FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Serangan Bom di Surabaya Tunjukkan Asumsi Aparat Soal JAD Keliru

Semula Jamaah Ansharut Daulah diyakini sekadar wadah perkumpulan organik tanpa struktur dan pengorganisasian baku. Rupanya jaringannya lebih rumit dari perkiraan tersebut.
Polisi berjaga di sekitar TKP pemboman gereja pentakosta Surabaya. Foto oleh M Risyal Hidayat/Antara/via Reuters.

Rangkaian serangan bom di Surabaya dan Sidoarjo lebih meninggalkan banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Polisi sudah menemukan beberapa fakta, namun kembali terbentur dengan rumitnya cara kerja jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terafiliasi dengan ISIS di Suriah. JAD dipercaya oleh kepolisian dan pengamat sebagai dalang dari serangkaian serangan teror belakangan ini. Namun bagaimana cara mereka beroperasi masih terus didalami.

Iklan

Dita Oepriarto, istrinya Puji Kuswati dan empat orang anaknya, melakukan serangan bom bunuh diri pada hari Minggu pagi di tiga gereja berbeda di Surabaya: Gereja Kristen Diponegoro, Gereja Katolik Santa Maria, dan Gereja Pantekosta. Sejauh ini 18 orang tewas termasuk semua pelaku. Beberapa jam kemudian sebuah bom meledak terlalu dini di rusunawa Wonocolo, Sidoarjo menewaskan pasangan suami istri Anton Ferdiantono dan Puspitasari serta seorang anaknya. Tiga orang anak lainnya luka-luka.

Esoknya sebuah serangan bom bunuh diri dengan dua sepeda motor yang dilakukan lima orang anggota keluarga terjadi di Polrestabes Surabaya, melukai 10 orang dan menewaskan keempat pelaku.

“Kita belum bisa mengetahui cara kerja jaringan teroris ini,” kata pengamat terorisme Solahudin dari Universitas Indonesia kepada VICE. “Saat ini masih terlalu banyak teka-teki. TKP masih becek. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.”

Keluarga tersebut sempat dipercaya pernah pergi dan menetap di Suriah di bawah kontrol ISIS. Namun, polisi juga belum bisa mengonfirmasi apakah keluarga tersebut memang pernah menetap di Suriah atau dideportasi ketika mencoba masuk ke Suriah. Polisi juga belum bisa mengonfirmasi apakah rangkaian serangan tersebut terafiliasi langsung dengan ISIS di Suriah atau hanya sekedar terinspirasi.

Para pengamat tampaknya yakin bahwa ISIS di Suriah tidak berperan sentral dalam serangan tersebut, kendati sayap media propagandan ISIS, Amaq, mengklaim bahwa serangan tersebut dilakukan oleh mereka, meski belum ada bukti atas klaim tersebut. Menurut Solahudin, serangan tersebut adalah reaksi terhadap porak-porandanya jejaring JAD, menyusul persidangan Aman Abdurrahman dan vonis terhadap petinggi JAD lainnya Zainal Anshori yang dihukum tujuh tahunpenjara Februari lalu karena terbukti menyelundupkan senjata dari Filipina ke Sulawesi dan berencana mendirikan kamp paramiliter.

Iklan

“JAD tidak bisa lagi bergerak secara organisasi karena pemimpinnya ditahan,” kata Solahudin. “Sehingga mereka bergerak secara individu, dalam artian keluarga. Ini sesuai dengan konsep jihad fardiyah dalam Islam. Ketika jihad dalam organisasi tidak memungkinkan, maka secara individu jihad tetap bisa dilakukan.”


Tonton dokumenter VICE yang meraih penghargaan tentang kehidupan rakyat sipil di bawah kekuasaan ISIS:


Solahudin juga percaya bahwa ada sebuah organisasi yang rapi di balik nama JAD. Meski para anggotanya tidak pernah mendapat pelatihan militer, pengorganisiran serangan dimotori oleh pemimpin spiritual yang memberikan persiapan mental dan juga sayap militer yang mendanai serangan.

Pengamat terorisme Ridlwan Habib yakin bahwa ada sebuah rantai komando dalam struktur yang menggerakkan serangan Surabaya dan Sidoarjo. Menurutnya sulit untuk mengorganisir serangan secara bersamaan jika tidak bergabung dalam satu struktur organisasi.

“Pasca kerusuhan Mako Brimob, kanal telegram militan sudah ramai dengan ide-ide serangan,” kata Ridlwan. “Ada komunikasi di antara mereka soal serangan bom. Ini terkoordinasi dan terencana.”

Menurut Ridlwan, menyiapkan sebuah bom tidaklah mudah, meski manual untuk membuatnya bisa didapatkan di internet dan kanal chatting militan . Menurut Ridlwan, proses perakitan bom agar berhasil diledakkan membutuhkan training secara langsung untuk menghindari kesalahan yang justru memicu kecurigaan aparat.

Iklan

Polisi mengamankan lokasi sekitar Polrestabes Surabaya setelah terjadi serangan bom bunuh diri pengendara sepeda motor. Foto oleh Beawiharta/Reuters.

“Daya ledak serangan Surabaya cukup tinggi, dan semuanya berhasil diledakkan. Tidak ada kesalahan di situ apalagi gagal meledak. Jadi mustahil jika pelaku cuma bermodalkan belajar dari manual,” kata Ridlwan.

