Aku Sukses Menipu Seluruh Dunia, Pura-Pura Jadi DJ EDM Sukses

FYI.

This story is over 5 years old.

Eksperimen Sosial

Aku Sukses Menipu Seluruh Dunia, Pura-Pura Jadi DJ EDM Sukses

Ternyata gampang banget lho ngibulin EO dan media. Intinya cuma pintar-pintar milih koneksi dan bikin marketing yang menarik.

Artikel ini pertama kali tayang di THUMP.

Dua tahun lalu, aku mulai eneg sama kehidupan malam. Aku mahasiswa biasa dari Swiss, sesekali bekerja sambilan sebagai promotor party. Aku suka banget musik elektronik, tapi membenci dunia dangkal yang dipenuhi narkoba itu. Dalam dunia hiburan malam, lelaki memegang kendali atas perempuan berbusana minim, sementara narkoba menjadi bahan bakar utama mesin yang menjalankan seluruh pertunjukan tersebut. Aku pernah bener-bener kesal melihat ulah gerombolan DJ yang dipuja para promotor dan pemilik club. Mereka dengan sombongnya merasa sanggup meyakinkan pengunjung, kalau mereka betulan layak disebut musisi. Padahal sikap mereka mengkhianati akar musik elektronik yang mereka mainkan.

Iklan

Aku makin jijik sama DJ-DJ tersebut, karena mereka bertanggung jawab memicu komersialisasi gila-gilaan genre Electronic Dance Music (EDM). Mereka dibayar mahal cuma buat muterin lagu dari playlist doang njir. Enggak ada sama sekali aksi mixing di tempat. Tinggal nge-klik play doang udah kelar tugas mereka, sambil pura-pura joget dan sibuk di hadapan turntable dan laptop biar kesannya enggak nganggur. Aku baru membahas kelakukan para DJ lho ya. Soal musiknya, jangan ditanya. Musik EDM era sekarang tuh sudah mencapai titik jenuh banget, sampai-sampai semua drop-nya gampang ketebak. Semua lagu dirancang seragam, selalu ada momen ngasih tahu kapan anak yang lagi di lantai dansa mulai menaikan tangan ke udara dan berjerit bersama-sama. EDM akhirnya menjadi sekadar hiburan massal. Nilai budayanya sudah tak lagi relevan dibicarakan.

Jatuhnya nilai EDM—genrenya sih baik-baik saja, yang jadi masalah adalah tafsiran para pelaku genre ini sekarang—benar-benar membuatku nelangsa. EDM ibaratnya makanan cepat saji. EDM enggak lebih dari tontonan berupa suara dentuman yang bikin kuping berdenging, dan kembang api. Padahal kita tahu, yang sekarang lagi ramai di mana-mana sebetulnya cuma versi pasar malamnya electronic dance music.

Akhirnya aku bertanya kepada diriku sendiri: Apakah DJ jaman sekarang emang sekadar boneka yang tampil di atas panggung yang lebih sering heboh menembakkan confetti ke penonton? Apakah seorang DJ masih membutuhkan keterampilan teknis dengan turntable dan mixer, atau cukup punya tombol sinkronisasi yang semudah ngeklik Spotify? Apakah menjalani profesi DJ masa sekarang mementingkan penampilan yang bling-bling ketimbang substansi otentiknya? Bersama Tobias, teman lama dari kancah musik elektronik, kami merancang eksperimen kecil tapi gila. Kalau memang semudah itu jadi sosok utama penghibur pesta, ya sudah, sekalian aja aku ngaku-ngaku jadi DJ EDM yang sedang naik daun. *Sedikit spoiler: Rencanaku berhasil.

Iklan

Semua Intinya Soal Marketing

Tobias lama berkerja di kancah musik elektronik seputaran Eropa. Dia sudah betul-betul memahami seluk beluknya. Buat festival musik elektronik skala besar besar, dia dan EO akan memprioritaskan DJ yang sudah punya nama dan sanggup menarik calon pengunjung sebanyak mungkin. Tobias bisa tahu penampilan DJ kayak mana yang pas buat ukuran panggung tertentu. Tobias bahkan bisa tahu, apakah si DJ anu bisa menarik pengunjung abege ingusan, serta berapa tiket yang sanggup mereka bayar demi melihat si DJ beraksi di belakang turntable. Kami lantas menggelar brainstorming menentukan apa saja yang akan kami butuhkan supaya bisa memoles citraku sebagai DJ sukses. Hasil ngobrol bareng Tobias, kunci seorang DJ dianggap mumpuni adalah koneksi, sedikit keahilan, dan yang paling penting trik marketing yang pinter. Kita membutuhkan ciri khas yang klise dan norak. Pada akhirnya, rencana kami ternyata berhasil.

