Cerita 'The Handmaid Tale' Bisa Saja Terjadi di Indonesia Lho
Semua cuplikan gambar dari Hulu.

FYI.

This story is over 5 years old.

TV

Cerita 'The Handmaid Tale' Bisa Saja Terjadi di Indonesia Lho

Serial televisi tengah populer di AS ini ceritanya sangat relevan dengan kondisi Indonesia yang dibayang-bayangi radikalisme. Fiksi distopia berkualitas memang akan membuat kita takut.

Tema distopia dalam serial televisi The Handmaid's Tale amat efektif meneror penonton—dari negara manapun—karena plot di dalamnya terasa familiar. Ceritanya tentang masa depan, tak ada lagi negara bernama Amerika Serikat. Sebagai gantinya, berdiri pemerintahan fundamentalis Kristen bernama Gilead. Perempuan-perempuan subur dipaksa menjadi "handmaid" alias pabrik bayi, untuk perempuan-perempuan mapan yang tak bisa hamil. Ini adalah dunia warga sipil yang melawan digantung, semua kawanmu sangat mungkin seorang mata-mata, dan dunia dikuasai tirani pemerintahan otoriter religius. Dunia The Handmaid's Tale digambarkan tak jauh dari masa kini. Pada beberapa adegan kilas balik, penonton diperlihatkan dunia yang dihuni tokoh utama bernama Offred sebelumnya: layanan Uber, aplikasi Tinder, serangan ISIS, sebelum akhirnya AS berubah menjadi negara totalitarian. Itulah topik paling menyeramkan tentang The Handmaid's Tale—yang season pertamanya akan berakhir pekan ini. Serial televisi itu menjadi pengingat betapa cepatnya segala hal dapat berubah. Di Indonesia, tema The Handmaid's Tale bahwa situasi dunia sangat mungkin berubah drastis keesokan hari, rasanya amat relevan. Bukankah setiap hari kita dibuat bingung dengan berita-berita aneh sehingga tak tahu lagi bagaimana harus memaknai peristiwa? Ada kesan umum bahwa status quo mengakar kuat di Indonesia. Para pemilih percaya bahwa siapapun yang memenangkan pemilihan, dampaknya tak akan terlalu kentara bagi rakyat. Besok, jalanan tetap macet, kota ini tetap semrawut, dan negara ini akan tetap jahat pada kelas pekerja. Tante saya menawarkan pandangan serupa tak lama setelah pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. "Ujung-ujungnya, jalanan tetep macet," ujarnya. "Dan kita mah bakal tetep harus kerja keras supaya bisa makan." Tadi itu adalah argumen yang lumayan meyakinkan. Indonesia telah mengalami banyak perubahan selama 24 tahun saya hidup di sini. Kita mengalami pergantian rezim, kerusuhan, serangan teroris, tsunami, gempa bumi, dan kekerasan sektarian. Kita telah membangun salah satu demokrasi terbaik di kawasan Asia. Kita menjadi lebih mapan, meski hal ini tak kentara. Tapi ya, keseharian rasanya gitu-gitu aja. Politik berubah. Rakyat move on.
Namun The Handmaid's Tale adalah pengingat bahwa terkadang hidup enggak beranjak ke mana-mana. Sejumlah situs media mencoba membandingkan foto-foto keseharian di Afghanistan pada 1960-an dengan era Taliban. Namun cerita-cerita ini luput menyebutkan bahwa Afghanistan dulunya dipimpin oleh Mohammad Najibullah, presiden komunis yang memiliki kaitan dengan Soviet, saat Kabul dihancurkan pasukan mujahideen pada 1992. Empat tahun kemudian Taliban berkuasa. Mereka merusak televisi dan piring satelit, melarang perempuan bekerja, dan melaksanakan eksekusi di hadapan publik. Semua perubahan ini berlangsung kurang dari satu dekade. Contoh lain adalah Iran di bawah kepemimpinan Shah Mohammad Reza Pahlavi. Saat itu perempuan memiliki kebebasan. Sang shah meningkatkan batas usia minimal perempuan untuk menikah menjadi 18 tahun, memberi hak pilih untuk perempuan, dan meresmikan sejumlah hukum baru yang menjunjung kesetaraan gender. Sang shah kemudian dikudeta pada 1979, dan Ayatollah Khomeini hanya membutuhkan beberapa bulan untuk mencabut hak-hak perempuan Iran. Area pantai-pantai dipisahkan berdasarkan gender perempuan dan laki-laki, perempuan yang telah menikah diusir dari universitas-universitas, dan batas usia minimal untuk perempuan menikah diturunkan drastis menjadi 9 tahun. Harus diakui, terkadang sebuah negara berubah ke arah yang lebih cerah. Myanmar dipimpin oleh junta militer otoriter hingga akhirnya dibubarkan pada 2011. Pada 2015, Myanmar menggelar pemilihan nasional pertama mereka sejak 1990s, yang dimenangkan oleh Liga Nasional Demokrasi (NLD) diketuai oleh Aung San Suu Kyi, hanya lima tahun setelah menjadi tahanan rumah selama 15 tahun. The Handmaid's Tale berperan layaknya fiksi distopia berkualitas: mengingatkan kita bahwa kita hidup di dunia yang rentan dan terus menerus berubah. Serial televisi ini menawarkan penonton kesempatan membayangkan apakah Indonesia suatu hari nanti bisa berubah drastis. Setidaknya itulah yang ditangkap Teraya Paramehta, dosen Program Studi Inggris di Universitas Indonesia. "Serial televisi ini membantu kita membayangkan kemungkinan dunia yang tak terbayangkan supaya kita bisa memikirkan realita yang kita jalani saat ini," ujar Teraya. "Dalam konteks fiksi distopia feminis, kita bisa melihat bagaimana jadinya dunia jika masyarakat kita diatur dengan batasan-batasan biologis dan sosial yang begitu intens." Margaret Atwood, penulis novel The Handmaid's Tale yang terbit 1985 dan menjadi inspirasi serial televisi ini, mengaku tidak menulis novel itu karena percaya dunia akan menjadi mirip dengan masa depan yang dia tulis. "Saya tidak menulis buku-buku itu karena berharap hal-hal di dalamnya akan terjadi," ujarnya saat diwawancarai Broadly. "Kamu menulis buku-buku ini karena kamu kira ini mungkin terjadi, cuma ya semoga saja tidak kejadian."

