Jalan Tak Ada Ujung Pengungsi Ahmadiyah di Lombok
Sehabudin berdiri di puing-puing rumahnya yang dulu dihancurkan massa. Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Pelanggaran HAM

Jalan Tak Ada Ujung Pengungsi Ahmadiyah di Lombok

Lebih dari satu dekade lalu, desa pemeluk Ahmadiyah di NTB diserang gerombolan massa intoleran. Sampai sekarang mereka tak kunjung mendapat keadilan, tanpa tempat tinggal layak.

Syahidin sudah terlalu sering diserang karena agama yang dia peluk. Saking seringnya diserang, dia terlatih menyimpan catatan. Isinya adalah tanggal dan kronologi ujaran kebencian terhadap dirinya, kapan saja massa yang murka mengamuk di desanya, serta saat dia menyaksikan rumahnya dibakar tanpa bisa berbuat apa-apa. Syahidin adalah penganut Ahmadiyah, mazhab yang percaya bahwa ulama asal India bernama Mirza Ghulam Ahmad—bukannya Nabi Muhammad SAW—sebagai nabi terakhir dalam Islam. Kepercayaan tersebut membuat penganut Ahmadiyah mengalami persekusi di Tanah Air. Penganut sekte Sunni, mayoritas dalam Islam, pada umumnya menyebut Ahmadiyah "sesat" dan "murtad". Pejabat pemerintah pusat turut berkata "kalau [Ahmadiyah] hilang, maka tidak ada masalah." Ormas Islam di negara ini yang menunjukkan sentimen negatif dan sikap keras anti-Ahmadiyah jauh lebih banyak lagi. Pada 2006, kelompok Muslim Sunni garis keras menghancurkan desa Syahidin di Pancor, Lombok Timur. Rumah Syahidin dijarah, dirusak, dan dibakar dalam rangkaian serangan yang menyasar 30 rumah. Setelah insiden tersebut, Syahidin sekeluarga mengungsi ke Wisma Transito, sebelum kemudian pindah ke Dusun Ketapang, di Lombok Barat, setahun kemudian. Syahidin mengantar saya menuju reruntuhan kampungnya yang masih tersisa di Pancor. Rumah-rumah tinggal berupa puing, tapi sawah mereka walau terbengkalai masih hijau dan subur. "Ini tadinya ruang keluarga, yang ini tadinya kamar tidur kami, kalau ini dulunya dapur," ujar Syahidin, 46 tahun, sembari menerangkan pada kami soal bekas rumahnya. Dinding putih itu dipenuhi bercak hitam bekas pembakaran. Rerumputan dan pepohonan kerdil tumbuh di antara ubin yang terpecah belah. Atap rumah itu raib seluruhnya. Semestinya, rumah itu bisa ditempati lagi keluarga Syahidin, agar mereka tak kunjung bertahan di pengungsian. Namun masalah demi masalah tak berhenti menghantui penganut Ahmadiyah Indonesia.

Iklan

Syahidin bersama keluarganya berpose di reruntuhan bekas rumah mereka. Semua foto oleh Tsering D. Gurung.

Selama 11 tahun belakangan, Syahidin sekeluarga, bersama 120 umat Ahmadiyah lainnya, hidup di Wisma Transito yang diperuntukkan bagi para pengungsi dari Pancor. Letak Wisma ini di Mataram, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lokasi pengungsian tersebut, yang berjarak tempuh 20 menit dengan mobil dari Ketapang, terlalu padat dan kurang memadai untuk ditinggali dalam jangka panjang. Syahidin sekeluarga berbagi satu kamar tidur yang sekaligus berfungsi sebagai dapur dan ruang keluarga. "Saya awalnya mengira hanya akan tinggal di sini selama satu atau dua bulan," ujar Syahidin. "Saya enggak menyangka kami terus berada di sini setelah sebelas tahun." Wisma tersebut mulanya dibangun pada era Orde Baru untuk menampung para transmigran dari Pulau Jawa yang belum memiliki tempat tinggal. Wisma ini tak pernah diniatkan menjadi pengungsian untuk lebih dari 100 orang selama bertahun-tahun. Kondisi di Wisma Transito amat buruk, sampai-sampai Komnas HAM merilis laporan pada 2013 mengkritik pemerintah pusat atas kelambanan mereka dalam menghadapi isu Ahmadiyah.

"Mereka semua hidup bersama-sama, hanya dipisahkan oleh lemari dan tirai," ujar Imadud Rahmad, yang saat itu menjabat sebagai ketua Komnas HAM, dalam jumpa pers saat merilis laporan tersebut. "Akibatnya, mereka tidak memiliki privasi dan kehilangan rasa aman."

Persekusi terhadap penganut Ahmadiyah adalah simbol ketidakcakapan pemerintah Indonesia melindungi umat beragama minoritas. Pemerintah pusat hanya mengakui enam agama resmi dalam undang-undang. Beleid tersebut, masalahnya, tidak pernah mengakui adanya jenis-jenis mazhab Islam dalam masyarakat. Fakta di lapangan menunjukkan 99 persen umat Muslim di Indonesia adalah golongan Sunni. Sehingga 1 persen sisanya, yang termasuk golongan Syiah dan Ahmadiyah, rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan.

