FYI.

This story is over 5 years old.

kehidupan napi

Apa Arti Kebaikan Bagi Napi yang Akan Dihukum Mati Seperti Saya

Manusia adalah makhluk sosial, tidak peduli seberapa keras kamu mendoktrin otaknya.
SD
ilustrasi oleh Sally Deng
Ilustrasi oleh Sally Deng
Ilustrasi oleh Sally Deng

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi bersama Marshall Project . Kamu bisa berlangganan buletinnya di sini .

Kami para terpidana mati merasa kecewa ketika Kapelan (imam/pendeta) Chestnut meninggalkan penjara untuk mencari peluang baru dan mempertahankan pernikahannya.

“Saya menghabiskan lebih banyak waktu dengan kalian daripada bersama istri. Dia menyuruhku memilih antara dia atau pekerjaan. Saya mencintainya, jadi saya harus berhenti bekerja di sini. Maaf ya semuanya,” ujarnya suatu hari.

Iklan

Kepergian Chestnut sangat menyedihkan karena dia selalu memperlakukan kami dengan adil. Dia bahkan menganggap kami layaknya orang suci. Tidak seperti petugas lainnya, dia selalu memberi bimbingan sebelum dan sesudah eksekusi. “Kita mungkin tidak pernah tahu apa rencana Tuhan,” katanya, “tapi percayalah, kematian orang terkasih tidak akan luput darinya.”

Chestnut ikut merasakan duka kami. Dia menangis di dalam ruangan kantornya setiap ada napi yang dieksekusi mati.

Sayangnya, beberapa sipir tidak menyukai sikap Chestnut. “Waktunya sudah selesai, Kapelan,” kata seorang sipir saat kami sedang menjalani sesi berduka. Setelah itu, sang penjaga akan mengembalikanku ke sel.

Chestnut keluar pada 2004, dan digantikan oleh berbagai kapelan yang sikapnya lebih mirip sipir dan menerapkan peraturan yang menguntungkan petugas. Tidak ada satu pun yang mau dibimbing mereka.

Saat itu, kami kira kepergiannya tidak ada kaitannya dengan peraturan tak tertulis antara napi dan petugas yang berlaku di penjara. Kami paham ada kebijakan tertulis yang melarang hubungan dekat antara kami dan penjaga. Namun, bagaimanapun ceritanya, manusia adalah makhluk sosial. Tidak peduli seberapa keras kamu mendoktrin otaknya, mereka tetap manusia biasa. Baik petugas maupun napi sama-sama punya perasaan. Namun, martabat kami disepelekan hanya karena kami pernah melakukan kejahatan dan dijatuhkan hukuman setelahnya.

Beberapa petugas lain berusaha untuk bersikap baik, sabar, menghargai, dan mengasihi kami. Nona Johnson selalu melebihkan waktu kami di luar. Dia akan menunggu sampai sersan menghubunginya.

Iklan

Pak Sutherland suka ngobrol tentang mancing dengan siapa saja. Jika kamu membahas perbedaan mancing di laut dan air tawar, dia akan pura-pura menanyakan apakah kamu butuh nampan lain.

Kebaikan kecil seperti ini membuat waktu kami dan pekerjaan mereka terasa jauh lebih mudah. Mengizinkan nonton TV setelah jam malam, membolehkan pintu sel terbuka lebih lama, atau membawakan film untuk ditonton sangat berarti buat kami.

Sebelum teman saya Earl dieksekusi mati pada 2005, Nona Williams dipindahkan ke bagian dapur karena dia tidak sampai hati memikirkan kalau dia memainkan peran dalam eksekusi beliau.

Beberapa bulan setelah kematian Earl, Pak Beryl juga keluar karena dia tidak tega mengikuti suruhan Letnan Wallace untuk mencatat pelanggaran kecil kami.

Kalau tidak mau dicatat, Wallace suka minta sogokan $10 (Rp153 ribu) dan memberikan “pekerjaan” tambahan. Pekerjaan di sini berarti memindahkan batu di halaman belakang dan menumpuknya di sudut halaman. Beryl menganggap ini konyol.

