Meski Keok Terus, Arsenal Menjaga Hubunganku dan Ayah Tetap Terjalin

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Meski Keok Terus, Arsenal Menjaga Hubunganku dan Ayah Tetap Terjalin

Tak peduli Arsenal lebih sering kalah daripada menang, tim besutan Arsene Wenger itu menjadi jembatan penghubung kami berdua yang sebetulnya jarang akur.
Abdul Manan Rasudi
Diterjemahkan oleh Abdul Manan Rasudi

Pada 2004, Arsenal jadi kampiun Liga Premier tanpa kalah sekalipun dalam 38 pertandingan. Sampai ini, hanya Arsenal adalah satu-satunya kesebelasan yang bisa melakukannya. Gara-gara capaian langka ini, klub asal Holloway, London ini beroleh julukan The Invincibles dan tercatat dalam keabadian sebagai salah satu kesebelasan terhebat sepanjang sejarah. Tahun itu, Arsenal jadi juara untuk Premier League untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu enam tahun. Trofi tahun itu adalah tropi keenam yang direbut The Gunner sejak Arsène Wenger diangkat jadi manajer pada 1996. Rival terberat Arsenal kala itu, Machester United, tak bisa berkutik meski mereka sebenarnya jauh lebih kaya. Setahun berselang, Arsenal memecundangi Setan Merah di laga puncak FA Cup. yang turun membela Arsenal hari itu di antaranya adalah Kolo Touré, Robin van Persie, Patrick Vieira dan Cesc Fàbregas, yang berturut digaet Wenger cuma dengan banderol £150,000 (sekitar Rp2,7 miliar), £2.75 juta (sekitar Rp50 miliar), £3.5 juta (Rp60 miliar) dan gratis. Yang mengejutkan, deretan pemain mentereng ini dilego Wenger setahun kemudian dengan harga mahal. Untung yang dikeruk Arsenal tidak sedikit: £80 juta (sekitar Rp1,4 triliun). Wenger memang dikarunai kepiawaian dalam hal tawar menawar. Dalam satu bidang ini, Wenger adalah dewa. Pada 1999, setelah menjual pemain 20 tahun bernama Nicolas Anelka dan mengantongi untung £22,5 juta (sekitar Rp412 miliar), pria kelahiran Strassbourg, Perancis tersebut membeli Robert Pirès dan Thierry Henry, dua anggota utama The Invincibles team dan sepasang pemain terbaik dalam sejarah Premier League. Mau tahu angka yang dibayarkan Wenger untuk mendapatkan keduanya? Cuma £16,5 juta (Rp302 miliar) untuk dua orang. Cerita yang berkembang mengatakan bahwa Wenger memulai revolusi persepakbolaan Inggris. Salah satu yang paling diingat publik sepakbola adalah Wenger mengganti menu makanan pemain di Arsenal. Jika awalnya skuad The Gunners mengonsumsi lager dan Mars bars, setelah Wenger jadi bos mereka, mereka harus rela menyantap ikan dan nasi. Wenger juga mencari inspirasi dari angka-angka statistik, seperti berapa seorang pemain menguasai bola untuk menentukan apakah seorang pemain harus dilego atau tidak. Perhitungannya sederhana: kelamaan memegang bola sama dengan tiket ditendang dari The Gunners. Dengan metode seperti ini, Wenger berhasil mengubah tim paling menjemukan di muka Bumi menjadi tim paling mengasikkan untuk ditonton. Sayangnya, ketika Arsenal jadi kampiun FA Cup 2015, sepakbola sedang mengalami perubahan yang luar biasa hebat. Rival sekota Arsenal, Chelsea dibeli oleh Oligark Rusia Roman Abramovich. Setahun itu saja, The Blues menggelontorkan £153 juta (sekitar Rp2,8 triliun) untuk belanja pemain, tiga kali lebih besar dari yang biasa dibelanjakan Wenger. Selama dua musim kompetisi setelah, Chelsea menghabiskan £130 juta (sekitar Rp2,38 triliun) lagi untuk memoles skuad mereka. Namun demikian, perubahan yang terjadi melulu tentang budget dan uang. Semua orang sudah hafal metode melatih Wenger dan mulai menirunya untuk melawan sang penggagas metode tersebut. Apa yang awalnya revolusioner kini jadi metode paling standar di Premier League. Di tahun ’60 dan 70an, ayahku dibesarkan di kawasan Toxteth oleh kakeknya, kedua orang tua ayahku meninggal ketika usianya masih belia. Ayahku punya cinta mendalam terhadap sepakbola, menjadi pendukung Everton dan nonton laga-laga kandang di Goodison Park kalau kantong kakeknya sedang mengizinkan. Ayahku juga bermain sepakbola untuk melupakan pedihnya hidup sebagai seorang yatim piatu dan bayangan masa depan yang kurang aduhai: bekerja serabutan, tetap miskin sampai akhirnya mati. Ayah terus bermain dan bermimpi jadi pemain profesional.
<

Iklan

Oleh: James Nolan

Begitu impiannya tak kunjung jadi kenyataan, Ayah pindah ke Irlandia. Usianya baru 18 dan dia harus bekerja sebagai tukang cat rumah. Kecintaaannya akan sepakbola tetap menyala. Ayah bermain di sebuah liga hari minggu hingga dipaksa pensiun lantaran sebuah cedera. Gagal jadi pemain profesional, ayah mencoba peruntungan jadi manajer. Seaakan ingin bikin hidupnya lebih morat-marit, Ayah ketemu ibu pada usia 28, jadi seorang ayah dan menyambut pekerjaan bergaji rendah dan kemungkinan nelangsa sampai tua dengan tangan terbuka.