Iklan

Persekusi terhadap umat Muslim Ahmadiyah memuncak di bawah kepemimpinan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Selama kurun 2004 hingga 2014, lebih dari 30 masjid berafiliasi dengan komunitas Ahmadiyah ditutup paksa oleh massa Islamis garis keras berdasarkan data yang dihimpun lembaga Human Rights Watch. Pada 2007, ada sekitar 15 laporan atas "serangan" terhadap Muslim Ahmadiyah. Setahun kemudian, terjadi peningkatan laporan serangan menjadi 193 kasus. Pada 2011, persekusi mencapai puncaknya saat gerombolan massa membunuh tiga Muslim Ahmadiyah di Desa Cikeusik, Pandeglang, Banten. Insiden kekerasan brutal itu terekam dan diunggah ke YouTube. Para pelaku dihukum ringan, rata-rata hanya divonis penjara 3-6 bulan.

Serangan penuh kekerasan terhadap umat agama minoritas rupanya tidak menurun sejak Presiden Joko Widodo menjabat pada 2014. Hasil riset Setara Institute, yang berbasis di Jakarta, merekam 270 peristiwa intoleransi beragama pada 2016, meningkat dari 236 kasus pada 2015. Negara, termasuk pemerintah daerah dan kepolisian, ditengarai terlibat dalam lebih dari setengah insiden intoleransi terhadap umat minoritas. Pemerintah daerah di Kuningan, Jawa Barat, termasuk yang mempertahankan sikap diskriminatif terhadap penganut Ahmadiyah. Juli lalu, pemkab menuntut umat Ahmadiyah meninggalkan kepercayaan mereka agar bisa memiliki KTP. Tahun lalu muncul pula imbauan di Pulau Bangka, agar jamaah Ahmadiyah "pindah agama" ke Islam Sunni jika tidak ingin diusir dari desa mereka.

Iklan

"Peraturan diskriminatif terhadap umat beragama minoritas terus meningkat. Itulah mengapa situasi ini akan terus memburuk," ujar Andreas Harsono, peneliti di Human Rights Watch. Hingga kini, 16 pemerintah provinsi telah menerbitkan larangan beribadah, eksplisit maupun tidak, terhadap umat Muslim Ahmadiyah. Pemeluk Ahmadiyah sebenarnya telah bermukim di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan. Akan tetapi pendulum nasib mereka berubah setelah sekte ini diputuskan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia, yang mengeluarkan fatwa soal Ahmadiyah pada 2005. Pemerintahan SBY selanjutnya menerbitkan surat keputusan presiden yang melarang Muslim Ahmadiyah membangun tempat ibadah. Orang-orang yang dianggap melanggar kepres tersebut berisiko menghadapi ancaman lima tahun penjara.

"MUI telah menyebarkan informasi keliru soal kepercayaan Ahmadiyah," kata Udin, Ketua Jamaah Muslim Ahmadiyah di Mataram. "Sebagai contoh, MUI bilang kitab suci Ahmadiyah bukan Al-Quran, melainkan Tuskira. Selain itu, katanya kami menjalankan umrah dan haji ke Pakistan, bukan Makkah. Itu semua bohong." Selentingan semacam ini nyatanya berdampak nyata pada kehidupan umat Muslim Ahmadiyah, salah satunya adalah Munawarah. Ibu dari tujuh orang anak, yang kini berusia 53 tahun. Dia terpaksa merelakan dua anaknya tinggal bersama kakek dan nenek mereka, karena kamar di pengungsian tak cukup untuk semua keluarganya. Dua anaknya, yang sudah remaja, terus merongrong ibunya; mencari jawaban kapan bisa pindah ke rumah baru. Pertanyaan itu membuat hati Munawarah sesak. "Saya enggak tahu cara menjelaskan ke mereka, kenapa kita masih di sini," ujarnya. "Kalau saya punya uang, bisa saja saya keluar besok. Tiap detik saya kepikiran soal keluar dari tempat ini."

Iklan

Munawarah, pada saat insiden penghancuran kampungnya, sedang mengunjungi anggota keluarga di Kalimantan pada 2006. Rumahnya di Dusun Ketapang hancur akibat serangan massa yang juga menimpa rumah Syahidin. Sekembalinya ke kampung, yang tersisa dari rumahnya hanyalah tembok dan daun jendela yang rusak parah. Insiden tersebut kembali mengingatkan dia pada masa kecilnya. Saat itu dia mengalami diskriminasi oleh sang kepala sekolah, karena kepercayaannya sebagai Ahmadiyah. Munawarah ingat, guru-guru sering menamparnya karena dia dianggap bukan Islam. "Masih sangat terasa kepedihan saat itu," ujar Munawarah.

