FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Ada Lho Jenis Orang Alami Kelainan, Merasa Tak Nyaman Dianggap Sukses

Rasa cemas saat menerima pujian atau menjadi pusat perhatian itu ternyata enggak cuma sekadar perwujudan rasa malu dan sikap merendah.
Ilustrasi Trofi dan berbagai penghargaan individu
Foto ilustrasi oleh Lucas Saugen / Stocksy

Saat pensiun dari kancah American Football di akhir musim kompetisi 1998, Barry Sanders dalam pergulatan untuk memecahkan segudang rekor dalam kompetisi NFL. Selain dianggap sebagai seorang runningback jempolan, Sanders dikenal sebagai pemain yang tak begitu suka melakukan perayaan di lapangan jika berhasil mencetak touchdown. Di masa ketika sebagian besar pemain NFL doyan melakukan selebrasi flamboyan, Sanders malah sering terlihat ingin segera keluar lapangan setelah mecetak skor bagi timnya.

Iklan

"Saya selalu tertarik melihat bagaimana Sanders menyodorkan bola ke wasit dan segera berlari ke garis pinggir lapangan seakan ingin bersembunyi," kata Craig D. Marker, associate professor bidang psikologi di Mercer University College of Health Professions, Atlanta.

Marker ingat pernah mendengar salah satu sesi wawancara Sanders, sebagai peraih Heisman Trophy sebagai pemain di tingkat mahasiswa di negara bagian Oklahoma. Dalam wawancara tersebut, Sanders mengaku enggan datang ke upacara penganugrahan karena tak mau jadi pusat sorotan. Makanya, meski cuma sebatas dugaan, Marker percaya salah satu alasan Sanders meninggalkan American Football semata karena dia malas jadi pusat perhatian jika berhasil merontokkan semua rekor NFL.

Sebagian besar dari kita terlanjur berasumsi kegelisahan dalam hubungan sosial umumnya adalah buah dari ketakutan akan penilaian negatif. Namun, pandangan ini tak sepenuhnya benar. Malah, bagi Marker dan sejumlah pakar yang mendalami masalah gangguan kegelisahan mengatakan bahwa ketakutan akan penilaian positif orang lain juga bisa memicu kegelisahan.

“Kami biasa menyebut fenomena ini sebagai ketakutan akan penilaian positif atau FPE," ujar Thomas Rodebaugh, seseorang associate professor mata kuliah psychological and brain sciences di Washington University in St. Louis. Rodebaugh sudah lama memelajari jenis kegelisahan ini. Dia bahkan menciptakan Fear of Positive Evaluation Scale (FPES) untuk mengukur tingkat keparahannya.

Iklan

Meski pengidap gangguan kecemasan sosial bisa saja terganggu dengan segala macam perhatian yang diarahkan pada mereka—termasuk yang sifatnya positif, apa yang dimaksud Rodebaugh adalah fenomena yang agak berbeda. Baginya, ketakutan akan penilian positif adalah persoalan yang distingtif. Pengidap ketakutan ini tak mesti memiliki ketakutan akan penilaian negatif dari orang lain.

Okay sebelum kalian suudzon menyangka kami menyangka kami mengada-ada, camkan bahwa ini bukan rasa malu atau sikap merendah biasa. “Setiap orang pernah merasakan ketakutan ini. Itu normal terjadi kok," katanya. Contohnya yang paling gampang katanya adalah rasa malu saat diberi ucapan selamat dan dibawakan makanan gratis sebagai hadiah oleh cafe yang sedang kita kunjungi.

“Tapi, sebagian besar orang, ketakutan akan penilaian positif atau FPE bisa jadi sebuah masalah yang lebih besar,”imbuhnya. “Masalah ini bisa menghalangi seseorang mencapai tujuannya.” contohnya, seseorang bisa dengan sengaja menunjukkan performa di bawah rata-rata di kantor atau menghindari segala macampe pujian atau pengakuan atas pekerjaannya sampai menghalangi perkembangan karirnya sendiri. Dalam kondisi-kondisi seperti inilah, FPE harus diintervensi oleh psikolog profesional.

Tapi sebentar deh, apa sih yang ditakut oleh orang-orang ini? “Kebanyakan sih bilangnya, mereka tak nyaman jadi pusat perhatian dan nyaman justru ketika tak diperhatikan,” kata Marker. Pengidap FPE takut orang lain akan mencari tahu lebih banyak mengenai dirinya. Ini ditakutkan malah akan memunculkan penilaian negatif, jelas Rodebaugh. Lebih jauh, Rodebaugh juga menyingung kondisi lain yang mirip FPE, imposter syndrome, kondisinya membuat pengidapnya merasa dirinya adalah sosok palsu yang kapanpun bisa terbongkar rahasianya.

Iklan

Lalu, darimana asal FPE? “Menurut saya itu ada kaitannya dengan budaya,” terang Market. “Bagi mereka yang dibesarkan dalam budaya yang menghargai kerendahan hati, jadi pusat perhatian merupakan cobaan tersendiri.”

Norma dalam kehidupan orang Jepang adalah contoh bagus budaya yang memicu FPE. “Orang Jepang tak begitu mempromosikan dirinya seperti orang Amerika,” ujar Paul Rozin, dosen psikologi di University of Pennsylvania. “Salah satu alasannya adalah mereka tak mau kelihatan superior.” Rozin menambahkan orang Jepang bukannya tak mau menjadi superior tapi mereka tak begitu nyaman terlihat superior.

Penjelasan lain kenapa seseorang bisa mengidap FPE data dari psikologi evolusioner. “Ada semacam kepercayaan melakukan segala hal dengan prima bisa memicu konflik dengan para pemegang wewenang, dan ini akhirnya akan menimbulkan masalah,” kata Rodebaugh. Kendati belum bisa diuji sampai saat ini, hipotesis ini cukup masuk akal. Semua orang berusaha mencapai posisi tertinggi dalam karirnya. Jika kamu dianggap luar biasa dalam hal tertentu, kamu akan diincar atau dijadikan musuh olehh banyak orang.

Rodebaugh mengatakan bahwa penanganan FPE sebenarnya tak jauh berbeda dari penanganan gangguan kecemaan lainnya. “Penganganan yang digunakan adalah eksposur atau membiarkan penderita melakukan hal yang takut mereka lakukan,” katanya. Prinsipnya sederhana sekali: dengan memaksa pengidap FPE menghadapi apa yang mereka takuti, mereka akan sadar bahwa mendapat perhatian orang lain secara positif tak semengerikan yang mereka bayangkan (terapi eksposur digunakan untuk menangani pengidap fobia tertentu—seperti fobia terhadap anjing atau laba-laba).

Bagian yang gampang-gampang susah adalah mencari tahu cara yang tepat untuk mendekati hal yang membuat kita takut,” ujar Rodebaugh. Dia menambahkan bahwa terapi perilaku kognitif—sejenis psikoterapi jangka pendek untuk mengatasi masalah yang spesifik—bisa membantu dalam bagian ini. “Orang paham bagian tentang menghadapi ketakutan mereka. Masalahnya adalah bagaimana kita mencari tahu apa yang mereka takuti atau cara menghadapinya,” ujarnya.

Marker sependapat bahwa memaksa pengidap FPE menghadapi rasa takutnya sangat berfaedah. “Jika kita memaksakan diri dalam kondisi yang tak nyaman, kita akan bisa memerluas pengetahuan kita dan jadi lebih kuat,” katanya. “Kita harus belajar merasa nyaman dengan rasa tak nyaman.”

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic