Sains

Kabar Buruk Baru: Air Hujan Planet Tercemar Zat Kimia Beracun, Tak Aman Diminum

Ilmuwan bilang di daerah terpencil seperti Antartika dan dataran tinggi Tibet sekalipun, air hujan mengandung kadar “bahan kimia abadi” dalam jumlah besar. Zat ini berbahaya dan sulit terurai.
Ilmuwan Pastikan Air Hujan di Planet Bumi Tidak Aman Diminum Karena Sudah Tercemar perfluoroalkyl
Foto ilustrasi oleh mikkelwilliam via Unsplash

Kadar “bahan kimia abadi” di atmosfer terlampau tinggi sampai-sampai air hujan bisa berbahaya bagi manusia lantaran paparannya telah melebihi standar yang ditentukan.

Hasil penelitian terbaru mengemukakan pencemaran perfluoroalkyl dan polyfluoroalkyl (PFAS) di seluruh dunia sudah melewati batas planet yang aman, sehingga air yang terkontaminasi zat kimia beracun ini tak lagi aman dikonsumsi manusia. PFAS mendapat julukan “bahan kimia abadi” karena sifatnya yang sulit terurai.

Iklan

Paparan PFAS telah diketahui dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh, namun belum diketahui seperti apa dampak keseluruhannya baik terhadap kesehatan manusia maupun ekologi.

Dipimpin oleh Ian Cousins, profesor ilmu lingkungan Universitas Stockholm, sejumlah ilmuwan melaksanakan serangkaian uji lapangan terhadap empat jenis PFAS untuk mengetahui sudah seberapa parah polusinya. Mereka menemukan tingkat PFAS pada air hujan di daerah terpencil dan jarang penduduknya, seperti Antartika dan dataran tinggi Tibet, bahkan telah melampaui ambang batas yang ditentukan Badan Perlindungan Amerika Serikat (EPA). Temuan ini diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology pekan lalu.

EPA telah memperbarui pedoman air minum yang aman dikonsumsi manusia. Dalam pedoman ini, kadar PFA yang dapat menyebabkan kanker 37,5 juta lebih kecil dari standar sebelumnya.

“Kami awalnya berpikir daerah berpenduduk pasti terkontaminasi, sehingga pedomannya tidak terpenuhi di sana,” Cousins menerangkan kepada VICE melalui email. “Kami terkejut saat mengetahui betapa rendah batas aman PFOS dan PFOA yang ditetapkan oleh EPA untuk air minum pada pedoman barunya. Mereka menerbitkan pedoman tersebut saat kami sedang menyelesaikan karya ilmiah ini.”

Tim Cousins benar-benar tak menyangka air hujan mengandung bahan kimia dalam jumlah yang sangat tinggi, dan itu terjadi di seluruh dunia.

Iklan

Para peneliti menyimpulkan pencemaran PFAS telah melewati batas aman planet, sebuah batasan yang perlu dijaga agar Bumi tetap layak huni. Konsep batas aman planet ini pertama kali diperkenalkan pada 2009. Apabila batasannya dilanggar, maka itu dapat menyebabkan kerusakan serius pada ekosistem di Bumi.

“Berdasarkan empat jenis PFAAS yang diamati, kami dapat menyimpulkan bahwa kadarnya pada air hujan, air permukaan dan tanah di berbagai daerah berpenghuni telah melampaui batas aman planet. Semua media ini telah tercemar PFAAS yang paparannya melebihi standar pedoman yang baru diterbitkan,” demikian bunyi studinya.

Kelompok kimia buatan ini mulai digunakan sebagai bahan pembuatan perabotan rumah tangga pada 1940-an. PFA umum ditemukan pada alat masak antilengket, kain tahan noda dan baju anti air. Zat kimia ini terdiri dari molekul yang saling terhubung, yang proses penguraiannya sangat lambat apabila larut dalam air.

Kebanyakan negara, kecuali Tiongkok, telah menghentikan produksi dan penggunaannya karena PFAS terbukti berbahaya bagi lingkungan. Hasil pengamatan Cousins dkk. terhadap empat jenis PFAS semakin mendukung bukti tersebut.

“Empat senyawa yang diamati dalam penelitian ini sudah lama tidak diproduksi (selain di Tiongkok),” terang Cousins. “Bahan kimia ini ternyata masih berputar di permukaan bumi dan atmosfer, meski pembuatan dan penggunaannya sudah sangat jarang. Keempat PFAS ini memiliki daya tahan yang begitu kuat, sehingga tetap bertahan di lingkungan meski emisi utamanya telah dihentikan.”

Sebenarnya sudah ada teknologi canggih yang mampu membersihkan air minum atau tanah yang terkontaminasi PFAS. Akan tetapi, biayanya sangat mahal dan teknologinya takkan mampu mengurangi paparan bahan kimia hingga ke batas aman terbaru. Sayangnya, menurut Cousins, tak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menurunkan kadarnya. 

“Kita cuma bisa menunggu zat ini terurai dengan sendirinya hingga beberapa dekade mendatang,” tuturnya.

Dalam penelitiannya, Cousins dan rekan-rekan mendesak agar Tiongkok segera mengikuti jejak negara lain guna menghindari konsekuensi yang lebih buruk.