Munawarah dan keluarganya berpose di rumah pengungsian Kota Mataram.

Tidak ada yang pernah bertanggung jawab atas kekerasan yang mengakibatkan 100 keluarga terdampar di berbagai lokasi pengungsian seantero Pulau Lombok. Keluarga-keluarga Ahmadiyah ini mengaku tidak pernah menerima kompensasi dari pemerintah atas rumah dan harta benda yang hilang. Tidak ada kepastian kapan mereka bisa pulang. Udin, ketua jemaah Ahmadiyah NTB, menganggap pemerintah pusat mengacuhkan penderitaan mereka.

"Kami menghadap ke wali kota Mataram dan pihak berwenang lainnya. Kami bilang ingin kasus ini diselesaikan secepat mungkin," ujar Udin. "Tapi kami terus dioper-oper dengan alasan kasus ini tidak berada di bawah wewenang mereka. Konsekuensinya, keluarga-keluarga ini terpaksa hidup di pengungsian selama lebih dari sepuluh tahun."

Walikota Lombok Barat, pejabat yang bertanggung jawab atas seluruh wilayah termasuk Ketapang, menyangkal segala tudingan tersebut saat dihubungi VICE melalui telepon. Fauzan Khalid menyampaikan pihaknya telah menawarkan relokasi kepada setiap keluarga penganut Ahmadiyah, namun mereka menolak tawaran tersebut. "Kami telah menawarkan beberapa keluarga untuk pindah ke lokasi-lokasi yang berbeda," ujar Khalid. "Mereka menolak tawaran kami, katanya mereka tidak mau terpisah-pisah."

Iklan

Jamaah Muslim Ahmadiyah memilih hidup bersama-sama dan selalu memisahkan diri dari umat Muslim lainnya. Menurut Khalid, hal tersebut yang mengakibatkan kekerasan di Ketapang tempo dulu. "Kecenderungan mereka menjadi eksklusif, itulah permasalahannya," ujarnya. "Mereka punya rumah beribadah mereka sendiri, punya dusun sendiri. Mereka hanya bertetangga dengan sesamanya. Inilah yang mengganggu warga lain."

Umat Muslim Ahmadiyah yang kami temui berkata mereka senang menjalin pertemanan dengan para tetangga yang menganut aliran Sunni. Sampai suatu ketika ulama setempat bernama Muhammad Izzi mengompori jamaahnya dalam sebuah acara ceramah, yang mendesak warga tak ragu mengusir umat "murtad" Ahmadiyah dari dusun mereka.

Ceramah semacam itu masih banyak disuarakan, dan terus mempengaruhi persepsi mayoritas Sunni di Lombok, hingga hari ini. Saya duduk bersama sekelompok laki-laki yang sedang sedang bersantai di sebuah gazebo, jaraknya sekitar lima menit dari desa yang dulunya dihuni komunitas Ahmadiyah. Ketika saya menanyakan soal kekerasan terhadap umat Muslim Ahmadiyah, mereka tiba-tiba jengkel dan menolak melanjutkan obrolan. Kalau saya punya pertanyaan lebih lanjut, kata salah satu dari mereka, lebih baik saya menghubungi kepala desa. Saya menuruti saran mereka. Sang kepala desa, Murad Amin, menjawab beberapa pertanyaan VICE lewat telepon. Dia menjanjikan kekerasan lanjutan kalau jemaah Muslim Ahmadiyah nekat kembali ke rumah mereka. "Mereka tidak boleh ke sini," ujar Murad pada saya. "Kalau mereka kembali, kami akan kembali menyerang." Murad bilang, jemaah Muslim Ahmadiyah adalah "orang-orang murtad," yang tidak punya tempat di desanya. "Mereka itu bukan Muslim," ujarnya. "Orang-orang sebaiknya berhenti menyebut mereka Muslim."

Sehabudin di tenda yang dibangun dekat bekas rumahnya.

Saya berjumpa laki-laki lanjut usia penganut Ahmadiyah yang ternyata masih "nekat" bertahan di desa. Namanya Sehabudin. Dia bekerja di sebuah ladang kecil dekat puing bekas rumahnya dulu. Dia bermalam bersama anak laki-lakinya dalam tenda, setiap kali tidak sempat pulang ke penampungan. Sehabudin bilang, beberapa penduduk desa yang Muslim Sunni, sudah menghampirinya dan memohon maaf atas tindakan mereka. Mereka bahkan mengundang Sehabudin berkunjung ke rumah mereka. Namun sekadar permintaan maaf tidak berdampak besar pada kehidupan lamanya yang kadung terenggut.

Saya bertanya pada Sehabudin, tentang perasaannya terhadap para mantan tetangga, laki-laki dan perempuan, yang menghancurkan tempat tinggalnya lebih dari satu dekade lampau. Apa dia masih marah? Sehabudin memandang saya dengan sepasang mata yang letih, lalu tersenyum. "Tidak ada sedikitpun sisa kemarahan dalam diri saya," ujarnya. "Tidak sama sekali."