Nyaris Tak Ada Lagi Sudut Laut yang Perawan di Bumi Ini
Foto oleh NOAA's National Ocean Service via Flickr

FYI.

This story is over 5 years old.

The VICE Guide to Right Now

Nyaris Tak Ada Lagi Sudut Laut yang Perawan di Bumi Ini

Semua itu salah siapa lagi kalau bukan manusia

Selamat! Sekali lagi manusia baru saja menorehkan capaian yang ‘membanggakan.” Lautan yang kita sayangi, yang menutupi 70 persen permukaan bumi, sudah kelewat rusak hingga saat para ilmuwan meneliti kondisi di bawah permukaan laut, mereka menemukan kawasan perawan di sana—area yang belum terjamah manusia—nyaris hilang.

Amatan sistematik pertama tentang kawasan perawan di bawah permukaan laut ini yang diterbitkan di jurnal peer-review Current Biology, menemukan bahwa kini hanya tinggal 13 persen kawasan lautan yang belum disentuh manusia. Lantaran luas samudra itu sekitar 361,1 juta kilometer persegi, maka bagian samudra yang perawan hanya tinggal seluar bagian utara dan selatan Benua Amerika.

Iklan

“Kami sangat kaget mengetahui hanya tinggal sedikit kawasan liar di lautan yang tersisa,” kata Kendal Jones, peneliti doktoral di University of Queensland, Australia sekaligus salah satu ilmuwan yang terlibat dalam penelitian di atas. “Samudra itu luas sekali, menutupi lebih dari 70 persen permukaan Bumi, namun, manusia ternyata bisa memberikan imbas signifikan dalam ekosistem yang sangat luas ini.”

Lalu, bagaimana cara manusia merusak ekosistem seluas in? Jones dan timnya mempelajari data 19 hal yang dilakukan manusia untuk mengotori lautan, termasuk usaha perkapalan dan industri perikanan komersial. Tim ini juga menelaah beberapa hal yang tak pernah kita sangka bisa berimbas pada ekosistem lautan, penggunaan pupuk dan limpasan sedimen.

Lewat 19 aktivitas tersebut, umat manusia sudah sebagian besar ekosistem lautan, menyisakan 13 persen saja sisanya. Tapi, toh kita masih punya 13 persen kawasan laut yang perawan kan? Jangan senang dulu. Kawasan-kawasan ini umumnya terletak di di Arktik, Antartika dan Pasifik jauh. Dan, menurut perkembangan terakhir, area-area tersebut mulai terancam (khususnya, yang terletak di kawasan tropis).

Di Indonesia kawasan laut perawan, yang luasnya sekitar 16 juta kilometer persegi menurut penelitian di atas, berada di kawasan Indo-Pasifik bersuhu hangat yang meliputi Indonesia serta sebagian Samudra Hindia dan Pasifik. Dan kawasan seluas ini mencakup 8,6 persen dari kawasan laut perawan di seluruh dunia.

Iklan

Keren kan? Enggak juga sih, mengingat keperawanan kawasan ini dalam waktu bakal terancam juga. Pasalnya, Presiden Joko Widodo berencana membangun 10 lokasi pariwisata—gampangnya, bikin 10 Bali baru—di seantero Indonesia. Ini saja dengan membawa manusia dan mempersilahkan mereka mengacak-ngacak ekosistem lautan yang tinggal sedikit itu.

Masalahnya, imbas aktivitas manusia di Indonesia terasa hingga kawasan lautan di luar Indonesia. Saat ini, Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang limbah lautan terbanyak setelah Tiongkok. Saban tahun, Indonesia bertanggung jawab atas 3,22 juta ton sampah yang dibuang ke lautan. Jumlah tersebut setara 10 persen sampah lautan di luar sana.

Namun, kerusakan lautan tak cuma bisa dikaitkan dengan sampah. Industri perkapalan komersial juga mengganggu kehidupan liar di lautan. Selain mengotori lautan, kapal-kapal yang berlalu lalang menciptakan suara-suara memekakan dan halangan fisik yang mengganggu pergerakan paus dan lumba-lumba. Penangkapan yang berlebihan dan menggunakan cara-cara yang destruktif (dengan dinamit misalnya) juga punya peran penting dalam mengikis luas kawasan perawan di perairan Indonesia.

“Di Indonesia, Filipina dan kawasan Asia Tenggara, kawasan liar di lautan umumnya kawasannya yang secara aktif dilindungi,” ujar Alan White, chief party of USAID Sustainable Ecosystem Advanced Project di Jakarta, kepada VICE. “Sebab kalau tak dilindungi, ikan-ikan di kawasan itu akan ditangkapi. Jadi, pada dasarnya, tak ada kawasan perawan di kawasan ini yang tersisa karena penangkapan ikan terjadi di mana-mana.”

Iklan

Pemerintah Indonesia berkali-kali menegaskan akan menyisihkan sekitar 20 juta hektar untuk dijadikan kawasan yang dilindungi pada 2020. Akan tetapi meski pemerintah berhasil menyisihkan banyak kawasan lindung beberapa tahun terakhir, pada kenyataannya sebagian dari besar kawasan tersebut hanyalah “kawasan lindung di atas kertas” belaka. White mengemukakan kepada VICE bahwa dari 20 juta hektar yang diklaim sebagai kawasan lindung di perairan Indonesia, hanya 10 persen di antaranya yang benar-benar kawasan terlindungi.


Tonton video pendek yang memperlihatkan banyaknya sampah di laut Indonesia

“Satu hal yang gagal dipahami banyak orang adalah bahwa (klaim) itu cuma deklarasi legal belaka,” kata White. “Pemerintah Indonesia tinggal mendeklarasikan sebuah kawasan dilindungi tapi tak berarti kawasan tersebut jadi kawasan lindung. Saya tak tahu berapa orang yang sadar bahwa Pulau Seribu sebenarnya adalah taman laut nasional. Tapi, kalau kita pergi ke sana, kamu tak akan menyadarinya kan?”

Lalu, kendati rencana Jokowi untuk menciptakan “Bali-Bali” baru mungkin berimbas pada daerah yang tak lagi memiliki kawasan laut perawan, pariwisata ternyata masih punya fungsi penting dalam perlindungan kawasan laut. Di Bali, pariwisata memang meninggalkan masalah pelik seperti lautan sampah plastik yang mengambang seperti ubur-ubur mati, pasokan air tanah yang menipis dan kondisi terumbu karang yang menyedihkan. Namun, di tempat yang belum serusak baru, pariwisata juga meningkatkan kesadaran akan ekosistem lautan yang semestinya dilindungi.

“Harapannya pariwisata justru memberikan insentif bagi masyarakat setempat untuk melindungi kehidupan laut di sekitar mereka,” ungkap White. “Karena bakal butuh banyak biaya untuk melindungi kawasan tersebut. Kamu harus punya tenaga manusia, kamu harus punya perahu, kamu harus punya radar. Pokoknya butuh banyak hal yang tak bisa disediakan pemerintah.”

Tapi, semahal apapun itu, harganya masih lebih murah dari apa yang harus kita bayar jika semua sekujur lautan kita rusak.