Succession, White Lotus, Squid Game tren serial TV mengkritik perilaku orang tajir
Succession, The White Lotus dan Squid Game. F: NImage: Sam Boxer
2021 In Review

Kenapa Ya Belakangan Ada Banyak Serial TV Menyorot Kelakuan Orang Kaya Rese?

Drama Korea macam “Squid Game” mengkritik kaum tajir melintir, begitu juga "Succession", serta jangan lupa juga "Mr Robot". Kami menemukan benang merah tren ini.
Emma Garland
London, GB

Tanpa kita sadari, kebanyakan tontonan yang kita nikmati menceritakan seputar orang kaya. Dari Squid Game sampai Succession dan White Lotus (serta Gossip Girl yang akan mendapatkan versi reboot), tak sedikit serial televisi yang hadir tahun ini menampilkan betapa terlepasnya kehidupan kalangan berduit dari dunia nyata.

Iklan

Tema semacam ini sebetulnya telah diangkat menjadi serial TV sejak dulu, dengan contoh paling populer Mr Robot (2015-2019) yang mencerminkan kesadaran terhadap kesenjangan ekonomi pasca-resesi. Lalu ada Atlanta yang mempertontonkan efek ketidaksetaraan di masyarakat. Pada 2019, para penikmat film ramai membicarakan Big Little Lies, The Righteous Gemstones dan Succession — serial yang membawa kita menyusup ke jajaran orang kaya dan mengekspos dunia mereka. Para pembuat film juga tidak mau kalah, menelurkan karya di layar lebar, seperti Parasite dan Knives Out yang secara brutal memperlihatkan rasa jijik kaum berkantong tebal terhadap kelas bawah.

Serial drama keluaran 2021 telah mengambil langkah lebih jauh untuk menggali hingga ke inti gaya hidup mewah — dan menemukan kekosongan yang tak dapat diatasi. Karakter-karakter ini digambarkan sebagai sosok yang sama rapuh dan sengsaranya seperti orang lain. Mereka dihantui oleh rasa ketidakmampuan untuk menjalin hubungan yang bermakna. Mereka melakukan segala cara demi merasakan sesuatu, seperti meneror kenalan yang lebih tua secara seksual (Roman dan Geri di Succession), dan menciptakan kompetisi rumit yang mempertaruhkan nyawa peserta demi segepok hadiah tunai (Squid Game). Bahkan sulit bagi mereka untuk berlibur dengan tenang (White Lotus).

Iklan

Hingga awal 2010-an, ada dinamika politik kelas “us vs them” yang terlihat jelas di layar kaca. Sitkom macam Malcolm In The Middle, Trailer Park Boys dan Shameless mengisahkan keluarga yang bekerja keras demi uang, menghindari kejaran polisi dan melakukan kejahatan. Meskipun tokoh-tokoh dalam sinetron menghabiskan sebagian besar waktu berteriak satu sama lain, masih ada kehangatan dari perbuatan mereka yang melanggar hukum; pemahaman bahwa setiap orang hanya melakukan apa yang harus mereka lakukan.

Di genre lain, orang kaya digambarkan secara halus. Drama periode seperti Mad Men memiliki mobilitas sosial yang dibangun ke dalam narasi karakter, sementara serial fantasi macam Game Of Thrones dan Dr Who menjadi dua tontonan paling populer di dunia. Sepanjang 2000-an hingga 2010-an, orang kaya sering kali tampak mengetuk pintu rumah megah, menikmati salad dan membicarakan perjalanan mereka ke luar negeri.

Singkatnya, orang kaya dulu mudah dianggap sebagai karakter yang bertingkah aneh bin ajaib — baik karena kepribadian mereka yang lucu, tokoh penjahat pantomim yang konyol atau bahkan keduanya (karena inilah acara realitas seperti Real Housewives dan Selling Sunset tetap populer sampai sekarang). Mereka mungkin orang tua menyebalkan yang selera fesyen-nya buruk, tapi mereka jarang diposisikan setara penonton orang biasa.

Iklan

Ini tak hanya berlaku di TV, melainkan juga di dunia nyata. Gerakan Occupy menciptakan istilah “one percent” atau kaum satu persen, dan menyebut mereka sebagai wajah perselisihan global. Sekarang hanya ada sedikit ruang untuk aspirasi — baik di televisi maupun dunia nyata. Kita telah memasuki era di mana ketidaksetaraan yang ekstrem tercermin dalam hiburan yang kita konsumsi.

Sejak krisis finansial tahun 2007, TV perlahan-lahan menyimpang dari komedi empatik seputar keseharian keluarga dan perjuangan mereka menjadi cerita tentang keluarga kaya yang rese dan brengsek. Di saat pemirsa lebih terikat atas hal-hal yang dibenci daripada kesamaan, hiburan yang menyoroti kegilaan orang tajir menjadi santapan sehari-hari kita. Fakta bahwa It’s Always Sunny In Philadelphia — yang menceritakan sekumpulan orang kaya narsis — menjadi sitkom terpanjang dalam sejarah hiburan AS menunjukkan, kita kini membutuhkan hiburan sebagai wadah mengkritik masalah sosial.

Pada 2021, televisi menyatukan unsur pribadi dan impersonal, menunjukkan kepada kita struktur emosional kehidupan orang kaya dalam konteks yang lebih luas dari keprihatinan yang sangat nyata dan terkini. Entah itu permainan mengerikan dalam Squid Game atau kerusakan kolonial yang menciptakan hotel-hotel bergaya White Lotus, kematian menghantui acara-acara semacam ini dalam berbagai cara. Terdapat aura gelap di balik karakter paling konyol sekali pun. Ada rasa bersalah, malu, kebencian terhadap diri sendiri — ada yang eksistensial, ada juga yang berakar dari tindakan yang kita lihat di layar.

Sebagian besar kegelapan itu berasal dari fakta bahwa efek kesenjangan ekonomi, rasisme dan kolonialisme — sistem-sistem yang ditopang kapitalisme — tertanam dalam bahasa TV sekarang, sebagaimana itu tertanam dalam bahasa media sosial sejak bertahun-tahun lamanya. Meski acara TV tak pernah dimaksudkan untuk menjadi preskriptif, hal itu nyatanya mencerminkan peperangan politik hidup dan mati dalam arti yang lebih harfiah. Bagi mereka-mereka yang berada di ujung kekuasaan yang salah (seperti saya dan kalian semua), penghina bahkan datang sebagai hadiah.

Ditembak mati karena kalah dalam permainan anak-anak yang berujung fatal; tak sengaja ditikam karena berseteru dengan tamu hotel; tak diselamatkan saat tenggelam dalam kecelakaan mobil yang jatuh ke danau, dan kematiannya dianggap tak setragis mengantre berjam-jam untuk beli minuman. Pilihlah pejuangmu sendiri!

@emmaggarland