Pertama-tama, aku mulai mengasah keterampilan dasar tampil di belakang turntable dan mixer. Aku minta izin berlatih di klub punya kawan siang hari, saaat mereka belum buka. Aku belajar dari video di Internet cara menyambungkan satu lagu ke lagu berikutnya. Skill yang basic banget lah. Salah satu teman memberiku kursus kilat supaya aku makin mahir. Ternyata emang gampang lho. Cuma butuh beberapa minggu sampai akhirnya aku bisa menyusun playlist dari satu lagu ke lagu selanjutnya secara rapi, serta mengatur transisi antar lagu yang seharusnya enggak nyambung.

Iklan

Aku dan Tobias juga meraih kesimpulan kalau imej DJ perempuan lebih gampang "dijual" ke promotor-promotor. Satu aja cepet jualannya, apalagi dua perempuan di belakang turntable. Buktinya lihat aja Nervo tuh. Maka, kami sepakat, aku sebaiknya tidak akan pura-pura jadi DJ solo, tapi bagian dari sebuah duo. Aku mulai mencari teman yang cocok untuk aksi tipuan semacam ini (supaya ada yang tertarik ikutan ngibulin EO kayak gini, aku membujuk banyak orang soal enaknya jadi terkenal tanpa perlu kerja keras dan alkohol gratis sepanjang malam). Kami pun segera mendapatkan perempuan kedua untuk menjadi partnerku dalam kelompok DJ abal-abal ini. Tobias mengatur pertunjukan pertama kami di salah satu pesta yang dia kelola. Pentas pertama kali itu berlangsung Mei 2014. Kami punya waktu sebulan untuk persiapan. Kami ngendon aja di studio sampai Hari H. Selama proses menanti pentas pertama itu, aku dan partner DJ dipotret profesional, kami bela-belain bikin logo, sampai membikinlaman fanpage Facebook khusus. Oh iya, citra yang kami jual adalah duo DJ perempuan asyik. Kami tidak ingin memasarkan citra sekssi seperti misalnya DJ Da Candy. Kami lebih memilih penampilan klise dan norak, tapi bisa mungkin dipercaya khalayak penggemar party.

Mainkan Lagu Yang Semua Orang Tahu

Penampilan pertama kami terhitung sukses besar. Aku dan Tobias mulai keterusan. Kami menujuluki tipuan ini sebagai "proyek seni". Supaya tak mengundang kecurigaan, duo DJ yang kugawangi selalu memilih lagu paling disambut meraih dari Festival Tomorrowland. Kami juga memilih lagu yang paling mudah diakali transisinya. Terbukti, para penonton di berbagai pesta menyukai susunan lagu kami. Mereka joget dan enggak banyak protes karena familiar sama lagu yang diputar. Membuat playlist yang ketebak justru membahagiakan para so-called partygoers itu. Di pentas ketigaku sebagai DJ abal-abal, kegilaan mulai terjadi. Banyak orang-orang dari industri musik elektronik mulai tertarik dengan grup yang kugawangi. Kami dianggap dua pendatang dari entah berantah yang memainkan EDM kekinian. Kami menjadi mimpi buruk DJ- DJ yang lebih dulu ngetop, karena penampilan kami disukai audiens. Sebagian promotor sebetulnya curiga. Ada yang tanya, kenapa anak kemarin sore tiba-tiba mulai sering dipesan ke acara-acara besar. Ada juga promotor party yang mempertanyakan "keaslian" kami sebagai DJ profesional. Juli 2014, kami tampil di tiga acara besar, termasuk festival Touch The Air. Pentas kami selalu sukses. Para audiens mendapatkan set list yang sepenuhnya nyontek Tomorrowland, jurus andalanku sebagai DJ abal-abal untuk menyenangkan penikmat musik elektronik masa kini.

Lambat laun, aku bisa menarik kesimpulan, rencana kami menipu banyak pegiat EDM sukses besar. Tapi kami belum mau berhenti hanya karena sukses diundang mengisi beberapa festival musik elektronik. Aku dan Tobias sepakat, harus meluangkan lebih banyak waktu untuk mengubah proyek iseng ini jadi makin kelihatan serius. Masalahnya, rekan DJ satunya cuma bisa ikutan paruh waktu. Dia saat itu masih kuliah hukum dan sangat sibuk gara-gara cowoknya rese. Pendek kata, dia tidak bisa terikat komitmen yang kurancang bersama Tobias. Terpaksalah, aku memperkenalkan diri kemudian sebagai DJ solo, bukan lagi duo.