Sejak awal, aku terus merindukan pengakuan dari ayah. Kendati tergolong ayah yang baik, dia punya banyak ketertarikan. Aku, sepertinya, bukanlah salah satunya. Belum lagi, ayah harus banting tulang dengan sangat keras enam hari dalam seminggu. Alhasil, ayah seperti merasa tak cukup memperhatikan anak-anaknya. Belum lagi, aku sedang memasuki masa-masa bandel dan mulai meminta segala hal, terutama ayah dan makanan. Dari kecil, aku memang doyan makan.

Segera setelah aku paham bahwa ayah cinta mati pada sepakbola, aku langsung mencintainya juga. Kapanpun aku bisa, aku tendang bola ke arahnya. Aku terus melakukannya sampai dia menendangnya kembali ke arahku. Rumah kami tak memiliki kebun atau pekarangan. Parahnya lagi, karena keluargaku mendiami sebuah flat satu kamar—tak ada tempat parkir di sekitar tempat tinggal, kami harus puas bermain sepakbola di ruang tamu. Jangan tanya berapa perabotan ibu yang hancur diterjang bola. Opsi lainnya adalah bermain di gang sempit dekat flat. Letaknya tepat di sebelah outlet Tesco. Saking sempitnya, kami harus rela menepi saban 20 detik tiap kali ada mobil lewat.

Iklan

Setiap kali tim asuhannya berlaga, aku memaksa ayah untuk mengajakku juga. Dari sisi lapangan, aku menjadi saksi bagaimana skuad yang ditukangi ayah bermain berlumur lumpur dan bikin lawannya berdarah-darah. Suatu hari nanti—niat ku dalam hati—aku akan masuk skuad ayah dan bikin dia bangga bukan kepalang. Dalam hati juga, aku merasa keki kalau tim ayah menang. Pasalnya, ayah bakal langsung memeluk dan menepuk-nepuk punggung pemainnya. Aku? Ayah lupa anaknya ada di sana. Itulah pengakuan yang selalu aku dambakan dan selalu ayah berikan pada pemainnya.

Pada 2006, Arsenal mengakhir musim kompetisi di posisi ke empat Premier League. Di pertandingan pamungkas, mereka memencundangi Spurs. Itupula hari terakhir The Gunner berlaga di Highbury, markas mereka selama 93 tahun. Tahun itu, mereka pindah ke kandang yang lebih mewah, Emirates Stadium. Perpindahan ini sudah lama digagas oleh Wenger. Tujuannya jelas untuk meningkatkan pendapatan Arsenal dan mengamankan posisi Arsenal di grup elit kesebalasan sepakbola Eropa yang dihuni oleh Manchester United, Real Madrid, klub kaya baru Chelsea dan Barcelona.

Fan, yang diwawancarai awak media hari itu, mengaku menyesali keputusan Arsenal namun terdengar sangat optimistis akan masa depan Arsenal: “Sedih sih tapi ini harus dilihat seperti metamorfosa kepompong menjadi kupu-kupu. Menurutku, ini lebih mirip sebuah proses metamorfosa daripada sebuah kematian.”

Iklan

Empat hari berselang, di Paris, Arsenal, klub London pertama yang sampai ke final Liga Champion, digasak Barcelona 2-1. The Gunner sebenarnya menguasai jalannya pertandingan sampai 15 menit terakhir laga itu, kendati penjaga gawang mereka saat itu, Jens Lehmann, diusir dari lapangan pada menit 17.

Semuanya bermula dari kesalahan kecil. Aku baru berumur lima tahun saat melintasi etalase sebuah toko olah raga. Aku bilang ke ayah kalau aku mau “yang itu”. Maksudnya, seragam merah biru Aston Villa. Natal tiba, aku malah dapat jersey berwarna merah tok. Aku langsung histeris sampai ayah bilang Sinterklas salah pilih seragam dan bilang jerseynya baru bisa ditukar bulan Januari nanti. Tak sabar menunggu, aku langsung mengenakan jersey merah itu. Sejak saat itu, aku memantapkan diri sebagai seorang Gooner luar dalam.

