Arsitektur Jengki: Simbol Kebebasan dan Kemewahan di Indonesia era 1950-an
Vila bergaya Jengki, dibangun dari era 1950-an di Jatinegara, Jakarta Timur. Semua foto dari buku 'Retronesia' karya Tariq Khalil. Diunggah seizin fotografer.

FYI.

This story is over 5 years old.

Esai Foto

Arsitektur Jengki: Simbol Kebebasan dan Kemewahan di Indonesia era 1950-an

Fotografer Tariq Khalil bertahun-tahun menggali cerita dan memotret bangunan bergaya 'jengki' di Indonesia. Semuanya diabadikan lewat buku 'RETRONESIA'. Jengki bisa dibilang budaya dangdutnya arsitektur; gaya modern asli Indonesia.

Masa-masa 1950-an adalah era penanda bangsa Indonesia sudah harus mandiri. Jepang sudah lama pergi. Belanda baru saja dengan terpaksa mengakui kedaulatan Indonesia. Kemerdekaan ini tentu dirayakan di seluruh lapisan masyarakat, termasuk para arsitek, insinyur, dan juru bangun. Di masa itu mereka berkreasi dengan liar, menciptakan gaya arsitektur baru yang kelak dikenal dengan nama 'arsitektur jengki' sebagai cara alternatif untuk merayakan kebebasan sekaligus memamerkan kemewahan.

Iklan

Tariq Khalil, fotografer sekaligus penjelajah yang sekarang tinggal dan bekerja di Jakarta, selama 10 tahun keliling Indonesia untuk menemukan harta karun dari budaya Indonesia sesudah kemerdakaan yang mulai dilupakan oleh masyarakat.

Vila bertema Dayak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Lewat bukunya berjudul RETRONESIA: The Years of Building Dangerously (2017), Tariq—petualang berdarah Skotlandia dan India—menggunakan fotografi sebagai media menggambarkan gaya arsitektur pada masa itu. Lewat buku setebal 210 halaman ini, Tariq pun berusaha melakukan eksplorasi yang tidak biasa untuk menunjukkan kehidupan negara baru merdeka yang dinamis melalui bangunan-bangunan berbentuk unik. Jengki adalah simbolnya. Sebutan gaya bangunan Jengki ini terinspirasi dari kata 'Yankee'—melambangkan semua unsur gaya hidup Amerika Serikat.

Saya bertemu Tariq Khalil di Blok M, Jakarta Selatan, di salah satu lokasi bangunan jengki pusat bisnis legendaris ibu kota tersebut. Kami membahas bagaimana arsitektur bergaya Jengki dapat diibaratkan seperti musik dangdut dan tas hermes, menjadi identitas dan simbol dari gaya hidup masyarakat Indonesia yang baru mengalami satu dekade kemerdekaan dari kolonialisme.

Tariq Khalil di sebuah bangunan bergaya jengki di Blok M, Jakarta Selatan.

VICE: Halo Tariq, bagaimana awalnya kamu tertarik menggarap proyek foto ini?
Tariq Khalil: Awalnya sekitar 15 tahun yang lalu pas saya liburan ke Indonesia. Ketika itu pula saya pertama kali dengerin musik Dangdut. Di situ saya merasa bingung sekaligus kagum dengan musik dangdut yang bisa ngegabungin drum tabla dan gitar penuh dengan fuzz lalu dicampur lirik dan melodi melayu.

Iklan

Beberapa tahun kemudian saya mengalami kekaguman yang sama dengan cara orang Indonesia mencampur aduk kebudayaan luar dengan Indonesia. Waktu itu saya lagi ke Bandung, dan ditunjukin beberapa bangunan Indonesia tahun 50-an, saat itu juga saya langsung inget sama bangunan-bangunan dari kartun The Flinstones. Menurut saya, bangunan-bangunan tahun 50-an ini sama kayak musik dangdut, banyak elemen dari budaya luar dicampur dan disatukan hingga jadi ciri khas yang unik.

Kenapa fotografi jadi medium yang kamu pakai mendokumentasikan bangunan Jengki?
Fotografi jadi bagian dari hidup saya adalah ketika saya pameran foto tentang rumah-rumah keluarga saya di India dan Pakistan. Saya selalu tertarik dengan rumah. Bukan karena rumah memiliki nilai arsitektur, tapi rumah bagi saya selalu memiliki cerita masing-masing.

Waktu mulai project Retronesia ini, awalnya saya hanya mengambil foto bangunan-bangunan bergaya jengki ini saja, tapi saya merasa dari foto-foto ini tidak memiliki cerita, jadi saya coba ketemu beberapa akademisi dan pakar untuk cari tau lebih. Selain dari bahasan bertopik arsitektur yang saya kurang paham karena tidak punya latar-belakang di bidang itu, saya merasa apa yang saya ingin cari kurang pas. Latar belakang saya sebenernya biologi, dan saya lebih paham tentang pengetahuan tentang kehidupan, jadi saya pengin coba menggunakan evolusi buat menjelaskan gaya jengki ini.

Universitas IBA, Palembang, Sumatera Selatan

Detail ruang kelas di universitas IBA

Lalu apa metodemu untuk menggarap proyek ini?
Sebenernya arsitek dan pakar cukup berperan dalam membantu menunjukkan hingga mengidentifikasi mana yang merupakan arsitektur jengki dan mana yang bukan. Tapi pemilik dari bangunannya yang bakal lebih banyak cerita. Salah satu caranya adalah dengan tanya-tanya ke peduduk sekitar. Saya ketok satu-satu rumah serta toko-nya dan ajak ngobrol bagaimana sejarah dan cerita dari rumah-rumah dan toko mereka. Menurut saya cerita-cerita yang seperti inilah merupakan wujud otentik dari Retronesia, sebagai simbol dari Indonesia.

