Sebagai Lelaki Gay, Aku Terpaksa Memilih Golput Saat Pilpres Indonesia 2019
Ilustrasi dilema komunitas LGBTQ merespons Pemilu 2019 oleh Dian Permatasari.

FYI.

This story is over 5 years old.

LGBTQ di Indonesia

Sebagai Lelaki Gay, Aku Terpaksa Memilih Golput Saat Pilpres Indonesia 2019

Dulu aku mendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Ketika presiden petahana memilih Kyai Ma'ruf Amin yang tegas menolak LGBTQ, aku tak bisa lagi pakai rasionalisasi "memilih yang terbaik di antara yang terburuk."

Terpilihnya Ketua Majelis Ulama Indonesia Kyai Ma'ruf Amin, sebagai pendamping Presiden Joko 'Jokowi' Widodo pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2019 mengonfirmasi satu hal: tidak ada tempat bagi kaum minoritas—termasuk LGBT—di kancah perpolitikan Tanah Air.

Sebagai gay yang tinggal di luar negeri sembari mengikuti berbagai macam berita mengenai persekusi terhadap teman-teman gay, lesbian, biseksual, ataupun transgender di Indonesia, saya jujur kecewa terhadap Jokowi.

Iklan

Saat diwawancarai surat kabar Rakyat Merdeka, Kyai Ma’ruf Amin tegas menyatakan komunitas LGBT sudah seharusnya dipidanakan.

Bagi Ma’ruf Amin, anggota komunitas LGBT tidak lebih dari "tukang zina" yang "haram" sekaligus "penyebab HIV/AIDS" (padahal kita tahu penyebaran HIV dipengaruhi berbagai faktor). Dalam wawancara tersebut, beliau mengisyaratkan kalau Pemerintah perlu ‘membina’ kaum LGBT. Hanya Tuhan yang tahu apa arti dari kata 'membina' yang dipakai Ma'ruf. Singkat kata, tidak ada ruang untuk berdiskusi dengan beliau.

Saya tak sanggup membayangkan apabila beliau terpilih menjadi wapres, apabila beliau berkuasa.

Memang, tidak ada teman abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan. Akan tetapi, pilihan Presiden Jokowi kali ini terlalu ekstrem bagi dirinya untuk ‘mengamankan’ kemenangannya dalam pilpres mendatang.

Saya ingat betul ketika Jokowi memilih Jusuf Kalla sebagai cawapres plipres lima tahun lalu. Saat itu, saya dan beberapa teman mempertanyakan pemilihan Pak Kalla sebagai cawapres.

Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa silam menjadi bagian dari kampanye Jokowi-Kalla, termasuk kasus-kasus yang terjadi pasca pembantaian 1965 yang sampai saat ini ibarat debu diselipkan di bawah karpet.

Apabila anda sempat menonton The Act of Killing (Jagal), film dokumenter besutan Joshua Oppenheimer yang dirilis 2012, tentunya sangat jelas digambarkan Kalla dalam pidatonya mendukung salah satu kelompok yang diduga bertanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut.

Iklan

Akan tetapi, saya tetap memutuskan memilih Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla, mengingat terkadang kita harus memilih pilihan terbaik dari pilihan-pilihan buruk.

Setidaknya, saya merasa pilihan saya saat itu masih tepat karena toh kandidat yang saya pilih tidak memiliki masa lalu yang patut dipertanyakan—terutama terkait isu HAM.


Tonton dokumenter VICE soal transgender muslim di Indonesia yang rutin menyiasati ancaman persekusi dan penghakiman moral, sambil mengupayakan ketenangan beribadah:

Kali ini, saya tidak bisa berpikir seperti itu. Dengan berat hati, saya memutuskan tidak memilih. Abstain alias Golput.

Beberapa teman saya mengatakan keputusan saya golput keliru besar. Saya bisa memahami argumen mereka. Bagi sebagian orang, mereka yang memilih tidak menggunakan hak suaranya adalah bagian dari masalah.

Mereka yang berpikir seperti ini lupa, bahwa golput dalam sejarah Indonesia merupakan bentuk dari protes terhadap ketidakadilan yang terjadi pada masa Orde Baru. "Lalu, apabila kamu tidak memilih, apa kamu sudah siap kalau nanti Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang terpilih? Mau jadi apa negara kita nanti?" kata satu kawan saya.

