Berkat Media Sosial, Musisi 'One Hit Wonder' Zaman Sekarang Bisa Punya Karir Lebih Panjang
Foto dari Wikimedia Commons.

FYI.

This story is over 5 years old.

Opini Musik

Berkat Media Sosial, Musisi 'One Hit Wonder' Zaman Sekarang Bisa Punya Karir Lebih Panjang

Dulu cuma berhasil punya satu lagu hit lalu terlupakan adalah kehinaan bagi musisi. Kini, karir seorang artis rupanya tetap bisa moncer dengan modal satu single catchy—semua tentu berkat medsos.

Masa kecil saya, sebagai anggota generasi millenial, berisi berbagai pengalaman menyelami lagu-lagu one-hit wonder. suatu hari, setelah nonton acara tangga lagu Top of The Pops, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa lagu Deep Blue Something, judulnya "Breakfast at Tiffany’s" adalah anthem rock tergagah sepanjang masa.

Dibanding Jimi Hendrix atau Bob Dylan, saya harus jujur mengakui memutuskan belajar bermain gitar gara-gara mendengar lagu Eagle Eye Cherry, “Save Tonight.” Saya juga keranjingan memutar lagu ”Westside”-nya TQ setelah mencicipi lagu yang sempat hits banget itu lewat album kompilasi. Pendeknya, setiap lagu yang saya sukai semasa SD-SMP dulu dibikin oleh artis/band yang karirnya bermula, melonjak sebentar, lantas tenggelam setelah sukses dengan satu lagu saja.

Iklan

Dekade 90'an adalah era emas one-hit wonder, julukan bagi musisi atau band yang ternar hanya gara-gara satu lagu lalu terlupakan. Kala itu, lagu Whigfield yang kuat nuansa Europopnya, “Saturday Night” dan track soft-rock nanggung dari Semisonic, “Secret Smile” mulai terpatri dalam ingatan kita. Tak seperti lagu-lagu Grunge atau Brit-pop, lagu-lagu di atas seperti melenceng dari semangat zaman masa itu.

Lagu-lagu one-hit wonder pada umumnya seperti tak punya genre yang pasti. Di masa ketika CD mencapai puncak popularitsnya, Industri musik memang tak bosan-bosannya menjejalkan kita dengan artis/solois/band baru—dan seringnya musisi-musisi baru ini hanya sempat meninggalkan jejak single saja.

Mari sekarang loncat ke tahun 2018. Rupanya lanskap industri musik sudah jauh berbeda. Tak lagi pasif disuapi track-track baru oleh label musik, kita-kita pegang sendiri musik macam apa yang kita mau dengar. Algoritma menuntun kita dari satu lagi ke lagu lainnya. pun, lagu tak lagi berumur pendek, atau populer dalam sekejap saja. Lagu, saat ini, adalah bagian informasi yang terlihat dan dapat dirunut lewat sejumlah klik.

Salah satu hal yang paling menguntungkan dari lanskap industri musik seperti ini adalah bila sebuah band/musisi baru berhasil menghasilkan lagu yang ngetop, mereka terus eksis dengan satu lagu itu saja. Malah, musisi baru ini bisa membangun basis penggemar yang kuat—walau kadang cuma di dunia daring sih. Jelas, opsi seperti ini tak dimiliki oleh Las Ketchup. Alhasil, one-hit wonder yang bermunculan dari tahun 2000 hingga 2010 (masih ingat Rebecca Black? Gotye? atau band yang nyanyi lagu “so rude”?) sekarang mulai lenyap dari ingatan kolektif kita.

Iklan

Tapi sebelum kita ngobrol panjang lebar tentang one-hit wonder, mari kita definisikan istilah ini dulu. Dalam Billboard Book of One Hit Wonders, wartawan musik Wayne Jancik mengatakan bahwa one-hit wonder adalah musisi yang cuma sekali masuk Billboard Chart Top 40, terlepas karir macam apa yang mereka jalani setelah itu. Jika berkaca pada definisi ini, musisi sekelas Jimi Hendrix (masuk chart lewat“All Along The Watchtower”) dan Public Enemy (bertengger di chart lewat track ”Give It Up") adalah one-hit wonder (ya kali!). Definisi ini punya satu masalah akut: kelewat formil.


Tonton acara musik VICE menampilkan musisi-musisi muda paling menarik dari Indonesia:


Sejatinya, mendefinisikan one-hit wonder tak sekadar menilik apakah track sebuah band atau musisi pernah masuk Bilboard Chart. Ada banyak faktor yang perlu diperhitungkan untuk menyematkan julukan ini pada sebuah band—salah satunya, adanya obsesi massal pada satu track tertentu dalam kurun waktu tertentu. Tak ayal, tag one-hit wonder mencakup musisi dari beragam genre, dari band semacam Kuburan hingga Ayu Tingting. Namun, kalau ada ukuran yang ampuh untuk mengidentifikasi one-hit wonder, maka ukuran tersebut adalah, "mereka harus sukses karena satu lagu yang catchy habis dan namanya tak terdengar lagi setelah itu."

Yang menarik, belakangan artis one-hit wonder bisa membangun karirnya sendiri. Ambil contoh Carly Rae Japsen. “Call Me Maybe” adalah hit terbesar penyanyi asal British Colombia, Kanada ini selama empat tahun terakhir. Andai saja, Japsen hidup tiga dekade lalu, selepas single itu, dia paling banter jadi catatan kaki sejarah musik pop. Beruntung, di zaman kiwari, Japsen bisa berkelit dari nasib yang kurang aduhai itu. Malah, dia mempermak dirinya sendiri dan lahir kembali sebagai sesosok “Queen of Emotion.”

