Pengalamanku Keliling Kota Bareng Turis yang Menikmati Jakarta (Banyak Lho)
Penulis artikel berdiri di belakang sambil pasang wajah aneh pas difoto. Yup.

FYI.

This story is over 5 years old.

Travel

Pengalamanku Keliling Kota Bareng Turis yang Menikmati Jakarta (Banyak Lho)

Jakarta sebenarnya menyedihkan, tak heran bila mobil plat B membanjiri luar kota akhir pekan. Karenanya penting menemui siapapun yang secara sadar memilih piknik ke Ibu Kota. Siapa sih mereka?

Penyanyi pop legendaris Frank Sinatra pernah mengucapkan kata-kata yang akan dikenang selamanya: "Jika aku sukses di New York, maka aku bisa hidup di kota manapun." Orang Indonesia punya pemeo tak jauh berbeda. Banyak orang bilang, siapapun yang sanggup bertahan hidup di Jakarta, dia bisa hidup di manapun. Persoalannya dua pemeo itu punya makna yang sangat berbeda. Sinatra membahas kemungkinan sukses, sementara di sini lebih mencakup kemampuan ((bertahan hidup)), mengesankan orang Jakarta tinggal di belantara diatur hukum rimba. Tapi bukankah memang demikian esensi perjuangan setiap penghuni megapolis Ibu Kota ini? Jakarta yang dihuni nyaris 10 juta penduduk, suka tidak suka, sebetulnya menyedihkan banget. Bayangkan 10 juta manusia hidup, mayoritas di perkampungan padat, terjebak kemacetan parah, dan akhirnya mencari suaka di mal-mal yang bertebaran. Tipikal lah.

Iklan

Kesan seram Jakarta bertambah parah setengah tahun terakhir gara-gara kancah perpolitikan ibukota. Praktis, sejak Pilkada DKI teman-temanku dari luar Indonesia bertanya-tanya. Beberapa kali aku dapat pesan singkat yang intinya menanyakan keadaan di Jakarta. "It's so messed up there. How are you doing?" Kebanyakan dari mereka bersimpati. Wajar sih, dilihat dari luar, Jakarta sering masuk berita, tapi yang buruk-buruknya doang. Soal bagaimana potensi intoleransi naik pesat, soal demonstrasi berujung kerusuhan, soal rasisme, fanatisme agama, soal aksi terorisme organisasi militant yang mengatasnamakan agama, sampai soal banjir dan bencana.

Akibat semua hal yang bisa memicu depresi tadi, bisa dipahami jika kemudian ada banyak orang menuding penduduk Jakarta "kurang piknik". Klaim bahwa orang Jakarta butuh piknik ini sering pula menjadi alasan mobil-mobil plat B atau orang berlogat 'lu-gue' membanjiri Bandung dan Bogor di akhir pekan.

Kalau memang kita sebegitunya butuh liburan, biasakah piknik di Jakarta menjadi solusi melepas penat? Bagi sebagian orang jawabannya bisa. Nyatanya ada kok orang yang memilih pelesir Jakarta pada hari kerja. Mending kalau sasarannya Dufan, Ancol, atau Ragunan. Engga lho. Banyak juga yang memang datang ke pusat, sudut kota yang paling boring dari semua tempat di Jakarta. Piknik di kota ini kupikir wacana menarik, kita tidak harus menghabiskan waktu lama di jalan serta tak perlu memperoleh tuduhan bikin macet kota orang lain.

Iklan

Aku pun memutuskan piknik di Jakarta…saat hari kerja, mengikuti contoh para turis itu. Harusnya sih bisa benar-benar refreshing. Iya ga sih? Orang lain sibuk kerja aku malah piknik. Aku akan memilih kawasan wisata yang paling mudah diakses dan murah meriah, supaya lebih refreshing lagi (karena pelesir yang butuh banyak duit juga ga membahagiakan guys).

Singkat cerita, berikut hasilnya:

Naik Bus Wisata Jakarta

Dari puluhan orang yang naik, mayoritas turis gadungan. Semua foto oleh penulis.

Sejak Februari 2014, Jakarta punya alat transportasi ramah turis yang diberi nama Jakarta City Tour Bus. Awalnya bus tingkat gratis ini melayani rute pendek di Jakarta Pusat saja, lama-lama daerah jangkauan bis ini melebar ke selatan Jakarta yakni Bundaran Senayan yang notabene adalah salah satu wilayah paling macet di Ibu Kota. Jika dan hanya jika tidak penuh, karena gratis banyak orang berebut naik bus ini. Dalam rangka piknik kali ini, aku memulai perjalanan dari Halte di kawasan Jalan Thamrin, Sarinah, Jakarta Pusat.