Teman saya ini seolah mengatakan seorang pria gay seperti saya seharusnya menerima saja kenyataan LGBT bukanlah sebuah isu prioritas di Tanah Air. Dia juga mengatakan, kendati pun saya ini bukan prioritas, tetapi saya tetap harus memilih.

Saya mengerti sudut pandang teman saya ini—tetapi dia melupakan satu hal: saya adalah seorang pria gay yang sudah melela.

Iklan

Saya tidak mungkin memilih Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden pada 2019 karena dengan memilih beliau, saya turut bertanggung jawab mendukung seseorang yang jelas-jelas tidak merasa orang-orang seperti saya ini berhak untuk hidup.

Bukan hanya risiko terhadap komunitas LGBTQ saja sebenarnya yang membuat saya terpaksa golput. Sepak terjang Pak Ma’ruf juga patut dipertanyakan apabila sudah bicara tentang HAM secara umum. Mulai dari persekusi terhadap umat Ahmadiyah, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, bagi saya ini sudah menjadi persoalan prinsip. Barangkali tidak semua teman-teman saya yang non-LGBTQ bisa mengerti akan hal ini.

Sebagai contoh: saya lahir di Aceh pada 1987. Hingga saat ini, saya tidak bisa kembali ke tanah kelahiran, karena hukuman bagi seorang gay di Aceh adalah 86 kali cambuk.

Ketika saya menceritakan hal ini kepada teman saya, dia hanya berkata, "Ya, kamu jangan buka dating apps di sana. Jangan tidur sama pria. Jangan berzina."

Sebegitu entengnya.

Kendati menjadi gay di negara ini bukan tindakan yang melanggar hukum, adanya pasal karet seperti UU Antipornografi ternyata jadi celah untuk mempersekusi kaum LGBT. Masih ingat kasus-kasus spa khusus pria di mana mereka menangkapi pengunjung tempat tersebut?

Perlakuan publik (serta polisi) terhadap mereka, mulai dari sengaja memotret dan menyebarkan foto tersebut sampai merisak mereka via media sosial, sungguh tidak manusiawi.

Kaum LGBTQ terbiasa hidup dengan mereka-mereka yang tidak mau melihat kami sebagai masyarakat yang sama levelnya. Kami tumbuh dewasa dengan berbagai perisakan mulai dari teman sekolah, teman main, sampai keluarga sendiri.

Iklan

Butuh bertahun-tahun bagi saya untuk memahami harga diri saya. Saya tidak akan kembali mempertaruhkan hal tersebut dengan memilih seseorang yang jelas-jelas tidak mau orang-orang seperti saya hidup di Indonesia.

Apakah karena sikap ini saya jadi terkesan sombong? Mungkin. Silakan saja menilai demikian.

Namun, bayangkan posisi di mana anda terus-menerus dimanipulasi agar ikut memberikan suara, padahal jelas-jelas anda tidak pernah dianggap sebagai bagian dari pertimbangan kebijakan negara. Saya menolak untuk (lagi-lagi) terjebak ke dalam situasi di mana saya harus memilih padahal orang-orang seperti saya tidak pernah dianggap.

Saya jadi teringat serial TV The Handmaid’s Tale, yang diangkat dari novel berjudul serupa karya penulis Kanada Margaret Atwood. The Handmaid’s Tale berkisah tentang transformasi Amerika Serikat menjadi Republik Gilead yang ultrakonservatif. Rezim baru menempatkan kaum perempuan ke dalam kasta-kata di bawah pria, sembari menghukum mati kaum LGBTQ. Pemimpin Gilead menyebut gay dan lesbian di serial tersebut sebagai, "pengkhianat gender."

Dengan demikian, saya tidak melihat jalan lain untuk menunjukkan protes saya dengan tidak memilih sama sekali pada Pilpres 2019. Saya tidak mau memilih seseorang yang jelas-jelas akan mempersekusi orang-orang seperti saya di masa yang akan datang.

Apabila publik dan elit politik memang tidak bersedia memperlakukan minoritas seksual sebagai bagian dari bangsa dan negara ini, sebagai warga negara sah yang setara di Indonesia, tidak ada gunanya juga memaksa kami untuk datang ke bilik suara.


Amahl S. Azwar adalah seorang penulis gay yang sudah melela dan kini tinggal di Shanghai, Tiongkok, bersama mitranya.