Sidney Jones, pengamat terorisme dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mengamini pendapat serupa. Menurutnya rangkaian serangan tersebut lebih terinspirasi kepada ISIS ketimbang diorganisir langsung dari Suriah. Pasalnya, ketika posisi ISIS semakin terdesak dan beberapa petinggi ISIS asal Indonesia sudah tidak jelas rimbanya, sulit bagi mereka untuk mengorganisir serangan di luar teritori mereka.

“Serangan tersebut mungkin terinspirasi oleh ISIS,” kata Sidney. “Tapi itu bukan berarti diarahkan langsung oleh ISIS. Serangan tersebut lebih dilakukan oleh pendukungnya.”

Fakta di lapangan, beberapa petinggi ISIS asal Indonesia yang tergabung dalam Katibah Nusantara seperti Bahrun Naim, Bahrumsyah, dan Salim Mubarok alias Abu Jandal, yang diketahui kerap mengorkestrasi beberapa serangan di Indonesia, telah dilaporkan tewas tahun lalu.

Lantas mengapa polisi belum dapat mengungkap struktur JAD secara lebih detil dan membongkar jaringan tersebut?

Untuk mendefinisikan apa itu JAD sendiri mungkin tergolong sulit. Nama organisasi ini muncul pada Maret 2015 ketika wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN) kala itu As'ad Said Ali mengatakan bahwa JAD adalah organisasi baru para pendukung ISIS. Aman Abdurrahman, yang kini tengah menjalani masa persidangan karena diduga terlibat serangan bom Thamrin dan Kampung Melayu, kerap disebut-sebut sebagai amir (pemimpin spiritual) JAD oleh polisi dan pakar.

Iklan

Namun dari latar belakang Aman dan kesaksian para militan, agaknya sulit melihat Aman sebagai otak di balik serangan bom beberapa tahun belakangan. Aman tidak memiliki pengetahuan apalagi pengalaman bertempur di medan perang. Aman adalah seorang pendakwah ulung yang memiliki ribuan pengikut karena isi ceramahnya yang keras. Dari situ Aman selalu menjadi rujukan para militan untuk ‘meminta restu’ atas sebuah rencana serangan. Para pelaku bom Thamrin dan Kampung Melayu diketahui terlebih dulu berdiskusi dengan Aman di lapas Nusakambangan, tempat Aman dipenjara karena terbukti membiayai pelatihan paramiliter di Jalin Jantho, Aceh Besar pada 2010.

Namun apakah Aman secara langsung memerintahkan untuk melakukan serangan teror masih perlu dibuktikan. Saiful Muhtohir alias Abu Gar, terdakwa yang mendanai bom Thamrin dan juga murid Aman, mengatakan dalam persidangan bahwa Aman tidak pernah memerintahkan untuk melakukan serangan karena “dia tidak pandai berjihad.”

“Ustaz Aman tidak pernah menyuruh melakukan jihad karena dia tidak pandai berjihad,” kata Saiful dalam kesaksiannya. “Untuk semua kegiatan saya tidak pernah berhubungan dengan Ustaz Aman.”

Tidak seperti organisasi militan seperti Jemaah Islamiyah (JI) yang memiliki struktur dari majelis syura (markaziah) hingga yang paling bawah andfiah (prajurit), struktur organisasi JAD belum juga terungkap. JAD yang diketahui saat ini terdiri dari sel-sel kecil yang tersebar di Indonesia dan berkomunikasi via jejaring sosial dan bergerak secara sporadis tanpa ada rantai komando.

Iklan

Mantan petinggi sayap militer JI Nasir Abbas mengatakan bahwa organisasi yang tidak terstruktur dan bergerak sporadis justru lebih sulit dibasmi, ketimbang sebuah organisasi yang terstruktur seperti JI. Karena, kata Nasir, para pendukung ISIS tersebut mungkin tidak pernah bertatap muka dengan pendukung ISIS lainnya. Dengan tidak adanya struktur organisasi yang mengikat justru akan menguntungkan sel-sel teror karena bisa bergerak bebas.

“Untuk mendirikan sebuah organisasi dengan struktur tradisional seperti pemimpin dan bawahannya akan sangat sulit sekarang, mungkin mustahil,” kata Nasir. “Polisi hanya butuh waktu kurang dari dua tahun untuk membongkar struktur JI kala itu. Sekarang mungkin polisi akan kesulitan untuk mengungkap siapa saja yang terlibat [serangan bom].”

Unit antiteror polisi menggerebek rumah di kawasan Medokan Ayu, Surabaya, diduga milik jaringan yang terlibat pemboman gereja dan mapoltabes. Foto oleh Sigit Pamungkas/Reuters.

Nasir juga mengatakan bahwa serangan yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo bukanlah sebuah serangan ideologis, meski sasarannya adalah gereja maupun pos polisi. Nasir mengatakan bahwa gereja sudah lama menjadi target dan simbol kafir, namun selalu terjadi pergeseran target yang mengikuti dinamika di lapangan.

“Pada saat serangan bom gereja tahun 2000 di era JI, itu adalah bentuk pembalasan terhadap konflik Ambon. Bom tersebut dimaksudkan untuk memicu konflik SARA,” kata Nasir. “Namun saat ini serangan gereja tersebut lebih kepada target yang dirasa mudah saja karena kurangnya pengamanan.”