FYI.

This story is over 5 years old.

Menembus Batas

Berapa Sih Ongkos Hidup di Jakarta Bagi Difabel?

VICE ngobrol bareng Pak Tarto, tukang pijat difabel tuna netra di Panti Pijat Santa. Dengan menanggung lima anak, kisah Pak Tarto bisa menggambarkan perjuangan para difabel menghadapi tantangan sehari-hari di ibu kota.
Ilustrasi seorang tuna netra menyaksikan film dalam sesi pemutaran khusus di Jakarta. Foto oleh Iqro Rinaldi/Reuters.

Nama lengkap Tarto tak panjang-panjang amat. “Tinggal tambahin Su saja,” katanya. Jadilah Sutarto. Itulah nama panjangnya. Ia lahir pada 27 April 1959. Tapi di akta kelahiran, ia empat tahun lebih muda. “Di akta saya lahir tahun 1963. Baru diurus sama bapak tahun segitu,” katanya. Tarto adalah satu dari 12 pekerja yang sehari-hari meladeni pelanggan yang hendak memanjakan badan di panti pijat Santa. Panti itu terletak persis di seberang Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Iklan

Sudah belasan tahun ia bekerja di sana sampai-sampai Tarto lupa kapan pertama kali masuk sebagai pekerja. Yang jelas, ia hijrah dari kampungya di Solo, Jawa Tengah, ke Jakarta pada 1982. “Waktu itu saya masih muda, umur 22 pindah ke sini,” katanya.

Pekerjaan pertama Tarto di ibukota adalah tukang pijat, profesi yang ia lakoni dengan setia sampai hari ini. Pekerjaan itu pula yang membuat ia bertemu dengan istrinya. Bagaimana mereka bertemu? Penjelasannya irit saja. “Ya begitu saja, karena sering bertemu, sering main.” Bersama istrinya itu, Tarto, yang tuna netra sejak lahir, punya lima orang anak. Semuanya dibesarkan di Solo. Keluarganya tak ikut Tarto ke ibu kota semata-mata karena anak-anaknya tak kerasan tinggal di Jakarta. Lagipula, biaya hidup di Solo lebih murah. Harga segala kebutuhan pokok di sana lebih rendah daripada di Jakarta.

Lantas bagaimana Tarto menyiasati kebutuhan hidup ia sendiri, istri, juga seluruh anak-anaknya? Salah satu caranya adalah ia tetap bekerja di Jakarta, sementara seluruh keluarganya di Solo. Kalau mau dibelejeti pengeluaran bulanan Tarto di Jakarta, kira-kira begini:

Makan pagi, siang dan malam : Rp 40 ribu per hari (Rp 1,2 juta per bulan)
Tempat tinggal : ditanggung panti jadi bebas biaya
Jalan-jalan: Sudah jarang karena sudah tidak muda lagi. Bebas biaya.
Perjalanan pulang pergi Solo-Jakarta: Rp 150 ribu per dua bulan (Rp 75 ribu per bulan)
Ongkos Menuju dan Pulang dari Stasiun: Rp 50 ribu per dua bulan (Rp 25 ribu per bulan)
Pulsa handphone: Rp 100 ribu per bulan
Kebutuhan bulanan: Rp 200 ribu
Kiriman buat keluarga : Rp 1-2 juta per bulan
Perkiraan pengeluaran per bulan: Rp 2,7-3,7 juta per bulan.

Iklan

Tarto sungkan menjawab terang-terangan perihal berapa ia digaji oleh Panti Pijat Santa. Ia lebih memilih bercerita tentang pelanggan panti yang makin lama makin sedikit. “Kalau sedang ramai bisa pijat tiga orang, kalau sepi ya satu,” katanya. Selain Tarto, ada 11 terapis lain yang bekerja di sana. Sebagian juga tinggal di panti, sebagian lagi tinggal di tempat lain. Terapis boleh berharap pada tips dari pelanggan untuk penghasilan tambahan. Tapi jelas tak akan besar-besar amat. Harga pijat satu sesi yang berlangsung selama sejam Rp 55-65 ribu, tipsnya tak akan lebih besar dari itu.

Setidaknya Tarto boleh lega hati. Sebab hampir semua anak-anaknya sekarang sudah bekerja mandiri. Ada yang bekerja di pabrik di Tangerang, ada yang ikut suami. Tinggal yang paling kecil saja masih bersekolah di bangku SMP. Untuk urusan mengunjungi keluarga, Tarto sudah punya jadwal tetap. Tiap dua bulan sekali ia akan pulang ke Solo menggunakan kereta. “Naik yang ekonomi saja yang paling murah, Rp 74 ribu.”

Siasat Tarto bisa menjadi gambaran, berapa biaya yang perlu dikeluarkan difabel untuk bertahan hidup di Jakarta. Kota yang sejak lama dianggap tak ramah bagi orang-orang difabel sepertinya.


Seri artikel dan dokumenter #MenembusBatas adalah kolaborasi VICE X Rexona untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap hak-hak difabel di negara ini