Iklan

Sumber gambar: George Kraychyk / Hulu

Kesuksesan Atwood sebagai penulis terletak pada kemampuannya merealisasikan banyak rasa takut kita dalam setting masa depan yang menakutkan. Itulah mengapa The Handmaid's Tale terasa begitu relevan bagi banyak orang. Di Amerika Serikat, fans serial televisi ini menganggapnya sebagai peringatan tentang upaya pemerintah untuk menguasai hak-hak reproduksi atau kritik terhadap misogini era pemerintahan Donald Trump. Sedangkan di Tanah Air, kita bisa menafsirkannya sebagai peringatan atas bahaya radikalisme agama. Gilead di The Handmaid's Tale adalah negara yang dipimpin kelompok Kristen radikal —tentu saja skenario yang sama hampir mustahil terjadi di negara kita. Namun radikalisme adalah radikalisme. Rasa takut, baik terhadap hegemoni fundamentalis Kristiani ataupun kelompok Islam radikal, sama menakutkannya. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 kerap disorot media internasional sebagai ujian bangsa kita atas toleransi beragama. Kelompok Islam garis keras menyeruak selama masa kampanye yang memecah belah, memotori serangan bahwa mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama melakukan penistaan agama. Ahok, demikian julukannya, kalah dalam pertarungan di pilkada maupun pengadilan. Bukan berarti lawannya, gubernur terpilih Anies Baswedan adalah seorang Islamis garis keras. Bukan. Namun para pakar menyebutkan bahwa kampanye kubu pendukung Anies terkait dengan kelompok Islamis garis keras Indonesia.