Iklan

Tobias merancang bermacam pengembangan "proyek kesenian" iseng ini secara cemerlang. Tiga bulan setelah penampilan pertama sebagai duo, aku sukses diundang tampil di berbagai festival EDM, termasuk festival Zurich Openair. Aku bahkan diminta membuka acara sebelum headliner seperti Netsky, Flume, hingga Crookers. Berkat referensi panitia festival yang pernah mengundangku tampil, promotor yang awalnya tidak mengenalku mulai ikutan ngirim undangan. Gilanya, aku tidak sekadar jad DJ pembuka nama besar seperti Sidnet Samson atau Ummet Ozcan. Beberapa acara mau-maunya memintaku menjadi penampil utama dalam pesta EDM mereka. Aku sampai tidak percaya melihat wajah dan namaku muncul dalam selebaran undangan pesta dan festival musik elektronik. Semua ini tercapai hanya kurang dari 6 bulan sejakpertama kali aku pura-pura beraksi di belakang turntable dan mixer.

Jalani Hidup Ala DJ Yang Klise

Aku sempat tampil di acara tahun baru secara spontan. Dalam keadaan sedikit mabuk, aku memutar lagu bersama manager Klangkarussell setelah set-nya Robin Schulz selesai. Aku bisa tampil di sana karena seorang DJ kenalan memintaku menggantikannya yang sedang berhalangan. Supaya aku bersedia tampil, dia mengiming-imingi soal bayaran. "Bayarannya bagus, 3000 Franks [sekitar Rp40,5 juta]", ujarnya sambil terrsenyum. Ternyata, lokasinya adalah "Bums Alp", sebuah rumah bordil di pinggiran kota Zurich. Setelah aku duduk di belakang panggung dan mendengarkan perbincangan para penampil utama yang sudah mabuk gara-gara narkoba, aku menyadari Schulz dkk tiap hari menghadapi manipulasi yang jahat. Ketika kamu makin sukses sebagai DJ, banyak orang membenci dan iri padamu.

Tak berapa lama, tayanglah dua artikel tentang diriku, si DJ abal-abal ini, di koran. Sebagian anggota kancah EDM beberapa negara Eropa mulai menerimaku. Tidak ada satupun yang mempertanyaan skill-ku sebagai DJ. Banyak orang percaya, karena penonton menyukai aksiku tiap aku memainkan sederet lagu EDM generik kekinian sambil sedikit melambaikan tangan ke udara. Tarifku sekali tampil mulai meningkat setiap bulannya. Tobias dalam waktu singkat, sebagai manajer, berani mematok bayaran minimal 1200 Franks (setara Rp16,2 juta) sekali tampil, yang biasanya setara durasi satu atau dua jam. Musim semi 2015, aku bahkan sudah biasa menjalani delapan hingga sepuluh acara saban bulan, sambil tetap kuliah selama Senin hingga Jumat. Profesiku sebagai DJ abal-abal ini perlahan menjadi rutinitas. Aku sampai lupa alasanku dan Tobias memulai "proyek kesenian" ini adalah mengolok-olok kedunguan kancah EDM Eropa.

Iklan

Ikhlaskan Kehidupan Pribadimu

Jadwal kuliahku agak kaku. Akhirnya kuliah mulai berantakan. Keharusan tampil tiap akhir pekan mendatangkan tekanan. Aku pernah pingsan di atas panggung dua kali karena kelelehan. Beneran nih, selama menjalani karir sebagai DJ abal-abal aku tidak pernah mengkonsumsi narkoba lho. Banyak kenalan baru mencoba mengajakku ke toilet, menawari kokain. Aku selalu menolak. Aku menyukai EDM karena musiknya, bukan karena hal-hal remeh yang hedonistis kayak gitu.

Setelah makin sukses dan reputasiku tambah moncer, aku mulai kepikiran soal musik yang kuputar di tiap acara. Ekspektasi penonton terhadap sosokku sebagai DJ juga meningkat. Aku akhirnya mulai memainkan techno, genre yang sebetulnya sangat kusukai. Tapi aku masih menjaga imej sebagai DJ EDM dangkal masa kini. Aku hanya memutar techno di pesta-pesta kecil atau kalau dapat panggung yang lebih kecil, musik techno kuputar subuh. Aku tidak berani memainkannya di panggung besar, karena dapat membahayakan imejku sebagai DJ EDM yang "dungu", norak, dan klise. Aku harus meredam hasrat. Aku mengikhlaskan kepribadianku melebur dengan citra panggung.