Sejak beli, aku selalu dirundung depresi. Lantaran suka makan dan bertubuh subur, aku kerap jadi bulan-bulanan orang lain. Segala macam bentuk bullyan pernah aku terima: celana dipelorotin, dikata-katain dan dipukulin. Intinya, lantaran gembrot, aku jadi target yang gampang. Kawan-kawanku waktu itu tak punya cukup kemampuan untuk berempati dengan perasaaku. Di sisi lain, aku juga belum cukup bijak untuk menafsirkan tindakan mereka pada dasarnya diambil karena mereka juga merasa insecure. Di mana pun, di Bumi, tak ada satu orangpun yang berminat jadi korban rundungan. Semua cobaan macam ini tak bisa menghentikan pencarianku akan pengakuan. untungnya, sepakbola seakan-akan memberikan apa yang aku dambakan. Pengakuan seakan bisa aku dapatkan sebab nanti aku setidaknya bisa bermain di skuad asuhan ayah. Harapan akan pengakuan juga makin besar tiap kali aku nonton laga Arsenal. Di mataku, pemain sepakbola profesional adalah dewa yang turun ke Bumi. Altar pemujiannya adalah lapangan hijau dan ritual pemujaannya adalah teriakan, yel-yel dan lompatan fan di tribun selama mereka berlaga. Dari sepakbola, aku tak cuma mendapatkan pengakuan, sepakbola juga menyodorkan sanjungan dan ketenaran. Malangnya, aku masih tinggal di Irlandia. Menonton Arsenal secara live adalah perjuangan yang maha berat. Ongkos pergi ke London saja sudah mahal bukan kepalang, kata ayah. Sebenarnya nonton Arsenal di TV sudah termasuk berkah—cuma ya itu, kami tak cukup uang untuk berlangganan Sky. Aku terpaksa memendam impian nangkring di tribun Highbury, menyaksikan secara langsung pemain-pemain idolaku seperti Paul Merson dan Ian Wright. Irlandia punya cabang olah raga sendiri: sepakbola Gaelic dan Hurling. Aku benci dua cabang olahraga ini. Kebencian itu makin tebal lantaran aku dipaksa memainkan dua cabang ini alih-alih sepakbola. Aku jelas memilih bermain cabang olahraga yang bisa membawaku keluar dari Irlandia, bukan selamanya terjebak di sana. Meski Inggris terhitung punya banyak dosa pada Irlandia, Inggris masih dianggap sebagai tanah yang lebih menjanjikan. Inggris tak cuma memiliki kesebelasan sepakbola yang pantas didukung, tapi Inggris selalu merilis film lebih cepat dari Irlandia dan punya outlet McDonald di tiap kota. Yang kami bisa banggakan di Irlandia adalah nonton siaran langsung sepakbola lewat TV, tanpa sekalipun menyentuh pemain atau merasakan sensasi nonton langsung di stadion. Ironisnya, ayah berusaha menghiburku selama masa-masa berat itu dengan sering membawaku nonton pertandingan tim-tim Irlnadia. Untuk bisa nonton permainan ini, kami harus melancong ke Dublin dengan minibus. Aku yang baru berusia kira-kira enam, tujuh atau mungkin delapan tahun tak merasa nyaman terjepit di antara teman-teman ayah yang tak henti-hentinya menenggak lager. Aku cuma bisa menyelamatkan diri dengan mengunyah kripik dan coklat. Kalau ayah tak mengajakku—dengan dalih kehabisan tiket—dan pergi bersama temannya doang, aku bakal ngamuk seharian dan menghancurkan barang-barang serta baru berhenti kalau ayah minta maaf keesokan harinya. Pad 2007, Arsenal—yang sudah mengganti Pirès, Sol Campbell, Lauren, Ashley Cole, José Antonio Reyes dan Dennis Bergkamp, pokoknya semua anggota tim Invincibles dengan William Gallas, Tomáš Rosický dan Júlio Baptista—mengakhiri musim dengan perolehan poin terpaut 21 angka dari kampiun tahun itu: Manchester United. Setahun sebelumnya, kondisinya lebih parah lagi. The Gunners finis 24 poin di belakang pemuncak klasemen Chelsea. Hidupku adalah sepakbola, tentunya yang baik-baiknya dan tak ada hubungannya dengan rundungan atau ejekan tentang berat tubuh. Pahlawanku di lapangan sepakbola—selain ayahku tentu saja—adalah Dennis Bergkamp. Gara-gara Bergkamp aku ingin sekali menggocek si kulit bundar seperti dirinya. Aku juga berambisi bisa meniru cara pemain asal Belanda itu menyontek dan melambungkan bola dengan kendali penuh. Aku juga ingin punya kemampuan mengecoh para pemain bertahan dengan elegan. Aku ingin bisa mengordinasikan mata dan kaki dengan baik. Aku ingin selalu bisa membuat perhitungan dalam sepersekian detik, memperluas lahan bergerak dan melakukan gerakan tipu layaknya Bergkamp. Pokoknya, aku ingin jadi Bergkamp. Titik. Memoriku tentang Arsenal pra-Bergkamp bisa dibilang belang bentong: mulai dari sticker Chris Kiwomya, Arsenal menang Piala Winner tahun 1994, kalah di Piala Winner setahun kemudian sampai tendangan jarak jauh Nayim dan David Seaman yang tergopoh-gopoh mundur mengejar bola. Namun, dengan masuknya Bergkamp ke skuad Arsene Wenger, kenanganku akan Arsenal langsung terang benderang. Saat Bergkamp teken kontrak untuk pindah dari Inter Milan ke Arsenal ’95, aku masih berusia sembilan tahun. Tentu, waktu itu aku belum baca buku-buku keren, belum mendengarkan album-album musik yang penting dan belum nonton film legedaris, tapi aku sudah mulau mempelajari cara main Bergkamp. Aku merasakan apa yang nanti disebut sebagai seni bermain sepakbola. Bergkamp memamerkan sesuatu yang melampui parameter-parameter yang diharapkan orang akan seorang pesepakbola profesional, sesuatu yang melewati “menang”, “kalah” dan bahkan “sepakbola” itu sendiri. Bergkamp adalah sosok yang selalu melawan konsep-konsep fisika—dan kerap kali mengalahkannya.