Memasuki bulan Ramadan, awalnya aku pikir tidak akan terlalu banyak orang berwisata di siang bolong. Ternyata perkiraanku salah besar. Bus tingkat ini penuh banget. Tapi setelah beberapa saat aku mulai sadar kebanyakan orang sebenarnya turis gadungan. Mereka keliling Jakarta naik bus ke tempat tujuan supaya tak perlu bayar ongkos doang. Contohnya perempuan berhijab merah muda yang duduk tiga bangku di belakangku.

"Iya ma, ini aku baru aja naik bus, lumayan gratisan. Nanti kalau sudah sampai aku kabarin ya," ujarnya dalam percakapan telepon yang kucuri dengar.

Iklan

Aku dan perempuan muda itu sama saja. Pada awal kemunculannya, dulu aku sering naik bus ini sebagai alat transportasi gratisan karena tujuanku kebetulan sejalan dengan rute-rute yang dilewatinya.

Lalu apa yang kualami selanjutnya tentu tak bisa disebut wisata. Kemacetan Jakarta membuat perjalanan Sarinah-Bunderan Senayan yang dalam kondisi lancar bisa ditempuh sekitar 10-15 menit, molor jadi 1 jam lebih. Engga kaget sih, tapi apanya yang bikin refreshing dari wisata naik bus tingkat kalau yang kita lihat seringnya mobil bergerak inchi demi inchi. Bulan puasa tidak membuat populasi kendaraan saat jam makan siang berkurang. Huft.

Perjalanan menuju Bundaran Senayan aku tersiksa, sekuat tenaga berusaha menahan kantuk dan pura-pura tertarik pada pemandangan sekitar. Aku tidak sendirian. Tidak ada satupun penumpang yang lolos dari rasa kantuk. Aku yakin dari gerak-geriknya mereka kebanyakan bukan wisatawan beneran, sama seperti diriku. Kelihatan banget kok. Mereka sendirian terus malah lebih asyik mendengkur selama perjalanan, karena harus diakui bus ini ideal banget buat tidur. Gratis, kursinya nyaman, dan berpendingin udara. Atau, mungkinkah yang dibutuhkan warga Jakarta adalah tidur, alih-alih piknik?

Salah satu yang sedang betul-betul menikmati Jakarta adalah pria bernama Daniel Hutabarat. Dia naik bus siang itu brsama dua anaknya. Mereka asyik menyaksikan lokasi pembangunan MRT dan gedung-gedung sepanjang Thamrin-Sudirman.

Iklan

"Enggak masalah macet, toh kita jalan-jalan saja enggak ada yang harus dikejar, memang tujuannya cuma begini saja," kata Daniel yang mengaku tinggal di Jakarta dan baru pertama kali menaiki bus wisata. "Banyak sih bangunan yang bisa dilihat, kayak jalan, gedung-gedung banyak yang berubah, kadang pembangunan jalan begini hiburan juga sih, kadang lihat alat berat anak saya senang."

Syukurlah deh masih ada orang seperti Daniel, baginya, Jakarta masih mungkin menjadi sumber hiburan. Mungkin sebenarnya ada banyak orang seperti Daniel, semacam wisatawan yang bisa memperoleh hikmah kehidupan dari kemacetan, buruknya tata ruang, dan ruwetnya jaringan kabel tiang listrik, atau dari sononya mereka memang suka mengangkat romantisme Jakarta dan manusia urbannya terinspirasi esai-esai sastrawan Seno Gumira Ajidarma.

Kesimpulannya:
Naik bus ini bisa dibilang dua setengah jam paling sia-sia yang pernah kuhabiskan. Piknik naik bus wisata? Engga usah deh. Masih banyak cara lain buat ngadem kecuali kalian butuh tumpangan gratis ke Senayan atau Sarinah.

Naik Puncak Monas

Anak muda yang tak bersemangat saat berkunjung ke Monas. Tenang foto ini dibuat atas persetujuan mereka.

Monas selalu populer sebagai lokasi favorit untuk… demonstrasi. Beberapa bulan ini intensitas aksi di sekitar monumen bersejarah ini meningkat berkat aksi kelompok Islamis yang mendapat sorotan global. Kalian tentu masih ingat "Aksi Bela Islam" yang digelar 2 Desember 2016 lalu (sehingga dapat cap 212), massa sebagian besar berkumpul di tempat ini dan melaksanakan salat Jumat berjamaah bersama dengan Presiden Joko Widodo. Aku sih curiga, bisa jadi iklan Visit Indonesia berubah jadi gambar Monas seba putih di Aksi 212.

Iklan

Monumen setinggi 132 meter yang jadi lambang kemerdekaan Indonesia ini dibangun pada 1961 dan mulai dibuka untuk umum pada 1975. Di dalamnya disimpan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang asli. Ketika aku masuk pertama kalinya, sendirian. Kok rasanya tidak ada penerangan yang cukup yang bikin aku betah lama-lama sendirian. Akhirnya aku putuskan langsung bergerak ke platform ujung atas Monas.