Cari Produser Yang Mau Bikinin Lagu

Hasrat nyataku pada kancah musik elektronik membuatku agak betah menjalani tipu-tipu sebagai DJ. Pelan-pelan aku mulai betulan punya skill remix dan nyusun playlist. Aku mulai memahami kualitas dari lagu EDM yang dapat membuat ketagihan. Aku pun lama-lama mulai berhenti memainkan lagu yang itu-itu saja. Perlahan aku menghabiskan tiap menit dari waktu luang mencari lagu baru. Aku dan Tobias sepakat, kalau kami ingin lebih sukses lagi sebagai DJ abal-abal, kami harus mulai menciptakan lagu sendiri. Penggemar EDM komersial sebetulnya tidak peduli kamu memainkan lagu karya sendiri atau punya orang. Malah, kebanyakan pengunjung party lebih suka jika mereka tahu lagunya, bisa ikut sing-along, dan tahu persis kapan drop-nya datang. Itu tapi kalau aku cuma berminat jago kandang. Untuk menjadi seorang DJ yang sangat sukses dan membesarkan nama di luar negeri, aku harus memiliki beberapa komposisi ciptaan sendiri. Terlepas dari reputasiku yang perlahan naik di Jerman dan sekitarnya, pengetahuanku soal produksi musik nol besar. Makanya kami harus mendapatkan bantuan produser beneran, tapi yang sebisa mungkin cuma terlibat sebagai ghostwriter, enggak perlu disebut namanya.

Dari pengalaman nyari ghostwriter ini, aku makin benci sama DJ yang mengklaim kerjaan para musisi asli sebagai karyanya sendiri. Seakan-akan merekalah si pengarang lagu sesungguhnya. Seakan mereka betulan punya skill. Aku membatalkan niat merahasiakan nama mereka. Aku berpikir kalau produserku pantas mendapatkan penghargaan yang sesungguhnya. Makanya aku ingin mengungkapkan rasa hormat setinggi-tingginya kepada Ben Mühlethaler and Avesta, yang menciptakan lagu pertamaku. Mereka sungguh luar biasa kreatif dan profesional, berkerja sangat produktif dengan hasrat luar biasa terhadap musik elektronik. Kesuksesan bukanlah prioritas mereka. Keduanya membuat EDM yang seru supaya bisa membayar tagihan. Bikin lagu adalah pekerjaan utama mereka.

Iklan

Kami pun menahan publikasinya dan menunggu untuk waktu yang tepat setelah lagunya jadi. Suatu hari, aku mendapatkan email dari Hitmill. Mereka perusahaan pembuat lagu di balik kurang lebih semua jingle dan lagu pop pada urutan kedua. Mereka ingin mengenalku dan berkolaborasi bikin lagu bareng. Hitmil menyediakan satu produser untuk lagu keduaku, dan aku sangat akrab sama dia. Namun sebelum kolaborasinya selesai, produser itu cabut dari Hitmill, sehingga aku harus menyelesaikan single ini bareng produser lain.

Musim panas 2015, aku mulai diminta tampil dalam festival-festival besar seperti Sonnentanz, the Holi Festival of Colours, dan Zurich Openair. Saat jadi headliner Streetparade Aftrerparty, aku tampil di panggung utama sesudah set-nya Bassjackers dan Tujamo. Tiba-tiba, promotor dari luar negeri mulai menghubungiku. Mereka tidak mengetahui skill-ku selama ini atau sebagus apa penampilanku. Mereka tidak peduli. Para promotor itu hanya melihat kalau aku bisa membuat orang-orang yang datang ke festival senang. Mereka berani membayar mahal kalau aku mau tampil di luar negeri, menanggung biaya akomodasi dan hotel. Gila.

Kiat Terakhir: Jaga Kesehatan!

Datanglah musim gugur 2015. Itulah tahun terakhir perkuliahanku. Proyek iseng-iseng ini mulai menyita sebagian besar waktuku. Aku mulai mempertaruhkan kesehatan. Gara-gara keseringan jadi DJ, aku gampang tumbang, sering marah, dan selalu kelelahan. Aku sadar sebenarnya tidak bisa lagi melanjutkan proyek pura-pura jadi DJ. Aku ngobrol membahas masa depan kepura-puraan ini bareng Tobias. Kami sepakat, agar bisa lanjut, aku harus total sekalian sama karir sebagai DJ ini. Untuk ukuran DJ tanpa skill, aku sukses bekerja sama dengan promotor yang memiliki jaringan bagus, produser-produser hebat, serta sebuah tim kreatif yang tekun. Kami sadar proyek ini masih bisa berlanjut, asal aku meluangkan lebih banyak waktu ku, team kami masih memilik kesempatan.