"Di samping menjadi ujian bagi masyarakat, pilgub kemarin juga sebuah ujian untuk melihat apakah sentimen SARA bisa menjadi cara efektif untuk mendapatkan pengaruh politik," ujar Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah, pakar gender dan kajian Islam, kepada VICE Indonesia. "Di satu sisi, ya sukses. Anies memenangkan pilgub dan Ahok berada dalam tahanan. Politisi lain mungkin saja meniru strategi kampanye yang sama untuk memenangkan pemilihan-pemilihan di luar Jakarta." Jadi, serealistis apa kekhawatiran Indonesia bisa berpindah ke fundamentalisme religius dalam hidup saya? Opini yang baru-baru ini dimuat The Diplomat berargumen bahwa Indonesia bisa menjadi seperti Pakistan selama sepuluh tahun. Pakistan? Kita menjadi Indonistan? Serius? "Ini adalah era yang terpecah belah," kata Iklilah pada VICE Indonesia. "Beberapa orang mengimbau jilbabisasi, domestifikasi perempuan, dan berpikir bahwa Syariah Islam baik bagi moral rakyat. Sebagian orang lainnya memahami bahwa fundamentalisme mengancam demokrasi negara kita, dan masa depan kita. Dan kita bisa melihat bagaimana ini termanifestasi: mereka yang memandang Syariah Islam sebagai solusi permasalahan moral, akan mendukung hukum-hukum diskriminatif." Bukan berarti negeri ini sedang menuju ke arah sana, ujarnya. Dasar negara kita, Pancasila, masih bisa berdiri tegak bersamaan dengan enam agama resmi. Di sisi lain Presiden Joko Widodo, mungkin karena menyadari meningkatnya pengaruh Islamis garis keras, selalu menggunakan Pancasila untuk membela negara melawan radikalisme. "Tidak akan mudah untuk mengadopsi Syariah Islam," ujar Iklilah. "Saya cukup optimis bahwa kita bisa memerangi kelompok-kelompok fundamentalis yang mengancam Pancasila."
Jadi apakah The Handmaid's Tale sebuah jam weker bagi warga Indonesia yang berpikir tak akan ada perubahan di Indonesia? Ya diragukan sih. Serial televisi ini berbahasa Inggris dan tersedia di Hulu, layanan streaming yang bahkan tak tersedia di Indonesia. Fans Indonesia menonton serial televisi ini lewat kanal-kanal ilegal dalam bahasa yang tak dimengerti sebagian rakyat Indonesia atau menggunakan subtitle buatan sesama fans. Dunia hiburan tidak biasanya memicu gerakan sosial, setidaknya tidak di Indonesia.
"Lebih mudah melihat jejak-jejak karya sastra atau seni tertentu dalam sebuah gerakan sosial, dibandingkan menentukan apakah karya sastra atau seni tersbeut menjadi pemicu utama sebuah gerakan sosial," kata Teraya. Selain itu, tak ada jaminan penonton kita akan merasa ketakutan saat menyaksikan The Handmaid's Tale. Sangat mungkin seseorang yang percaya pada peran gender yang kaku, pembacaan harafiah Kitab Injil, atau manfaat kediktatoran, mungkin akan menemukan sesuatu yang mereka sukai pada serial ini. "Fiksi distopia tak hanya mengandalkan konteks ruang dan waktu, tapi juga perspektif," ujar Teraya. "Distopia bagi seseorang bisa jadi utopia bagi orang lain." Sejujurnya, tak sulit bagi saya membayangkan ada orang Indonesia di luar sana mendukung sistem seperti Gilead, alih-alih Offred. Saya tak bisa membayangkan dan tentu berjuang mengupayakan agar negara ini tak menjadi Indonistan.