Aku mulai bermain sepakbola sendirian, mencintai ritme bola yang memantul dari dinding dan sensasi luar biasa tiap kali aku bisa meniru trik keren Bergkamp. Meski cara bemain seperti dibilang “menyedihkan” oleh kawan-kawanku, aku keukeuh main sendiri daripada dalam tim. Dengan bermain sendirian, aku bisa meminimalisir kemungkinan dirundung karena tak ada pemain lain yang mengincarku dan membuatku ngos-ngosan sementara keringat bercucuran di jidatku. Dengan bermain tanpa kawan, aku bisa yakin kalau semua trik yang bisa aku lakukan—memutar bola dengan kaki atau sebagainya—sudah cukup bikin aku jadi pesepakbola piawai. Gara-gara semua kawanku melakukannya, aku masuk sebuah klub sepakbola, sebagian sih karena aku masih menginginkan pengakuan. waktu aku bergabung, musim kompetisi belum dimulai. Makanya, aku latihan dengan tim A klub itu. Malang, aku kewalahan untuk sekadar berada di tim A. Meski aku yakin skill bermain sepakbolaku tak jelek-jelek amat, manajer tim bilang selanjutnya aku bakal latihan dengan tim B. Ini jelas bikin aku keki. Semua kawan satu timku tak becus main sepakbola. Beberapa diantaranya malah lebih gembrot dariku. kebanyakan dari mereka cuma bisa mengoper bola. Kalaupun bisa menendang, ujung jari-jari kaki mereka saja yang menyentuh bola. Malah, semua orang tak beres dalam perkara pakai kaos kaki. Sudah begitu, pelatih kami lebih sering duduk di pinggir lapangan daripada menjelaskan strategi permainan yang dia pilih. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengambil kesimpulan kalau satu-satunya anggota tim yang becus adalah aku. Pertandingan pertama yang aku jalani adalah sebuah laga persahabatan di akhir musim panas. Beruntung, kami menang cukup menyakinkan dengan skor 3-0. Manajer timku—kalau saja matanya awas—bakal menyaksikan operan-operan mautku yang selalu mendarat di daerah berbahaya musuh. Itu belum termasuk tendangan-tendangan jarak jauhku yang kalau saja sedikit lebih rendah bisa berkali-kali menjebol gawang lawan. Sayangnya, perasaan aneh ini tak berlangsung lama. Hari Sabtu setelah pertandingan pertama kami, aku menerima kenyataan pahit: aku didepak dari tim dan digantikan anak perempuan. Aku masih berhadap ini cuma gurauan. Malangnya tidak. Gadis itu kebetulan adalah anak sang pelatih. Kalau dibandingkan dengan performaku di laga perdana, gadis ini jelas tak bisa menendang bola sama sekali. Aku malu campur keki karena gadis ini—yang gagal menerima operan bola dan jadi biang kerok kami kalah 4-0 sebelum turun minum—dianggap lebih jago dariku. Aku hampir mewek. Ini jelas praktek nepotisme terang-terangan. Yang membingungkan kok bisa-bisa si pelatih dungu itu melakukannya. “Dasar pelatih dungu,” umpatku dalam hati sambil menendang bola ke arah dinding ruang ganti. "Jangan tendang bolanya!" hardik sang pelatih. "Nanti kulitnya robek.” Keadaan yang tak mengenakkan terus berlanjut. Aku jarang masuk daftar starting eleven dan cuma masuk barang beberapa menit ketika kami sudah dicukur enam kosong. Hanya saja, aku tak mau kalah tanpa perlawanan. Aku melepaskan tendangan-tendangan jarak jauh, menolak mengoper bola dan mendrible bola sampai bola keluar lapangan atau aku ngos-ngosan kehabisan nafas. Tujuanku cuma satu: mengubah keputusan sang pelatih. Setelah mencoba selama satu musim lamanya, aku akhirnya menyerah—pelatih tetap bergeming. Pria laknat itu boro-boro mau peduli performaku saat latihan atau saat aku turun ke lapangan. Payahnya, bagiku, rasa kalah itu terlalu berat. Alhasil, aku memutus mengubur dalam-dalam impianku jadi pemain sepakbola profesional selamanya. Ayah bekerja di hari Sabtu makanya dia tak pernah bisa menyaksikan aku bertanding. Sejauh ini, aku bisa menyembunyikan—segala kegagalanku dari ayah. Namun, kini setelah aku didepak dari tim B, waktunya aku mengakui segalanya. Di depan mukanya, aku menceritakan bagaimana sesaknya digantikan oleh seorang gratis. Lalu, ayah bilang akan ngomong langsung ke pelatihku. Umurku masih 11 tahun waktu itu tapi aku tahu betapa memalukannya masih terus jadi melibatkan ayah dalam hal-hal macam ini. Jadi, aku memohon ayah untuk tidak melakukanya. Mengakui ketidakbecusanku main sepakbola di depan ayah adalah kepedihan tanpa tanding.
