadi pakar listri di Brent Council dan membawa pemain yunior Nothingham Players nonton band punk '70an The Stranglers. Saya jujur bilang padanya bahwa saya, waktu itu masih delapan tahun, mewek melihat dia dan Chris Waddle gagal mengeksekusi penalti dalam babak tos-tosan di semifinal Piala Dunia 1990 di Italia. Stuart dia saja. Pernyataan saya enggak ada ngaruh-ngaruhnya. Malah dia bilang, kegagalan penalti itu adalah "hal terbaik yang dia lakukan." mantap! Struat punya kekebalan emosional tingkat dewa! Stuart pakai kaos lengan pendek, menenteng notepad dan terus-terusan memanggil saya "Ben". Dia mirip sekali dengan petugas damkar yang datang ke sekolah dan memberikan penyuluhan pada murid sekolah untuk tidak main-main dengan api. Saya juga pernah, sekali doang sih, ngobrol dengan Gary Neville lewat telepon. Jadi, harusnya enggak masuk daftar pemain sepakbola yang pernah saya temui. Anyway, Gary mirip seperti yang selama ini kita pikirkan. Dia ya gitu orangnya. Sama kasusnya seperti Harry Redknapp. Saya ketemu di acara grup manajemen perbankan. Harry Redknapp mirip seperti seorang aktor yang menerapkan method acting denan berperan pria yang kini menukangi Birmingham City. Kira-kira begitulah sebagain hidup saya yang bersinggungan dengan industri sepakbola modern. Kelihatannya banal, sureal meski enggak jelek-jelek amat. Buktinya saya bisa nongkrong dengan Pelé. Gapapalah. Yang penting nenek saya bangga.