Dia juga mengabaikan pelanggaran yang menurut atasannya tidak dapat diterima: tempat tidur yang tidak dirapikan, foto keluarga yang ditempel ke dinding, atau terlalu banyak seprai. “Kalian sudah divonis mati,” katanya. “Hukumannya sudah berat banget.”

Namun, peraturan tak tertulis perihal napi hukuman mati tetap diteguhkan: tidak boleh ada kepedulian, setia terhadap kebijakan, sering adanya pergantian petugas supaya tidak akrab dengan napi, dan terutama kepercayaan terhadap status quo. Anggapan napi “lebih rendah” sangat tidak bisa diterima.

Iklan

Beberapa petugas minta dipindahtugaskan karena tidak setuju dengan peraturan yang tidak membiarkan napi untuk menikmati hidup. Letnan Perry pindah ke unit lain karena upayanya untuk mengubah budaya di penjara digagalkan oleh sipir. Keinginannya untuk memperlakukan terpidana hukuman mati setara dengan yang lain cukup masuk akal jika dilihat dari sisi keamanan, karena unit kami jarang membuat masalah tidak seperti unit lainnya di Central Prison.

Akan tetapi, permintaannya ini tidak digubris. Perry merasa tidak berguna dan memiliki otoritas sebagai manajer unit hukuman mati kecuali kalau dia menghukum kami.

Begitu juga dengan Dr. Kuhns. Dia mengarahkan terapi psikologi di Central Prison dari 2010 hingga 2017. Dia mendirikan sejumlah program terapi untuk terpidana mati: kelas menulis kreatif, catur, teater, yoga, Toastmaster, seni dll. Program ini mampu meningkatkan harga diri kami, kematangan emosi, dan perilaku keseluruhan napi di unit kami.

Masalahnya, Kuhns mengabaikan peraturan tak tertulis itu. Kuhns dan 10 sukarelawannya diawasi oleh pihak yang berkuasa karena mereka terlalu akrab dengan lima napi yang divonis hukuman mati (saya salah satunya). Programnya kemudian dihentikan.

Para sukarelawan diusir, dan Dr. Kuhns lalu bekerja di tempat lain.

Para psikiater yang menggantikan posisinya selalu mengingatkan kami bahwa “Setiap tindakan ada konsekuensinya” saat sesi terapi.

Januari ini, Sersan Cross ikut pensiun. Saya ingat pertama kali bertemu dengannya pada 1997 ketika saya masih 19 tahun dan sedang menunggu sidang kasus pembunuhan besar-besaran. Dia bilang kalau saya masih sangat muda dan menarikku. “Tundukkan kepalamu dan kamu akan baik-baik saja,” katanya.

Iklan

Beberapa tahun kemudian, saya mengetahui kalau Cross pernah melakukan “death watch” bersama beberapa teman saya sebelum mereka dieksekusi. Saat hari-hari terakhir, dia menghabiskan waktu bersama mereka selama 72 jam.

Sipir yang ditugaskan untuk death watch merasa lebih terhubung dengan napi daripada hakim, juri, politikus, atau pemilih.

Saya menanyakan ini kepada Cross sebelum dia berhenti.

“Beberapa napi meminta saya untuk menghabiskan waktu bersamanya,” katanya. “Setidaknya mereka mati di hadapan orang yang mereka kenal supaya tidak merasa sendirian.”

Setelah pensiun, Cross pernah satu kali mengunjungi kami bersama istri dan putranya. Dia mengaku kalau lebih mengenal napi daripada keluarganya sendiri. Para napi yang dia habiskan waktunya bersama selama beberapa dekade. Dia dan keluarganya berkeliling sebentar, lalu pulang sambil melambaikan tangan. Itu adalah ucapan selamat tinggal dari orang yang pernah menjadi bagian dari kehidupan kami. Begitu juga sebaliknya, tidak peduli apa peraturannya.

Lyle May, 40, divonis hukuman mati di Central Prison, Raleigh, N.C. atas dua tuduhan pembunuhan tingkat pertama. Dia dihukum karena membunuh seorang ibu dan anaknya yang berusia 4.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.