Pada 2008, Arsenal finish di urutan ketiga Premier League. Sebenarnya, The Gunners mengawali musim dengan gemilang. Arsenal menjadi penghuni posisi teratas klasmen selama 2/3, memamerkan sepakbola terbaik ala mereka sebelum akhirnya tumbang pasca striker mereka Eduardo didera patah kaki yang mengerikan. Dalam pertandingan melawan Birmingham tersebut, Arsenal yang sudah goyah kalah karena sebuah pinalti di menit-menit akhir. Performa Arsenal, yang tinggal beberapa langkah meraih trofi Premier League tahun itu, lantas anjlok. Pasca kalah dari Birmingham, Arsenal mencatatkan 4 draw berturut-turut dan keok saat bertemu United dan Chelsea di minggu-minggu akhir musim kompetisi tahun itu. Sekelar pertandingan melawan Birmingham, kapten Arsenal William Gallas terduduk di tengan lapangan, menangis—imej yang selama menggambarkan mentalitas pasukan The Gunners yang mirip kerupuk. Arsenal tereliminasi dari Liga Champion dengan cara yang hampir mirip: kalah gara-gara pinalti di menit-menit terakhir kali ini kali ini oleh Liverpool. Berikut penyebabnya: Kolo Touré menjatuhkan Ryan Babel beberapa saat setelah Arsenal memimpin lewat assist Theo Walcott yang ajaib—disodorkan setelah Walcott melewati lima pemain Arsenal sekaligus. Kegembiraan dalam hatiku, sekali lagi, berujung lara. Pada 1998, tepat sepuluh tahun sebelumnya, saat mereka pertama kali memenangkan trofi Premier League di bawah asuhan Wenger—kejayaaan Arsenal pertama yang betul-betul aku rasakan dengan sadar. Sebelumnya mereka jadi kampiun pada ‘91—Arsenal membikin keok United dengan memamerkan permainkan yang ciamik, penuh dengan pameran skill dan kecepatan. Bergkamp dan teman sekampungnya Marc Overmars jadi penentu warna permainan Arsenal. Di hari mereka dipastikan menjadi kampiun Premier League ’98, Arsenal mengganyang Everton—tim kesayangan ayah—dengan skor 4-0 di Highbury. Aku dan ayah pergi ke rumah paman demi untuk menonton pertandingan yang disiarkan Sky itu. Aku waktu itu berumur 11 tahun. Aku jarang tesenyum atau minimalnya kelihatan bahagia waktu itu karena terus dirundung segala macam kesusahan hidup. Namun, hari itu, aku ikut bahagia melihat apa yang dicapai Arsenal. Terbersit sebuah pikiran saat aku melihat Tony Adams—seorang pecandu alkohol yang diselematkan Wenger—mengangkat trofi : “Nah ini nih bukti kalau tukang bully pada akhirnya bisa dikalahkan.” Saat itu, tukang bully di Premier League adalah United dengan Roy Keane dan Sir Alex Ferguson bercokol di dalamnya. Lebih dari itu, yang bikin aku bangga adalah Arsenal bisa mengalahkan mereka dengan cara yang amat memalukan. Pelajaran yang aku petik dari peristiwa itu sungguh berharga: tukang bully tak cuma bisa dikalahkan tapi juga diberi pelajaran. Sayangnya, kesuksesan ini diikuti oleh pilihan-pilihan yang bikin Arsenal memble setahun kemudian. Pada musim kompetisi 2008-09, Arsene Wenger memenuhi skuadnya dengan pemain-pemain kacrut. Sebut aja Mikaël Silvestre, yang diboyong dari Setan Merah dengan harga £750.000 (sekitar Rp13 miliar) atau Emmanuel Eboue yang posisinya tak jelas—entah pemain bertahan atau pemain tengah—dan tak becus main. Selain mereka berdua, ada juga Denilson yang cuma punya satu kemampuan: mengoper ke samping hingga kiper Manuel Almunia, yang kontribusinya di lapangan hijau justru bikin seni sepakbola adiluhung yang ditunjukan Arsenal menguap entah k emana. Alhasil, dengan skuad sebobrok ini, Arsenal menutup musim itu dengan selisih angka sebesar 20 poin dari kampiun tahun itu Manchester United, setelah mencatatkan rekor delapan kali seri dari 11 pertemuan mulai September 2008. Arsenal baru bisa menyelamatkan posisi keempat dalam klasemen akhir dengan menggaet pemain depan Rusia Andrey Arshavin dengan tengah musim. Asravin saat itu tercatat sebagai pemain dengan gaji termahal di Arsenal. Dalam sebulan, dia mengantongi £15 juta (sekitar Rp274 miliar). Gaji setinggi itu nyatanya masih rendah. Asal tahu saja, rekor gaji tertinggi di Chelsea saat itu mencapai £30 juta (sekitar Rp549 miliar) sementara gaji pemain tertinggi di United dan Liverpool—yang jadi runner up tahun itu—berkisar £21 juta (sekitar Rp384 miliar). Lalu, pada 2010, Arsenal kelihatannya bakal jadi kampiun Premier League ketika hampir mengandaskan Stoke sebelum Aaron Ramsey, pemain tengah Arsenal asal Welsh, mengalami patah kaki semengerikan yang dialami Eduardo. Bukannya