Ilustrasi orang bersin
Ilustrasi: Mathilde Bindervoet 
Pandemi Corona

Pengakuan Anak Muda yang Jadi Dicuekin Keluarga Karena Tularkan Covid-19 ke Rumah

“Orang tuaku marah besar. Mereka menganggapku terlalu ceroboh,” kata seorang anak muda yang positif Covid-19 usai jalan bareng teman-temannya.

Kata siapa hidup anak muda zaman sekarang sangat enak? Kita sulit mendapat pekerjaan bagus, dan enggak mampu beli rumah sendiri. Seakan belum cukup dengan segala kesusahan itu, kita kini harus berhadapan dengan pandemi segala.

Beban kita semakin bertambah. Kebanyakan dari kita terpaksa menahan rindu dengan keluarga karena khawatir menularkan virus ke mereka. Begitu juga halnya dengan mereka-mereka yang serumah dengan kelompok rentan, tapi harus kerja di kantor. Mereka butuh uang, tapi enggak mau membawa virus ke rumah.

Iklan

Aku jarang main ke rumah orang tua untuk cari aman. Keluarga kami selalu mematuhi peraturan, jadi terbebas dari virus. Tapi semuanya berubah dua bulan lalu. Aku terpaksa tiga minggu menjalani karantina setelah berkunjung ke rumah orang tua. Ibuku perawat, dan tertular virus saat bekerja. Kami semua kena Covid-19. Untung saja, penyakit kami enggak parah.

Aku sadar tak semua orang bisa seberuntung kami. Selama setahun terakhir, banyak orang tanpa sadar menularkan virus kepada pasangan, keluarga dan teman mereka. Sang carrier pasti akan merasa bersalah jika kondisi orang yang terinfeksi dari mereka kian memburuk. Aku pun bertanya kepada tiga orang seperti apa perasaan mereka telah menularkan virus, dan bagaimana kejadian itu memengaruhi kehidupan mereka.

Tess* (27)

Hidung temanku mendadak mampet saat kami jalan bareng di akhir pekan. Dia seorang hipokondria (kondisi seseorang menganggap dirinya sakit), jadi enggak berani dekat-dekat denganku kalau aku enggak pakai masker. Aku sempat mengira dia lebay, tapi ternyata instingnya benar. Kami berdua positif Covid-19.

Aku langsung berasumsi pacar juga kena, tapi enggak yakin dengan keadaan orang tua. Ayah ingin bertemu denganku sebelum menjalani operasi, dan aku menjenguknya tepat sehari sebelum merasakan gejala. Hasil tesku keluar setelah ayah selesai dioperasi. Ayah segera diisolasi dan diperiksa begitu ibu tiri memberi tahu kondisiku ke rumah sakit tempat ayah dioperasi. Aku benar-benar ketakutan saat itu. Ayahku sudah tua, obesitas dan belum pulih usai operasi. Aku kira ayah akan mati. Beruntungnya ayah enggak tertular, tapi ibu sakit tak lama kemudian. Ibu dirawat selama dua minggu.

Iklan

Sejak itu, orang tua jarang menanyakan kabarku. Mereka marah besar, dan mengira aku terlalu ceroboh. Aku enggak pergi ke mana-mana. Aku cuma menginap dan main kartu sama teman. Sulit sekali menghadapi orang-orang yang mengira kalian membahayakan diri sendiri dan orang lain. Media juga menunjukkan seolah-olah kalian hanya bisa ketularan kalau melanggar protokol kesehatan. Padahal, kenyataannya enggak melulu kayak begitu. Aku akhirnya bisa menyelesaikan masalah ini dengan ayah, tapi kami enggak menghabiskan Natal bareng tahun lalu.

Steffie* (22)

Setelah berbulan-bulan mematuhi semua peraturan yang ada, aku dan teman-teman menghadiri pesta ilegal di musim panas. Pembatasannya sudah longgar waktu itu. Beberapa hari kemudian, seorang teman memberi tahu sedang sakit tenggorokan dan akan tes Covid-19. Aku merasa baik-baik saja dan cuma hangover.

Badanku pegal-pegal, tapi mengira itu efek dari berolahraga. Aku mulai meriang menjelang akhir pekan, dan masih mengabaikannya. Aku berpikir enggak enak badan karena keseringan minum-minum. Gejalanya sudah ada dari dulu, tapi aku selalu mencari alasan. Aku baru tes Covid-19 begitu teman-teman mengalami gejala serupa.

Aku memberi tahu pacar yang bekerja di restoran. Dia langsung disuruh pulang, dan melakukan tes keesokan harinya. Aku sudah yakin terinfeksi virus karena enggak merasakan apa pun saat makan sup.

Kami berdua positif Covid-19. Pacarku sangat pengertian, tapi aku merasa sangat bersalah. Restoran tempatnya bekerja harus tutup selama dua minggu, padahal sudah ngos-ngosan terdampak Covid-19. Ditambah lagi, ayahku dirawat di rumah sakit — bukan karena corona. Aku sedih enggak bisa menemaninya.

Iklan

Aku menyesali perbuatanku. Enggak pernah menyangka sama sekali situasinya akan lepas kendali seperti itu. Temanku mengadakan pesta lagi sebulan kemudian, tapi aku menolak datang saat diundang.

Lars (26)

Pacarku sedang mencoba parfum ketika belanja dengan ibunya, tapi enggak bisa mencium bebauan apa pun. Dia awalnya mengira hanya parno biasa, dan kami baru menyadari apa yang terjadi saat aku sakit tenggorokan beberapa hari kemudian.

Setelah itu, teman kerjaku juga mengalami gejala-gejala COVID-19. Dia pasti ketularan dariku karena aku orang pertama di kantor yang terinfeksi. Dia lalu menularkan virus ke istri dan putrinya yang baru tiga tahun. Aku sudah siap menghubungi orang tua teman, tapi untungnya tidak menyebar ke mereka. Keluarganya sekarang sudah sehat kembali.

Aku belum diizinkan masuk kantor karena masih batuk-batuk. Aku paham itu semua demi keselamatan bersama, tapi aku tetap sedih. Baru-baru ini aku merayakan ulang tahun hanya berdua dengan pacar. Kami enggak makan kue dan sushi, karena toh… aku enggak bisa merasakannya juga.

*Nama-nama narasumber diubah untuk melindungi privasinya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.