Cerita Kolektif Feminis Indonesia Terus Tumbuh dan Gigih Melawan Represi

FYI.

This story is over 5 years old.

Feminisme&

Cerita Kolektif Feminis Indonesia Terus Tumbuh dan Gigih Melawan Represi

Di berbagai wilayah, organisasi agama berkolaborasi dengan polisi memberangus kegiatan perempuan. Semua kelompok itu justru tak gentar pada tekanan.

Dalam acara kumpul para seniman yang dihelat di Yogyakarta, sejumlah perempuan berkumpul membicarakan cara bermain gitar, memperbicangkan topik-topik feminisme, dan menyelenggarakan pelatihan menjahit. Saat acara berlangsung, preman-preman memakai atribut kemiliteran datang bersama beberapa aparat kepolisian. Gerombolan lelaki itu berkukuh hendak menerobos masuk ke lokasi, lalu memaksa acara tersebut bubar. Para perempuan mencoba bernegosiasi supaya bisa melanjutkan acara, namun ormas dan kepolisian bersikeras membubarkan acara tersebut. Kelompok yang mengelola acara tersebut, Kolektif Betina, bersama dengan perempuan-perempuan lain diserang secara verbal oleh kalangan fundementalis Islam yang datang malam itu. Kata-kata "kotor!", "perempuan rusak!", serta "bertobatlah!" terdengar saat konfrontasi, menurut postingan yang dipublikasikan kelompok tersebut. Kepolisian kemudian mengakui bahwa mereka didampingi oleh dua kelompok islam militan, yaitu Front Umat Islam (FUI) dan Front Jihad Islam (FJI), membubarkan acara tersebut. "Kepolisian bertanya soal sebuah zine dengan logo LGBT," ujar Sri Taarna, salah satu anggota kolektif tersebut. "Ketika kepolisian dan anggota ormas Islam menerobos masuk ke rumah [di samping lokasi acara] dan mulai merazia barang-barang pribadi dan sampah-sampah para penghuni, seorang kawan perempuan meminta mereka berhenti karena anak-anak ketakutan. Beberapa anggota ormas lalu berkata, 'Kamu mau berdebat atau apa? Kamu tuh perempuan, saya bisa saja mukul kamu!' sambil menunjukkan kepalan tangannya tepat di depan wajah si perempuan." Taarna khawatir melihat organisasi religius konservatif menjadi kasar dengan mengintimidasi dan bekerja sama dengan kepolisian sebagai 'pasukan polisi moral' sekunder. Karena hubungan erat mereka dengan aparat keamanan dan kepolisian setempat, dia merasa mereka punya kekuasaan penuh melakukan apapun yang mereka inginkan terhadap orang-orang yang mereka anggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. "Hubungan erat antara kepolisian dan ormas-ormas telah mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan dalam berbagai bentuk," ujarnya. Keberadaan kolektif-kolektif seperti Kolektif Betina adalah buah dari sejarah ekstensif feminisme di masyarakat Indonesia sebetulnya sangat luas di ranah akar rumput. Feminisme juga bukan sesuatu yang baru di Tanah Air. Pejuang perempuan seperti Nyi Ageng Serang dan Cut Nyak Dhien, hingga Kartini (dianggap sebagai pemimpin emansipasi perempuan di Indonesia) sudah membawa cita-cita feminisme sejak abad 19. Feminis dan aktivis kontemporer seperti Gadis Arivia dan Kamala Chandrakirana, adalah penerus yang memungkinkan pemikiran pro-perempuan bertahan di Indonesia sampai sekarang. "Gagasan feminisme di Indonesia telah menjadi lebih tersebar sejak era akhir 90-an atau awal 2000-an, dan isu-isu perempuan semakin dibicarakan dalam banyak percakapan politik di sini," ujar Taarna.