membukukan kemenangan, Arsenal malah terpuruk. Pasca kekalahan dari Stoke, The Gunners mencatatkan score kacamata dalam laga melawan Birmingham dan dipecundangi oleh Blackburn, Spurs dan Wigan dalam tiga pertandingan tahun kompetisi itu. Game-game terakhirnya ini makin menegaskan fakta menyakitkan bahwa kesebelasan kesayanganku punya pemain bertahan dan kiper yang rapuh. Saat Arsenal kalah di laga pamungkas Liga Champion tahun 2006, aku harusnya sudah dianggap pria dewasa. Laga menyakitkan itu aku saksikan di sebuah pub. Tentu saja, sambil menonton aku sudah bisa mengenggak whisky bersama beberapa kawan. Namun, whisky tak bisa mengobati sakitnya dikalahkan Barca. Aku jelas kecewa tapi dalam perjalan pulang dari pub—malam musim panas yang indah, gadis gebetanku mengirim sebuah sms ditambah alkohol yang mengalir dalam darah—aku bisa berpura-pura kalau sepakbola tak punya peran penting dalam hidupku. Aku seketika bisa menertawakan segala macam kebegoanku menjadi hamba pemuja Arsenal. Aku menggeleng-geleng seakan terpercaya kalau aku pernah melempar remote TV ke arah Ayah saat Batistuta menjebol gawang Arsenal di Wembley pada tahun ’99. Di tahun yang sama, remote bukan satu-satunya benda yang aku lemparkan ke tubuh ayah. Walkman juga pernah melayang ke arahnya. Penyebabnya sederhana sekali: siapa yang bikin gol ke gawang Arsenal? Hari itu si bangsat Ryan Giggs menggelosorkan bola melewati David Seaman. Selagi berjalan pulang pada satu malam pada tahun 2006 itu, aku kok sepertinya dengan sadar—dan enteng pula—memutuskan untuk tak terlalu rempong memerdulikan sepak terjang Arsenal. Padahal, mana aku tahu kalau tim kesayanganku itu bakal mengalami paceklik dalam delapan tahun ke depan. Sepakbola memang sudah jadi bagian penting dalam hidupku. Malam itu, aneh aku merasa sah-sah saja menarik diri dari sepakbola. Aku kok woles saja merasa kalau tindakan itu adalah respon natural dari kenyataan bahwa hidupku bisa dijelaskan dalam satu kata: kegagalan. Aku ingin menemukan jalanku sendiri mencapai kesuksesan, alih-alih menggantungkan harapan pada tim macam Arsenal. Lagipula, ada gadis gebetanku, film, buku dan musik yang bisa mengisi tempat yang ditinggalkan Sepakbola. Kadang aku tak menonton pertandingan sepakbola selama beberapa minggu. Paling banter, aku cuma mengecek berita sepakbola di internet cuma biar aku punya bahan obrolan dengan ayah dan tetap up to date. Selama nyaris satu dekade, dari mulai aku berusia 15 tahun hingga saat aku akhirnya keluar rumah di usia 23 tahun—utamanya setelah ibu meninggal pada 2007, saban malam, aku dan ayah ngobrol tentang sepakbola. TV di samping kami dinyalakan tapi mute. Ayah tak henti-hentinya merokok. Kami sebenarnya tak niat untuk ngobrol tentang sepakbola. Lagipula, aku sedang males-malesnya bertukar pikiran dengan ayah tentang perkembangan kompetisi si kulit bundar itu. Kami melakukannya karena itu satu-satunya daerah aman yang bisa selalu kami bahas bersama. Selain itu, ngobrol tentang sepakbola tak beresiko membongkar apa yang paling kami berdua takuti: kegagalan hidup dan depresi. Ayah mungkin sudah bosan juga hidup dengan kesusahan dan penderitaan yang tak kunjung berakhir. Ditinggal mati ibu cuma salah satu episode kelam dalam hidupnya. Aku pun sepenuhnya sadar bahwa tak ada faedahnya saling menyembunyikan luka dan perasan. Namun, aku sadar ayah tak bisa disalahkan sendirian. Aku punya andil dalam kondisi yang tak mengenakan ini. Okelah, dari ayah, aku belajar untuk tetap diam, mengulas senyum getir dan tambah. Cuma masalahnya, akan lebih berfaedah kalau kami sama-sama mengemukakan masalah yang kami hadapi. Sayang, kami tak kunjung bisa melakukannya. Untuk beberapa lama, aku seperti dibiarkan sendirian menjalani hidup. Aku terlampau jiper menghadapi masalah-masalahku. Aku mulai belajar menerima kalau hubungan aku dan ayah bakal seperti ini saja—dan memang begini kondisinya sejak aku kecil. Entah atas alasan apa, kami jadi dua pribadi yang berbeda. Idolaku saat usiaku menginjak kepala dua adalah Berger alih-alih Bergkamp. Aku lebih menempatkan van Gogh jauh di atas van Basten. Ayah, yang selalu mencintaiku apa adanya, tak pernah merempongkan hal ini. Aku sebaliknya mulai cukup bijak untuk menerima kenyataan bahwa tiap orang adalah individu yang betul-betul berbeda. Seiring berjalannya waktu, rinduku pada sepakbola tak bisa diobati lagi. Jarak yang aku pancangkan antara aku dan Premier League pupus juga. Aku kembali nonton Arsenal meski The Gunners tak kunjung kembali di The Invincibles. Sebaliknya, jarakku dengan ayah, terutama setelah aku keluar dari rumah, makin