Di ujung tertinggi Monas, aku bisa memastikan bahwa tidak banyak pengunjung local, kebanyakan dari luar negeri atau luar Jakarta yang penasaran melihat Jakarta seperti apa. Tapi tahukah, apa yang paling menyebalkan dari berwisata? Ya turis-turisnya itu sendiri. Di puncak Monas saat aku naik hari itu ada sekelompok remaja tanggung berkelompok buat foto-foto Instagram. Sebagian lagi naik dingklik main rentang-rentangan tangan ala Jack dan Rose di film Titanic. Tahu gak sih, sebagai orang yang pendek, ulah kalian itu menghalangiku menikmati Jakarta secara khidmat dan enzoy dari ketinggian?

Tapi yang paling menyebalkan adalah saat aku duduk di sisi puncak menara. Mendadak seorang wisatawan asal Kendari berkata padaku. "Mbak, mbak lihat deh kita foto bareng di hape-ku. Mbak mau fotonya enggak nanti aku kirimkan ke nomor Mbak?"

Sialan! Ternyata tukang nyolong foto itu nyata keberadaannya. Dia sengaja duduk di sampingku dan terus menerus mengambil swafoto tanpa mintai izin ke aku sama sekali. Aku segera minta agar fotonya dihapus karena dia tidak pernah minta izin. Sialnya, ternyata memang masih banyak orang yang menganggap consent itu kurang penting, lalu ngasal aja foto-foto wajah orang. Seminggu lagi bisa-bisa wajahku jadi profile picture facebook-nya.

Iklan

Aku sekarang memahami perasaan dua rekan kerjaku di VICE yang selama ini ngeluh diajak foto tiba-tiba saat datang ke ruang publik. "Now you know what bules feel like". Yeah I do…

Kesimpulan:
Aku benci remaja yang jalan ke mana-mana barengan dan hobi motret suka-suka pas lagi piknik.

Kalijodo

Lokasi paling inklusif dan asyik di Kalijodo adalah skatepark, asal tak kebanyakan manusia.

Di Indonesia yang masyarakatnya membenci pelacuran, Kalijodo sempat sukses bertahan lebih dari tiga dekade menyediakan jasa seks bawah tanah. Setahun setelah digusur di era pemerintahan Gubernur Basuki Tjahja Purnama, bekas kawasan pelacuran itu berubah drastis menjadi taman bermain dan skatepark yang bisa dinikmati siapapun. Pemprov DKI memerintahkan Sinar Mas merevitalisasi kawasan Kalijodo melalui skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), membangun taman multifungsi yang menghabiskan dana senilai Rp60 miliar.

Alhasil, kini lahan seluas 3,5 hektar ini berubah…. jadi mangkok cendol raksasa. Bagiku Kalijodo lebih mirip cendol yang penuh dan dempet-dempetan daripada skatepark dan lahan bermain untuk anak-anak. Aku engga bisa main skateboard, tapi beberapa kali temanku menawarkan diri untuk coba menjajal lahan Kalijodo di track pemula, aku sampai di sana, kok kayaknya enggak mungkin main ya? Lahan skatepark justu penuh manusia. Kemudian aku datang ke bowl skatepark yang katanya merupakan satu-satunya di Asia Tenggara untuk melihat ada apa di sana.

Pertama, aku sih angkat topi melihat inklusivitas masyarakat di sana. Tidak pernah sebelumnya aku lihat balita, anak-anak, orangtua muda yang menggendong bayi, remaja tanggung, ibu-ibu berdaster, dan lansia bersamping dan berkebaya ada di satu tempat di samping bowl skatepark menonton anak-anak muda main skateboard. Tapi duh, beberapa di antara mereka suka buang sampah ke bowl! Sisanya duduk-duduk cantik sambal menjuntaikan kaki ke dalam bowl skate.

Akhirnya aku putuskan mencari udara segar. Sesak soalnya. Aku duduk di rerumputan. Tapi tak berapa lama segera tercium bau pesing dan lembab-lembab gimana gitu. Ketika mencari tempat lainnya untuk piknik, seorang ibu serta-merta membiarkan anaknya kencing di samping kami. Bebas lah bebas. Ternyata toilet di sekitar Kalijodo tidak ada yang bisa digunakan. (Semoga sekarang sudah normal lagi, jadi tidak perlu ada adegan kencing sembarangan di taman yang seharusnya indah itu).

Kesimpulan:
Perubahan Kalijodo semacam angin segar bagi turis luar kota maupun penduduk asli Jakarta. Syaratnya orang tak pipis dan buang sampah sembarangan.