Politik

Kabar Buruk Lain dari DPR: RUU Ketahanan Keluarga Kembali Dibahas Meski Tuai Kecaman

Aktivis menilai RUU Ketahanan Keluarga adalah "tandingan" RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan cara mengatur ranah privat dan bernuansa patriarkis.
DPR Kembali Bahas RUU Ketahanan Keluarga Kembali Dibahas Meski Tuai Kecaman Masyarakat
Momen rapat paripurna DPR RI pada 14 Agustus 2020. Foto dari arsip DPR via AFP

Sempat beralasan enggak punya cukup waktu ngurusin RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), DPR RI malah berfokus menggarap RUU lain yang banyak ditentang masyarakat. Setelah RUU Cipta Kerja dan RUU Larangan Minuman Beralkohol, kini giliran RUU Ketahanan Keluarga mulai digodok lagi. Pada titik ini enggak aneh kalau ada yang nganggep kerjaan utama DPR RI adalah membuat geram rakyatnya.

Kamis (12/11) kemarin, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melanjutkan pembahasan RUU Ketahanan Keluarga meski draf awalnya yang beredar Februari silam langsung mengundang kecaman. Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya tersebut, tim ahli mempresentasikan hasil kajian mereka.

Iklan

Menanggapi paparan tersebut, anggota Baleg dari Fraksi Golkar Nurul Arifin melancarkan kritik. Ia menilai RUU Ketahanan Keluarga malah berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Pada Bab IX, Nurul memberi contoh problematis dalam naskahnya, sebab masyarakat dibolehkan mencampuri rumah tangga orang lain.

“Di dalam RUU Ketahanan Keluarga ini, kita juga menjadi suatu bangsa yang kayaknya resek begitu ya. Reseknya itu begini, seperti Bab IX, ada peran serta masyarakat. Ini semangatnya menjadi seperti kita mengurusi rumah tangga orang lain. Rumah tangga itu mempunyai entitasnya sendiri,” kritik Nurul dalam rapat Baleg.

“Daripada membuat yang baru, mendingan merevisi UU Perkawinan yang memang sudah menjadi agenda lama. Alangkah baiknya kita berpikirnya holistik, rendah hati, bahwa kita ini negara kesatuan, dan bukan homogen, tapi heterogen, dan sangat multikultur. Saya tidak mengerti cara berpikirnya itu seperti apa, kok malah mengurusi hal-hal yang sangat pribadi.”

Tentangan serupa datang pula dari anggota Fraksi PDI Perjuangan My Esti Wijaya yang mengatakan ada hal-hal dalam rumah tangga yang enggak bisa diatur UU sebab toleransi, rasa, dan masalah setiap keluarga itu berbeda-beda.

Salah satu pengusul RUU dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani, mengatakan menerima semua kritik di rapat kemarin sebagai bahan memperkaya draf RUU. Netty membela diri dengan membantah RUU Ketahanan Keluarga bermaksud mengatur ranah privat warga negara. Pembelaannya, aturan ini digagas untuk menciptakan keluarga-keluarga berkualitas di Indonesia. Entah apa yang dimaksudnya dengan keluarga berkualitas itu.

Iklan

Draf RUU Ketahanan Keluarga versi Februari bisa dilihat di situs resmi DPR ini. Meski tampaknya sudah ada draf baru, pasal-pasal kontroversi belum hilang dari pembahasan kajian ahli kemarin. Selain pasal soal peran serta masyarakat yang udah disinggung Nurul, masih ada Pasal 55 yang mengatur bagaimana pemerintah pusat dan daerah memiliki kekuasaan untuk memantau dan mengevaluasi ketahanan keluarga.

Selain itu, pasal bermasalah seperti hukuman pidana bagi pendonor sperma dan ovum, orientasi seksual LGBTIQ dianggap sebagai penyimpangan seksual yang wajib rehabilitasi, serta pewajiban istri untuk mengatur urusan rumah tangga masih ada.

RUU Ketahanan Keluarga mulai disorot keberadaannya pada akhir 2018. Pengusulnya adalah lima anggota dewan dari empat fraksi, yakni Endang Maria Astuti (Golkar), Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani (PKS), Sodik Mudjahid (Gerindra), serta Ali Taher (PAN). Februari lalu Endang menarik diri dari tim pengusul.

Dari berbagai kecaman yang datang ketika draf pertama RUU ini muncul Februari lalu, di antaranya mengenai muatan moralis RUU ini yang sebenarnya sudah diatur agama. Selain itu ada aturan yang diskriminatif terhadap perempuan, minoritas gender/seksual, dan kelas ekonomi bawah. Misalnya aturan kamar anak dan orang tua harus terpisah. RUU ini juga mengatur campur tangan negara dalam rumah tangga lewat Rencana Induk Ketahanan Keluarga serta “badan yang menangani ketahanan keluarga”.

Iklan

Aktivis perempuan Tunggal Pawestri menilai RUU ini sungguh kacau sebab melakukan domestikasi peran perempuan. Selain itu, naskah akademiknya juga enggak nyambung dengan aturan. Misal, naskah akademik RUU menyebut sebab tingginya perceraian terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga, tapi RUU dianggap Tunggal enggak menjawab persoalan itu.

“Ya, yang diurus seharusnya masalah kekerasannya. Kok dalam pasal-pasalnya malah enggak diatur sama sekali soal kekerasan,” kata Tunggal kepada Tirto. Terkait pembagian kerja, Tunggal menganggap hal tersebut sudah tidak relevan sebab bentuk keluarga di Indonesia sangat beragam, seperti orang tua tunggal atau ibu/ayah yang jadi buruh migran. “Saya sih berharap ini RUU dibuang aja, enggak perlu ada UU ini. Tapi kalau memang dipaksa ada, aturlah UU berdasarkan keadilan gender, HAM, jangan malah meminggirkan perempuan dalam membangun bangsa,” tegas Tunggal.

Aktivis LGBTIQ dari organisasi Suara Kita Hartoyo menganggap para pengambil kebijakan semakin mengucilkan kaum minoritas seksual. ”Memang di RUU ini [LGBTIQ] tidak dikriminalkan, tapi dalam konteks rehabilitasi. Tapi itu juga bagian dari kekerasan. Aku melihat, ‘Heh, apa lagi sih?’ Buat apa lagi kelompok-kelompok itu mau mengganggu lagi-mengganggu lagi?” kata Toyo kepada CNN Indonesia. Sementara Direktur Advokasi dan Kebijakan Publik Support Group dan Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Riski Carolina menyebut para legislator RUU membuat masyarakat semakin jauh dari keilmuan dan semakin dekat dengan diskriminasi.

RUU Ketahanan Keluarga termasuk salah satu antrean dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Dibuat sejak 2017, aktivis menilai RUU ini adalah “tandingan” untuk RUU PKS karena semangat keduanya bertolak belakang. “Saya lihat adalah RUU ini [Ketahanan Keluarga] jelas menjadi tandingan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Itu secara politik yang saya lihat itu,” kata Ketua Perempuan Mahardika Mutiara Ika Pratiwi, Februari tahun ini.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, justru RUU PKS lebih krusial disahkan daripada RUU Ketahanan Keluarga yang sibuk mengatur kewajiban istri dan suami dalam rumah tangga. "Masa enggak bisa melihat setiap hari di televisi, di koran, anak-anak kita menjadi korban. Bahkan dari gurunya, dari guru agamanya, dari ayahnya sendiri, itu menjadi korban kekerasan seksual," gugatnya, dilansir Kompas.