Tapi aku tidak mengambil kesempatan itu. Tobias mendukung pilihanku.

Selesai kuliah, aku mendapat tawaran pekerjaan yang kuimpikan sejak kecil. Semua ini mimpi jadi kenyataan: aku bisa jadi jurnalis. Di titik itulah, aku menuntaskan "proyek seni" yang dirancang bareng Tobias. Gagasannya yang sederhana sudah berhasil terbukti. Karirku yang seumur jagung membuktikan, memang gampang kok kalau kau ingin menjadi seorang DJ sukses. Yang dibutuhkan hanyalah sedikit kepercayaan diri, kemampuan menarik perhatian, dan skill alakadarnya. Memang sih, aku dan Tobias belum mencapai kesuksesan skala internasional. Tapi aku ngeri sendiri membayangkan kemungkinan tersebut. Apalagi aku sudah punya stok beberapa lagu original. Seorang promotor internasional malah sudah melirik kami. Aku sangat takut kalau laguku sukses, karakter DJ abal-abal yang awalnya cuma iseng in akan semakin mengambil alih kepribadianku hari demi hari. Aku pun akhirnya semakin mantab mengakhiri semua kebohongan.

Setelah kuingat-ingat lagi, pengalaman jadi DJ dan menipu banyak orang ini memang ajaib. Aku berhasil mengatur setiap transisi tanpa tombol sync, dan selalu aman melewati setiap pesta. Di sebagian pesta, setelah makin mahir, sebetulnya aku betulan jadi DJ. Tapi sejak awal aku merasa terus-menerus mencurangi penonton. Aku betul-betul menghormati para DJ yang melihat dirinya sebagai musisi, bukan penghibur. Seorang DJ seperti itu bak guru musik yang dapat mendekatkan penonton dengan lagu-lagu baru, yang sangat mungkin revolusioner. Lagu-lagu yang tak banyak didengar orang sebelumnya. Lagu macam itu bukan sekadar lagu dengan melodi pop norak yang ditaruh di atas irama elektronik. Musik EDM sungguhan bisa membuatmu merenung atau malah bermimpi. Musik, khususnya musik elektronik, hidup dari jiwa inovatif yang awalnya menghasilkan EDM. Musik elektronik ini adalah ekspresi sebuah generasi. Sebetulnya, masih banyak banget DJ betulan di luar sana. Mereka lebih pantas mendapatkan tempat manggung besar, bukannya penghibur yang kerjaannya ngelemparin kue ke penonton dan joget aneh tiap panitia menembakkan kembang api. Sayang, DJ betulan jarang bisa ditemukan di festival besar yang komersil. Menjadi komersil pun, untuk musisi elektronik, bermasalah sejak awal: genre elektronik sebetulnya subkultur yang pasarnya kecil. Musik ini lantas dipaksa jad sangat "pop"; dibuat menjadi radio-friendly dan dibuat sesuai selera pasar.

Proyek menjadi DJ abal-abal ini sukses, karena aku sepenuhnya memainkan aturan dunia musik elektronik yang komersial abis. Apa yang dilakukan oleh para DJ "pelempar kue" tidak lebih otentik dari yang kulakukan. Pada akhirnya, aku mengambil keputusan yang benar, menumbalkan karir DJ. Memberi ruang lebih layak subkultur musik elektronik dan para musisi yang sungguh-sungguh menggeluti EDM. Aku dan Tobias sekarang merancang proyek lain. Tobias punya pengalaman meroketkan sosok bukan siapa-siapa sepertiku ke pentas-pentas EDM skala nasional. Kini, kami ingin menularkan pengalaman meraih popularitas ini kepada DJ yang betulan berbakat. Tobias membentuk forum online bernama OneScreener. Ini adalah wadah bagi para musisi dan DJ yang serius agar bisa menjangkau lebih banyak pendengar. Semoga pengalaman kami mengembangkan karir dalam waktu singkat bisa membantu mereka: karena mereka layak mendapat apresiasi lebih. Para DJ ini punya skill sungguhan dan siap menghibur sekaligus mendidik pendengar EDM di luar sana.