menganga. Apakah berlebihan kalau aku bilang alasan utama aku nonton sepakbola sampai sekarang adalah ayah? Aku tak bisa mengandalkan sepakbola untuk jadi pengubah jalan hidupku. Lagipula, aku sekarang jauh lebih tua dari pesepakbola yang bertarung di bawah bendera Arsenal. Mimpiku jadi pesepakbola profesional juga sudah menguap entah kemana. Dan jujur saja, aku kadang tak habis pikir menebak-nebak kapan lagi Arsenal jadi juara Premier League. Namun bagaimana pun juga, aku masih terus getol menonton pertandingan The Gunner dan mengirim sms ke ayah di tengah pertandingan serta ngobol tentang manajer, transfer dan trofi yang dimenangkan Arsenal. Dugaanku, sms-sms itu dikirimkan karena aku ingin menjaga silaturahmi dengan ayah. Kami tak lagi hidup di bawah satu atap. Aku kalut kalau-kalau kami tak lagi saling mengenal. Menyedihkan memang, hubungan aku dan ayah dijembatani oleh sms-sms yang dikirim dalam pertandingan-pertandingan Super Sunday. Menurutku, kami sama-sama bersyukur bahwa sepakbola masih tetap ada hingga komunikasi antara aku dan ayah tetap terjalin. Pada 2011, Arsenal lagi-lagi finis di urutan keempat Premier League, tapi mereka sampai di partai puncak piala liga. Malang, penyakit kalah di momen-momen penting yang diidap anak asuhan Wenger kumat. Mereka harus menyerah di hadapan Birmingham. Penyebab kekalahan mereka juga sangat Arsenal banget: blunder pemain bertahan di menit-menit akhir. Lalu, di musim setelahnya, setelah menjual Samir Nasri dan kapten Cesc Fàbregas, mereka kembali mendekam posisi keempat klasemen akhir, terpaut 20 poin dari Manchester City yang dibeli miliarder minyak Sheikh Mansour pada 2009. Tahun itu, The Citizen menghamburkan £376 juta (sekitar Rp6,8 triliun). £22 jutanya (sekitar Rp403 miliar) digelontorkan untuk membeli Nasri). Arsenal sementara itu cuma menghabiskan anggaran belanja sebanyak £45 juta (sekitar Rp824 miliar). Tahun itu, Arsenal juga dibekuk Setan Merah dengan skor memalukan 8-2. Inilah kekalah terbesar The Gunner setelah dipegang Wenger mulai 1996. Milan juga ikut mempermalukan Arsenal di putaran kedua Liga Champion dengan skor 4-0. Musim selanjutanya, 2012-13, personil terakhir triumvirate Arsenal, Robin van Persie, dilego ke United dengan benderol £24 juta (sekitar Rp439 miliar). Di tahun pertamanya dengan United, van Persie langsung mengangkat trofi Premier League. Sementara itu, selagi van Persie berdansa-dansi dengan trofi Premier League, anak asuh Wenger malah sibuk mengalahkan Spurs agar bisa merebut posisi favorit mereka, nomor empat di klasemen akhir Premier League. Dulu, ketika masih belia, ada dua hal yang aku tuntut dari orang tuaku: makanan dan pengakuan. aku tak peduli sesulit apa kehidupan mereka dan sekeras apa mereka bekerja, aku mau yang aku inginkan tersedia. Begitu aku tumbuh dewasa jadi pemuda tanggung, aku ingin mereka sedikit tolen. Karena gendut, aku jadi bahan risakan dan mengidap depresi. Orang tuaku jadi sasaranku kalau aku mengalami moodku berantakan, atau kalau aku mendadak jadi pemberang pelempar remote dan Walkman. Lalu, saat aku benar-benar tumbuh dewasa, aku dipaksa menerima kenyataan yang memalukan, aku harus menerima kenyataan bahwa segala yang kuimpikan tak bakal aku dapatkan. Di saat yang sama, aku juga harus bersabar menelan pil pahit kalau arsenal tak lagi mengumpulkan banyak trofi serta bahwa hubunganku dengan sepakbola lebih tak mengenakkan—jika tidak bisa disebut menyakitkan—dari sebelumnya. Aku juga harus beradaptasi bahwa begitu aku jadi orang dewasa betulan, tak ada satupun yang bisa kita peroleh dengan gratis. Untuk menerima sesuatu yang kita dambakan, kita harus berdarah-darah dan bekerja keras memeras keringat. Namun, ini membuat kesuksesan terasa lebih manis begitu kita raih. Hal yang sama aku pelajari dari sepakbola, terutama dari Arsenal. Wenger cs dengan segala kekalahannya mengajarkan banyak hal: kesabaran, kejelian mencari persepektif berbeda dan rasa bersyukur, kendati sukses tak kunjung datang. Dan, sekarang, ketika artikel ini ditulis, tepat sembilan tahun setelah mengalahkan Setan Merah pada 2015, Arsenal akan berlaga di final Piala FA sabtu depan. Kali ini, tim yang menghadang mereka adalah Hull, tim semenjana dari kasta bawah Premier League. Memang, tak ada satupun yang bisa menjamin kalau Arsenal bakal menang. Namun, menarik untuk dibahas apa faedah kemenangan mereka Sabtu esok untuk masa depan anak skuad The Gunners. Akankah, seperti yang diidam-idamkan para Gooners, membuat Arsenal bangkit dari keterpurukan dan meraih trofi-trofi yang lebih bergengsi lainnya seperti Piala Champions misalnya?

Aku sendiri kurang yakin. Wong, sudah jelas kalau mental block yang menghalangi tim asuhan Wenger dari kejayaannya sudah terlalu dalam tertanam. Menang FA rasanya tak serta merta memusnahkannya. Untuk kembali berjaya di level yang lebih tinggi seperti di Premier League dan Liga Champions—sesuatu yang akan aku rayakan dengan bergelas-gelas lager—butuh kemampuan yang tak sembarangan untuk menerima tekanan. Ini bagiku, lepas dari performanya Sabtu nanti, belum bisa mereka lakukan. Maaf terdengar sinis, tapi memang begitu kondisinya. Membangun Emirates secara tak langsung mengebiri kemampuan Arsenal bersaing di level yang bergengsi—kocek The Gunners terkuras abis hingga tak punya gigi saat bersaing dengan klub-klub kaya baru macam Chelsea dan City, apalagi raksasa lama macam Manchester United. Dalam sembilan tahun terakhir, Arsenal selalu nyaris memenangkan trofi—tolong garis bawahi kata nyaris. Jangan-jangan skill pemain Arsenal biasa saja? Sepertiya sih tidak. Buktinya, di awal musim kompetisi mereka bermain dengan begitu beringas. Tak perlu jadi komentator sepakbola jenius untuk menunjukkan bahwa kegagalan Arsenal menerima tekanan sudah terlalu lama melanda hingga mungkin sudah sampai memengaruhi cara pikir Wenger. Maka, sah-sah saja rasanya jika kita bertanya: kalau manajer macam Mourinho dan Ferguson bakal diam saja menghadapi krisis berkepanjangan macam ini? Sudah barang tentu, Wenger sadar sepenuhnya tentang hal ini. Cuma, barangkali, seperti layaknya pendukung Arsenal pada umumnya, beliau melihat kemungkinan memenangkan Piala FA sebagai penyelamat karirnya dan pembuka kebuntuan klub yang dia asuh. Namun, pada akhirnya, apa sih pentingnya manajer, transfer pemain atau trofi pada hidup kita? Beneran deh. Mau kita akui atau tidak, kitalah yang memberikan arti terhadap setiap laga sepakbola yang kita tonton. Sepakbola tak lebih dari sekadar kertas putih yang kita isi dengan harapan atau ketakutan. Sepakbola adalah penghiburan yang kita cari untuk kabur dari kesesaka hidup. Kita membayangkan kesuksesan klub kesayangan kita sebagai keberhasilan kita melampui cobaan hidup. Atau kita meresapi kekalahan atau rasa pedih yang meliputinya dengan cara-cara yang dianggap wajar—melempar remote ke ayah kita, misalnya. Jadi, mari kita akui kalau menang atau kalah: terlepas dari kalah atau menang, kita selalu menemukan perspektif yang menempatkan sepakbola dalam posisi penting dari hidup kita. Sabtu nanti, aku kembali akan menekankan betapa sepakbola memainkan peran penting dalam hiduopku. Caranya dengan nonton final Piala FA dan mengirimi ayah barang beberapa sms. Ah tai kucing, aku toh bisa mendatangi ayah dan kami akan nonton bareng. Kami bakal menggasak berkaleng-kaleng bir—seperti yang ayah dulu lakukan saat nonton pertandingan tim-tim Irlandia dengan kawan-kawannya—sambil ngobrol tentang pertandingannya itu sendiri. Kami akan ngobrol tentang Wenger, tentang trofi-trofi yang pernah diraih Arsenal, tentang transfer-transfer pemain.
Apapun, asal jangan ngomongin artikel ini. @0jnolan