Iklan

Seperti apa caramu mencari bangunan Jengki lalu ngobrol sama pemiliknya?
Saya biasanya mulai dengan pergi ke pecinan dan pasar-pasar tua, saya ngobrol sama banyak orang tua di sana dan mulai menemukan bangunan bergaya jengki yang pernah ada atau masih ditinggalin sama orang-orang lama disana, dari situ saya menggali lebih dalam cerita dan keberadaan bangunan-bangunan lainnya yang ada di daerah yang berkaitan.

Apotek Sputnik, 1958, di Semarang

Detail pintu di Apotek Sputnik

Detail di meja depan Apotek Sputnik

Berarti kamu menemukan pola keberadaan bangunan jengki itu ya?
Iya, karena dulu biasanya yang mampu untuk bangun rumah atau ruko dengan gaya Jengki ini cuma pedagang-pedagang kaya. Setelah Indonesia merdeka, banyak dari pedagang ini langsung menjadi kaya-raya. Yang tadinya tinggal di ruko, mereka jadi mampu bangun rumah pribadi baru yang masih berdekatan dengan tempat kerjanya. Dari situ biasanya mereka masih mampu untuk bangun rumah lagi yang agak jauh seperti di pegunungan, buat dijadikan villa untuk berlibur atau hang-out. Ketika saya pergi ke tempat-tempat ini, saya mulai paham bahwa bangunan-bangunan ini merupakan monumen kekayaan yang berdiri di atas lokasi yang penuh dengan masalah krisis ekonomi.

Sebenernya apa sih yang mau kamu capai lewat Retronesia?
Saya pengin melalui foto dan cerita dari bangunan jengki ini bisa menjadi urban archeology untuk menemukan sejarah dan gaya hidup orang Indonesia pada masa itu. Arsitektur di sini hanya bungkusnya, tapi isinya yang perlu kita lihat untuk tahu apa yang terjadi di negeri ini. Yang penting di sini adalah klien dari bangunannya. Untuk siapa anda membangun dan bagaimana respon dari sang klien, di situlah cerita Retronesia. Jika membahasnya hanya melulu lewat arsitektur, menurut saya hanya sedikit orang yang tertarik dan peduli akan ini.

Iklan

Klasik townhouse, 1954, Jakarta

Kediaman Soenarto pengusaha batik, Solo, Jawa Tengah

Seperti apakah cara arsitektur gaya jengki ini mewakili kehidupan orang Indonesia pada masa itu?
Dilihat dari bentuknya, gaya jengki banyak mengkopi dan mengubah elemen dari arsitektur indies (mazhab Hindia Belanda-red) tapi secara mendasar ada tiga elemen di dalam gaya jengki; tradisional, modern, dan indies. Darti ketiga elemen ini satu sama lain saling bermutasi dan bercampur hingga menjadi gaya jengki. Cara menggabungkan dan mengomposisi ketiga elemen ini menurut saya yang mencerminkan kebebasan masyarakat Indonesia yang baru merdeka pada saat itu. Pada masa itu, negeri ini seperti gunung berapi yang masih muda, sedang berkembang dan berevolusi. Bangunan-bangunan ini berada di masa dan tempatnya untuk mencerminkan siapa yang berkuasa di Indonesia. Mempunyai rumah jengki seperti memiliki tas Hermes dan jet pribadi. Sebuah pernyataan untuk merayakan kebebasan dan kekayaan.

Lalu apakah arsitektur jengki ini bisa dinikmati sama semua kalangan masyarakat?
Tidak, karena arsitektur pada waktu itu masih sangat elit, hanya sedikit yang tahu dan paham tentang arsitektur. Berbeda dengan sekarang, arsitektur sudah menjadi kebutuhan buat masyarakat.

Tampak luar gedung serbaguna Wisma Semen Gresik di Gresik, Jawa Timur

Mural Sapto Hudoyo di balkon Wisma Semen Gresik, 1964, Gresik, Jawa Timur

Wisma Semen Gresik, Jawa Timur

Indonesia sudah punya arsitektur dari masing- masing etnis sebelum gaya jengki muncul. Apakah jengki bisa dianggap sebagai identitas arsitektur Indonesia modern?
Tentu saja. Karena, saya rasa ini merupakan gaya arsitektur Indonesia secara nasional yang pertama. Gaya nasional untuk kalangan tertentu. Pada saat itu rakyat indonesia pertama kali memegang penuh kekuasaan terhadap negaranya. Biasanya pada saat itu, yang punya bangunan justru lebih banyak mengontrol arah desain dari rumah yang mau dibangun, sifatnya lebih kolaboratif antara klien, arsitek, dan tukang. Dari hasil kolaborasi inilah yang menjadikan gaya bangunan pada zaman itu luar biasa. Jengki ibaratnya adalah dangdut dalam bentuk bangunan.

Iklan

Arsitektur atau bangunan yang kayak gimana yang paling kamu sukai?
Saya suka arsitektur retro kayak gini sih. Kalau bisa, saya ingin tinggal di rumah Jengki dan membangun Retronesia Institute.

Villa tak terpakai di Kopeng, Jawa Tengah

Hotel Sinar Indah, Solo, Jawa Tengah

Apa pendapatmu tentang arsitektur Indonesia sekarang?
Ironisnya adalah, sekarang banyak arsitek tapi bangunan malah membosankan. Menurut saya, Indonesia lebih menarik tanpa adanya arsitek, lebih banyak eksperimen yang terjadi. Percampuran dan komposisi dari gaya Jengki ini menurut saya contoh yang menarik, karena pada saat itu lebih sedikit aturan yang berlaku.