Iklan

Hebatnya lagi, Japsen kini dikenal sebagai musisi pop kesayangan para penggemar musik yang kritis. Artinya, dia justru naik kelas secara artistik, tak lagi sekeadar dianggap selebritis. Musisi one-hit wonder lainnya yang karirnya malah moncer adalah Meghan Trainor. Dia berhasil membangun kembali momentum dari track “All That Bass” yang begitu viral dengan album yang memuncaki tangga album Billboard.

Nama Trainor pun terekam dalam keabadian setelah menjadi perempuan kelima dalam sejarah yang mampu menempatkan satu lagu (“Lips Are Moving”) di Top 5 track top hit setelah debut singlenya nangkring di tangga lagu lagu Billboard. Bandingkan dengan nasib para one-hit wonder tahun ‘90an. Single kedua New Radicals setelah “You Get What You Give” tak bisa tembus top 40. Single Meredith Brooks, “Bitch,” pernah menghuni tangga lagu Billboard selama sepuluh minggu (sempat mencapai posisi ke-6). Namun, single berikutnya cuma puas berada di posisi 28 di chart Inggris dan gagal masuk Billboard Hot 100. Yang paling menyedihkan, DJ Pied Piper malah tak diberi kesempatan merilis single apapun setelah "Do You Really Like It?" meski konon lagunya keren banget.

Mungkin salah satu perubahan yang paling mendasar dalam industri musik adalah kesuksesan seseorang tak lagi cuma diukur dari banyaknya album yang terjual. Balik lagi ke kasus Japsen, nilai penjualan albumnya pasca single "Call Me Maybe" sebenarnya biasa saja. Bedanya, Japsen dibanjiri review bagus, punya fandom kuat di dunia daring serta masih punya pengaruh kultural yang kuat (makanya dia selamat).

Iklan

Di sisi lain, bisa jadi musisi one-hit wonder kemungkinan lahir di masa yang kurang bersahabar atau kerap dikelompokan dalam tag genre yang kuran tepat. Salah satu musisi yang bernasib seperti adalah Nizlopi, yang pada 2005 mengangkangi tangga lagu Natal Inggris selama seminggu dengan lagu "JCB Song,” (terjual sebanyak 600.000 kopi).

Vokalis Nizlopi, Luka Concannon yang kini menjalani tur sebagai musisi solo, mengatakan bahwa pecinta musik menaruh Nizlopi dalam satu kotak dengan Bob the Builder. Malah, kesuksesan mereka susah dipahami oleh publik musik sekalipun. "Aku masih ingat kami manggung di Shephers Bush Empire. Tiket hari itu ludes. Kami harusnya merayakan hari itu walau rasanya agak janggal. Ternyata para penonton melempari kami dengan mainan buldozer plastik. Kami berdua (Luke dan rekannya John Parker) suka seni yang bagus dan kami ingin menghasilkan karya seni yang baik. Apa yang terjadi hari itu bikin kami khawatir. Kami ingin berkarya lebih lama dan menghasilkan sesuatu yang berharga."

Saat itu, Nizlopi terdengar begitu berbeda. Ada suara banjo dan melodeon. Luke masih bernyanyi dengan aksen yang tebal. Jangan lupa juga video animasi “JCB Song” yang cute banget itu. Sekilas, formula ini kelihatan biasa saja, padahal sebenarnya tidak. Andai saja mereka mulai meniti karir pada 2008, ketika iklim musik lebih bersahabat saat Mumford and Sons, Ben Howard, Noah and the Whale, dan Laura Marling menghasilkan hit-hit terbaik mereka dan menuai pujian, mungkin Nizlopi bisa mendapatkan kesuksesan yang mereka dambakan.

Iklan

Belum lagi, Nizlopi ternyata punya pengaruh yang besar pada Ed Sheeran, yang saat berusia 14 tahun memohon dijadikan roadie Nizlopi. Demi menunjukkan kecintaanya, tahun lalu, Sheeran memiliki lagu "Flooded Quarry" sebagai lagu favoritnya di Desert Island Discs. Alhasil, berkat pengaruh Ed Sheeran, Nizlopi reuni, menggelar tur dan kini malah menggelar workshop penulisan lagu.

Musisi one-hit wonder memang mencolok. Mereka tak cocok dengan klasifikasi genre apapun. Bukan tak mungkin di zaman algoritma ini, kita menjumpai satu dua lagi yang mendadak viral tanpa bantuan playlist Spotify, dan karir penyanyinya redup setelah itu. Intinya, sekali lagi, musisi masa kini bisa meniti karirnya bermodalkan satu—yup, cukup satu—lagu belaka. Mau contoh? lihat saja Big Shag. Dengan satu lagu andalan, dia masih dapat tawaran manggung, kesepakatan-kesepakayan menarik serta mampu merilis single-single lainnya (meski tak lagi viral). Ini mengindikasikan bahwa lanskap musik saat ini jauh lebh cari, beragam dan mungkin lebih baik dari, katakanlah, tahun ‘90an.

Meski begitu, saya masih menanti lahirnya one-hit wonder sejatinya di tahun 2018. Saya masih mau kok mencicipi “All Star” ala tahun 2018. Tapi kalau boleh jujur, saya bakal girang kalau ada yang bikin lagu “Teenage Dirtbag” versi 2018.

Kalau bisa aja ngobrol Harry di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.