FYI.

This story is over 5 years old.

Bencana Alam

Pemerintah Bali Terancam Kesulitan Menangani 75.000 Pengungsi Gunung Agung

Ada kekhawatiran krisis bahan pangan terjadi selama puluhan ribu warga bertahan di barak pengungsian.
Via Shutterstock

Gunung Agung diyakini akan meletus. Semua indikator ilmiah menunjukkan bukti ke arah sana. Masalahnya, kapan terjadinya letusan tak bisa diprediksi oleh ilmuwan. Itu baru satu ancaman. Risiko lain yang tak banyak diberitakan muncul dari arus pengungsian yang berlangsung sepekan terakhir, karena dikhawatirkan memicu efek bencana lain: bencana kemanusiaan. Sejauh ini lebih dari 75.000 penduduk di lereng Gunung Agung sudah meninggalkan rumah masing-masing menuju barak pengungsian. Angka lain menyebut 120 ribu orang. Warga menyatakan, selama menanti di pengungsian masalah terbesar adalah krisis pasokan bahan pangan.

Iklan

Katakanlah Gunung Agung meletus dalam waktu dekat. Pemerintah setempat wajib memikirkan solusi jangka pendek bagi puluhan ribu penduduk yang hidup di sekitar puncak tertinggi Pulau Bali tersebut. "Karena mereka tidak bisa langsung menggarap lahan pertanian di lereng gunung hingga dua tahun ke depan. Periode dua tahun setelah letusan biasanya dianggap masih berbahaya bagi manusia," kata Sean Powderly, pekerja kemanusiaan asal Australia yang sudah membangun pusat bantuan di Bali sejak awal pekan ini.

Powderly mengendus bahaya lain yang mengancam dari masa penantian letusan Gunung Agung. Yakni arus warga yang nekat kembali ke rumahnya dari pengungsian. Mereka bertaruh nyawa mendatangi zona bahaya karena ingin memindahkan ternak dan memantau lahan pertanian masing-masing. "Saya ngobrol sama beberapa warga yang sekarang mengungsi. Masih banyak tetangga mereka mengabaikan imbauan pemerintah, karena mata pencaharian mereka di sekitar gunung," ujarnya. "Rata-rata yang berat ditinggalkan warga adalah babi dan sapi. Dua hewan ternak itu ibaratnya rekening tabungan warga untuk kebutuhan darurat."

Mengingat belum banyak ternak yang sudah dievakuasi, dorongan warga untuk kembali memasuki zona berbahaya sekitar Gunung Agung semakin meningkat. "Mau bagaimana lagi, ibaratnya tabungan hidup mereka sebagian tertinggal di sekitar gunung, masa para petani akan diam saja," imbuh Powderly.

Berdasarkan perkembangan terbaru, sejak 22 September pemerintah Bali dibantu Kementerian Pertanian berusaha mengevakuasi ternak milik warga. Data hingga 28 September, baru sekitar 2 ribuan sapi, ratusan babi dan kambing, dari lima kabupaten yang bisa dibawa turun ke penampungan darurat. Targetnya untuk sapi, yang masih tertinggal, mencapai 18 ribu ekor.

Iklan

Persoalan bahan pangan di pengungsian juga mulai dirasakan para pengungsi. "Kami sempat khawatir karena beras di barak tinggal sedikit, tapi sekarang kondisi sudah membaik karena bantuan donatur mulai datang," kata I Ketut Subandi, pengurus logistik Desa Tana Ampo, saat diwawancarai SBS. Belum jelas, seberapa besar anggaran pemerintah provinsi untuk tetap bisa merawat para pengungsi secara layak selama kondisi tak menentu ini. Kementerian Dalam Negeri sudah mengizinkan pemprov memakai Belanja Tidak Terduga (BTT) untuk kepentingan warga yang terdampak peningkatan aktivitas Gunung Agung. Awal pekan ini, Gubernur Made Mangku Pastika menyatakan anggaran penanganan bencana sebesar Rp4,5 miliar belum bisa dicairkan.

Tentu saja, dari semua kabar buruk ada sisi lain yang tetap bisa menentramkan hati kita. Pada saat penuh ketidakpastian ini, warga Bali bersatu padu saling membantu para pengungsi. Insiatif-inisiatif sosial, misalnya penyediaan shelter darurat untuk ternak serta bantuan bahan pangan dan obat-obatan bagi pengungsi, muncul secara swadaya dari sesama warga Bali. "Setiap desa di seantero Bali langsung turun tangan memberi bantuan," kata Tai Graham, peselancar profesional yang kini menggalang bantuan bersama 250 warga Bali lainnya. "Kesetiakawanan sosial ini adalah bukti bahwa penduduk Bali sanga bersatu.

Gunung Agung terakhir kali meletus pada 1963. Kala itu, dilaporkan korban tewas mencapai lebih dari 1.000 orang akibat aliran lahar, awan panas, serta lahar dingin yang membawa batuan besar menghantam desa-desa di sisi utara maupun selatan dari gunung tersebut. Teknologi yang dimiliki pemerintah saat ini setidaknya bisa memprediksi peningkatan aktivitas vulkanik, sehingga semoga jumlah korban dapat diminimalisir. Tentu saja yang belum jelas sampai sekarang adalah rencana pemulihan hidup lebih dari 75.000 orang yang nantinya akan terdampak hidupnya akibat erupsi. Sebab sekarang, para pegiat di lapangan menuturkan dibutuhkan sedikitnya 150 ribu nasi bungkus per hari untuk menopang seluruh pengungsi. Jumlahnya bisa meningkat hingga satu juta nasi bungkus dalam dua pekan ke depan, jika zona berbahaya ditingkatkan cakupan areanya.

Iklan

Faktor lain yang sekarang mengancam perekonomian Bali ke depan adalah ketidakpastian menggelayuti sektor turisme. Sejauh ini, walau arus pengungsi sudah berdatangan dari daerah sekitar gunung, pariwisata memang belum terdampak. Masih ada 50 ribuan turis yang datang tiap harinya mengunjungi Pulau Dewata, hingga berita ini dilansir.

Namun, ketika Gunung Agung benar-benar meletus, bandar udara pasti akan tertutup. Begitu pula bandara di Lombok. Artinya, akan ada kelesuan ekonomi yang membayangi Bali, yang mengandalkan pemasukan daerah dari pariwisata. Belum lagi arus logistik yang akan terganggu karena masuknya barang hanya mengandalkan pelabuhan. "Yang dikhawatirkan rekan-rekan saya penduduk Bali nantinya adalah keamanan distribusi bahan bakar dan barang-barang dari pulau lain," kata Graham.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menyatakan asap putih mulai mengepul dari kawah Gunung Agung. Citra satelit juga menunjukkan rekahan terbentuk di kawah, menandakan magma mulai terkumpul di permukaan kawah. Artinya letusan kini dapat terjadi sewaktu-waktu.

Laporan tentang Gunung Agung ini masih berkembang dan data-datanya bakal dimutakhirkan.