Kecanduan Game

Peneliti Mengaku Temukan Cara Ampuh Sembuhkan Kecanduan Main Game

Pengidap kecanduan tidak sampai dilarang main game. Cara mereka memahami game saja yang hendak diubah. Kabari gih teman yang khawatir lihat pasangannya mabar melulu...
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID
Peneliti Mengaku Temukan Cara Ampuh Sembuhkan Kecanduan Main Game
Ilustrasi kecanduan main game oleh Marco_Piunti 

Peneliti Jerman baru saja merilis penelitian menjanjikan dalam Jurnal JAMA Psychiatry yang katanya berguna menyembuhkan kecanduan game. Mereka mengklaim pengobatannya sama sekali tidak menggunakan obat-obatan kimia. Bahkan gejala pasien terapi berkurang hingga 70 persen. Menurut peneliti, memperbaiki hubungan pasien dengan game lebih efektif daripada memaksa mereka berhenti total.

Para pakar tak setuju apabila kecanduan video game ditetapkan sebagai gangguan kejiwaan. Mereka bahkan ragu gangguan itu beneran ada. Sejak September 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan "kecanduan game" ke dalam daftar penyakit. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ( DSM-5) Amerika menyadari ada yang salah, tapi mereka berharap ada riset yang lebih mendalam tentang ini. Mengakui kecanduan game sebagai gangguan psikologis dapat mempermudah gamer yang sudah ketergantungan untuk memperoleh pertolongan, tetapi proses penyembuhannya akan lebih buruk daripada penyakitnya.

Iklan

Sebenarnya sudah banyak peneliti yang mengulik tentang kecanduan game dan mengusulkan metode pengobatannya. Sayangnya, ukuran sampelnya sangat kecil atau melaksanakan penelitian tanpa kelompok kontrol.

“Beberapa penelitian sama sekali tidak melibatkan lembaga pengawas yang mengurus data-data yang sudah terkumpul, dan analisis statistiknya dilakukan secara independen,” tulis peneliti Kai W. Müller dalam emailnya. “Kami berusaha menghindari masalah-masalah ini dengan menggunakan pendekatan metodologis yang baik dalam studi kami.”

Müller dan rekan mengamati empat klinik rawat jalan di Jerman dan Austria selama lima tahun, dari 2012 sampai 2017. Penelitiannya diikuti 143 laki-laki yang secara acak dibagi ke dalam dua kelompok—72 orang menjalani terapi dan sisanya berperan sebagai kelompok kontrol. Para peneliti lalu menggunakan terapi perilaku kognitif (CBT) yang sudah dimodifikasi. Pasien harus mengikuti 15 sesi kelompok mingguan dan sekitar delapan sesi pribadi setiap dua minggu sekali.

“Perlu dicatat bahwa kamu tak serta-merta mengidap kecanduan jika sering main game,” kata Müller. “Kamu juga harus tahu cuma sedikit orang yang mengembangkan perilaku ketergantungan terhadap game dan aktivitas internet lainnya. Selain itu, kita perlu menanggapi pengidap kecanduan secara serius, mengakui penderitaan mereka dan memberikan bantuan.”

Para peneliti tak berniat menjadikan game sebagai pantangan, melainkan mengatur ulang hubungan pasien dengan komputer, internet, dan video game.

Iklan

“Tujuan utama kami bukan untuk menjauhkan pasien dari gawai, melainkan mengajarkan mereka [untuk mengendalikan] perilakunya,”tutur Müller, meskipun para peserta memulai terapi dengan “mengurangi” main game komputer dan internet selama enam minggu.

Peneliti mengendalikan studinya dengan mengecualikan subjek yang mengonsumsi obat-obatan psikiatri, dan tidak menggunakan obat tersebut selama proses penyembuhan. Berdasarkan pengalaman Müller, pengobatan farmakologi tak bekerja dengan baik pada pasien yang tidak ketergantungan obat-obatan. Sebagai gantinya, mereka menggunakan CBT—terapi bicara yang mengharuskan pasien menganalisis dan menyesuaikan pikiran mereka sendiri.

"Biasanya dimulai dengan mengumpulkan secara menyeluruh karakteristik pasien yang mendukung pengembangan dan mempertahankan kecanduan game," ujar Müller. Para peneliti kemudian mengajarkan mekanismenya dan dampak negatif ketergantungan main game. Pasien menulis diari yang menguraikan pemicu mereka mulai main game, seringkali berfokus pada perasaan mereka sebelum sesi maraton. Setelah itu, mereka akan latihan mengalihkan energi tersebut.

"Pada langkah ketiga, pasien wajib mengubah karakteristik relevan sebagai bentuk pencegahan,” lanjut Müller. "Pendekatan ini dapat meningkatkan ketahanan pasien terhadap segala hal yang membuatnya tertekan, mengasah keterampilan sosial mereka, memahami respons emosionalnya dan secara bersamaan mengembangkan penjelasan dan reaksi alternatif."

Pendek kata, kesimpulan para peneliti menjanjikan, tapi masih jauh dari kata sempurna. Misalnya, penelitian ini baru fokus pada responden laki-laki. Müller mengaku ini mencerminkan pasien yang paling banyak berkunjung ke klinik. "Sementara survei terbaru menunjukkan tak ada perbedaan jenis kelamin pada prevalensi [kecanduan internet], pasien perempuan [yang ketergantungan internet] jarang ditampilkan dalam sistem bantuan. Oleh karena itu, diperlukan uji klinis lebih lanjut untuk mengevaluasi efektivitas [pengobatan] pada perempuan."

Müller mengetahui alasannya. Dia mengatakan perempuan juga mengobati ketergantungannya pada game dan hal lain, tetapi jarang mencari pengobatan di klinik rehabilitasi.

"Pasien perempuan yang ketergantungan internet cenderung tidak mencari layanan kesehatan yang berkaitan dengan kecanduan, tetapi malah menggunakan bantuan terapi lain karena mengira masalah utamanya adalah gangguan komorbid lain," ujarnya. "Saat ini, kami sedang menginvestigasi fenomena tersebut dalam proyek penelitian lain."

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic