Motif Militan ISIS Pertama Kalinya Menyerang Iran
Tentara Iran bersiap menyerang teroris di Parlemen, Teheran. Omid Vahabzadeh/TIMA via Reuters

FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Motif Militan ISIS Pertama Kalinya Menyerang Iran

Iran selalu dianggap musuh militan khilafah, tapi baru sekarang diserang. Teror Teheran yang menewaskan 12 orang, menjadi insiden terorisme terparah Iran sejak Revolusi Islam.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Serangan teroris terjadi di dua lokasi berbeda Ibu Kota Teheran, Iran pada Rabu 7 Juni, pagi waktu setempat. Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) mengaku bertanggung jawab atas insiden yang sejauh ini menewaskan 12 orang dan melukai 42 lainnya itu. Serangan ini menandai pertama kalinya ISIS mendalangi aksi teror di negara mayoritas Syiah tersebut sejak deklarasi khilafah pada 2014.

Iklan

Serangan teror Teheran sangat mengejutkan. Iran tak tak pernah mengalami insiden terorisme di Ibu Kota sejak Revolusi Islam berlangsung pada 1979. Penduduk kota-kota besar Iran terhitung menjalani kehidupan yang aman dan stabil apabila dibandingkan negara-negara tetangganya. Target serangan militan ISIS juga tak main-main: Gedung Parlemen Iran di pusat kota, serta Mausoleum Pendiri Republik Islam Iran Ayatullah Ruhollah Khomeini. Stasiun Televisi Pemerintah IRIB melaporkan, sebenarnya ada target di lokasi ketiga yang telah disasar para pelaku, namun berhasil dilumpuhkan oleh pasukan khusus Iran.

Pengamat Timur Tengah khawatir insiden di Teheran akan memicu kekacauan di kawasan, mengingat Iran dan Arab Saudi tak pernah akur. Kekhawatiran itu seakan terbukti, setelah Garda Revolusi Iran segera menyalahkan Kerajaan Arab Saudi yang dianggap terlalu sering mendanai militan-militan Sunni di kawasan. Pelaku serangan di Teheran diduga kuat adalah rekrutan dari warga minoritas Sunni Negeri Para Mullah.

"Teror ini terjadi tak lama setelah pertemuan antara pemimpin negara-negara Teluk dengan Presiden Amerika Serikat. Para pemimpin yang hadir di sana sejak lama dikenal sebagai pendukung teroris," demikian kutipan pernyataan resmi Garda Nasional lewat kantor berita Fars.

Dalam pertemuan bilateral antara Donald Trump dan negara-negara mayoritas Islam, dengan tuan rumah Kerajaan Saudi, Iran disudutkan berkali-kali di forum tersebut sebagai pemicu instabilitas Timur Tengah.

Iklan

Secara alamiah, Iran sebenarnya sejak awal adalah musuh ISIS, kelompok teror bermazhab Sunni. Negeri Para Mullah itu aktif mendanai kelompok pejuang Kurdi untuk melawan balik ekspansi khilafah, bahkan mengirim milisi Hizbullah dari Libanon untuk membantu Presiden Suriah Bashar al-Assad menguasai kembali negerinya yang nyaris diambil alih pemberontak Sunni. Di mata ISIS, pemimpin Iran maupun penganut mazhab Syiah di kawasan ini adalah kafir yang harus dilenyapkan.

"Tentu saja Iran masuk kategori musuh besar bagi Daulah Islamiyah. Bukan hanya dalam aspek teologi, tapi juga karena Iran sebenarnya berperan melemahkan kekuasaan ISIS beberapa tahun terakhir di Irak dan Suriah," kata Bill Roggio, editor jurnal militer The Long War.

Serangan teror Teheran bermula saat empat pria bersenapan kalashnikov menyerbu Gedung Parlemen. Mereka menembaki petugas keamanan serta orang yang sedang berada di luar maupun lobi gedung. Salah satu penyerang kemudian meledakkan diri menggunakan bom jaket. Serangan tiga militan lainnya di Parlemen baru bisa dilumpuhkan empat jam kemudian, setelah sekian kompi tentara Iran dikerahkan menuju lokasi. Dalam waktu bersamaan, terjadi ledakan bom bunuh diri di Mausoleum Khomeini, seperti dilaporkan kantor berta Fars.

Berselang beberapa jam setelah kabar terorisme di Teheran beredar melalui media sosial, ISIS segera mengklaim bertanggung jawab. Daulah Islamiyah mengklaim aksi itu mereka lakukan sebagai bagian dari kampanye aksi teror global sepanjang Ramadan. Jika klaim ini terbukti, artinya ISIS sudah beraksi di Inggris, Jakarta (dalam peledakan bom bunuh diri Kampung Melayu), konflik bersenjata Marawi, ledakan bom di Afghanistan, serta kini serangan Teheran.

Iklan

Walaupun insiden ini menandai upaya perdana ISIS meneror jantung negeri Syiah di Timur Tengah, sebetulnya para militan khilafah beberapa kali hendak menyerang Iran. Juni 2016, intelijen Iran berhasil membekuk beberapa orang yang diduga hendak meledakkan bom di Teheran dan kota-kota besar lainnya.

Roggio memperkirakan ISIS menyimpan dendam pada Ayatullah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran saat ini, karena memberi dukungan besar kepada pemerintah Irak. Di Suriah, Iran relatif bermain aman, dengan memakai tenaga Hizbullah untuk membantu Presiden Assad bersama dengan militer Rusia. Lain cerita dengan Irak, negara yang kini dikuasai pemerintahan Syiah. Iran secara terang-terangan melatih pasukan Irak, memberi bantuan dana, dan banyak lagi bantuan lain untuk mengusir ISIS yang bercokol di Kota Mosul. "Iran adalah aktor yang bertanggung jawab melahiran milisi bersenjata, terlatih, punya dana memadai, bahkan lebih kompeten dibanding tentara Irak yang disebut Mobilisasi Kekuatan Sipil (PMF)," kata Roggio.

Pengamat Timur Tengah dari Fakultas Hubungan Internasional Universitas Johns Hopkins, Sanam Vakil, memberi keterangan senada. ISIS mulai gerah. Kebijakan Iran mendukung milisi-milisi lokal di Irak maupun Suriah, sukses menghambat bahkan memukul mundur para militan dari kota-kota yang dulunya mereka kuasai. Beberapa bulan terakhir, di jaringan intelijen beredar propaganda ISIS dalam Bahasa Persia, mengajak minoritas Sunni di Iran angkat senjata melawan dominasi pemerintahan Syiah.

Iklan

Serangan teror sangat jarang terjadi di Teheran, bahkan di kota-kota lain Iran yang berbatasan dengan negara tetangga. Angka terorisme Iran jauh lebih rendah dibanding negara-negara Eropa. Vakil menilai keberhasilan Presiden Iran Hassan Rouhani menjaga stabilitas negaranya, termasuk dari ancaman terorisme, merupakan faktor yang membuatnya sukses terpilih kembali dalam pemilu untuk masa jabatan kedua bulan lalu.

Masalahnya, menurut Vakil, langkah ISIS menyerang Ibu Kota Iran akan memperuncing konflik Timur Tengah. "Iran akan punya alasan untuk lebih aktif dalam konflik di negara tetangga, karena mereka merasa perlu melindungi keamanan negaranya," ujarnya.

Serangan teror ini juga akan memperunyam situasi politik Timur Tengah. Padahal baru awal pekan ini negara-negara Teluk memutus hubungan diplomatik dengan Qatar, negara terkaya sedunia yang dituduh Saudi aktif mendanai kelompok teror Sunni. Di sisi lain, Qatar juga dimusuhi negara-negara tetangganya karena menjadi satu-satunya negara mayoritas Sunni yang menjalin hubungan diplomatik dengan Iran.

Tidak heran bila Garda Revolusi—pasukan khusus yang dibentuk sejak para Islamis menggulingkan raja Iran pada 1979—mencurigai momentum teror ISIS yang hanya berselang sepekan lebih sedikit setelah Donald Trump berkunjung ke Riyadh, Ibu Kota Saudi. Di mata Iran, ISIS berkembang karena aliran dana dari negara-negara teluk, bukan cuma Qatar, namun juga Saudi. "Fakta bahwa ISIS segera mengaku bertanggung jawab menandakan Saudi patut dicurigai," kata Jubir Garda Revolusi seperti dikutip kantor berita Reuters.

Sehari sebelum teroris menyerang Teheran, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir, menyatakan Iran adalah pendukung teroris sebenarnya di Timur Tengah. Kerajaan Petro Dollar itu menuding rival Syiah-nya tersebut mendalangi berbagai insiden yang mengacaukan kawasan. Iran, dari sudut pandang Saudi, membuat Libanon dan Yaman selalu dalam kondisi tak aman beberapa tahun terakhir. Itu belum termasuk pengerahan milisi di Irak maupun Suriah.

Trita Parsi, penulis buku Losing an Enemy: Obama, Iran and the Triumph of Diplomacy, menyatakan skenario serangan teroris Sunni di wilayah Iran sudah sejak lama dipikirkan oleh pejabat Negeri Para Mullah. Dia merasa sudah menjadi protap para pejabat keamanan Teheran untuk menyalahkan Saudi lebih dulu ketika insiden benar-benar terjadi. Tujuannya, supaya Saudi dalam posisi yang lemah dalam hubungan internasional, mengingat secara jumlah penganut mazhab Syiah kalah banyak dibanding Sunni, bahkan di kawasan Timur Tengah.

Namun, akan lain ceritanya jika kecaman terhadap Saudi ini dilanjutkan Iran dengan kebijakan lanjutan yang melibatkan pengerahan militer di negara-negara Timur Tengah lainnya. "Jika militer Iran sampai bergerak setelah teror ISIS ini, maka kita sedang menyaksikan skenario yang sangat-sangat buruk mengancam kawasan."