Iklan

Akibat kudeta militer 1965 yang masih segar di ingatan banyak warga Indonesia—yang mana saat itu aktivis perempuan anggota Gerwani difitnah, bahkan dituduh melakukan penyiksaan dan terlibat dalam pembunuhan jenderal—isu-isu perempuan di Indonesia menjadi semakin relevan.

Dalam hal itu, kondisi saat ini amat cocok bagi kelahiran banyak kelompok feminis, yang sebagian besarnya memiliki sikap DIY (Do-It-Yourself, tidak didukung dana korporat atau struktur hierarkis). Selain Kolektif Betina, ada pula kelompok feminis Mari Jeung Rebut Kembali yang berbasis di Jakarta, dan kolektif pertemanan di Palembang bernama Metamorphoo, yang telah bersama-sama maupun secara mandiri mengangkat isu penting yang berdampat pada perempuan di Indonesia dan tempat tinggal mereka. "Kita mau bisa menyorot beragam isu yang mempengaruhi perempuan yang diidentifikasikan perempuan di Indonesia, dan mengaplifikasi suara-suara yang menggugat perhatian bagi permasalahan yang ada," ujar Pramilla Deva dari Kolektif Betina. "Pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, catcalling, seksisme, dan consent… kita amat peduli dengan isu-isu tersebut."

Kolektif Betina menggelar acara  'Hari Perempuan' untuk meningkatkan semangat bekerja sama sesama perempuan. Foto dari Kolektif Betina.

Sementara itu, di Palembang, Metamorphoo belum lama ini menggelar Alterasi Rasa, acara kelompok yang menampilkan seniman dan aktivis lokal. "Kita ingin menciptakan ruang di mana orang-orang yang diidentifikasikan perempuan dapat berkumpul bersama untuk kabur sejenak dari lingkungan-lingkungan yang didominasi laki-laki di mana biasanya mengobjektifikasi kita," ujar mereka. "Kita percaya bahwa mengambil langkah aktif dan berpartisipasi dalam kolektif seperti kolektif kami adalah salah satu dari sekian banyak solusi untuk memberantas banyak ketidakadilan yang kita hadapi sebagai perempuan Indonesia."

Iklan

Di kesempatan berbeda, kolektif Mari Jeung Rebut Kembali telah muncul di acara televisi nasional membahas isu-isu perempuan, termasuk bersama-sama memproduseri video (berkolaborasi dengan kelompok feminis pejuang hak perempuan Bersama Project dan band rock Tika and The Dissidents) berjudul "Tubuh Ku Otoritas Ku", yang menampilkan 34 perempuan dan pernyataan pribadinya soal apa yang mereka rasakan mengenai tubuh mereka. Tema-tema yang diangkat termasuk otonomi tubuh, slut-shaming, dan body-positivity.

"Hubungan erat antara kepolisian dan ormas-ormas telah mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan dalam berbagai bentuk."

Upaya-upaya tersebut berlanjut dengan Women's March di Jakarta baru-baru ini, salah satu march perempuan dari 813 yang dilaksanakan di hari yang sama di berbagai kota di seluruh dunia untuk menunjukkan solidaritas antar para feminis dalam semangat global melawan seksisme. Kolektif-kolektif ini juga bergabung dengan berbagai kampanye media seperti #NyalaUntukYY, sebagai respon terhadap pemerkosaan berkelompok perempuan berusia 14 tahun di Bengkulu, Sumatra.

Kampanye daring lainnya adalah #TidakMemperkosa, tujuannya meningkatkan kesadaran warga kota. Anggota Kolektif Betina belum lama ini merilis dokumenter debut "Ini Scene Kami Juga" yang menunjukkan perjuangan musisi yang diidentifikasikan perempuan di subkultur yang didominasi laki-laki. Pelecehan dan kekerasan seksual tetap tumbuh di lingkungan-lingkungan tersebut, terus-menerus menjadi bara dalam sekam.

Beberapa orang yang tidak terlalu optimis seringkali menyama-nyamakan gerakan feminis Indonesia dengan gerakan-gerakan feminis di Barat, dan bahkan berkata bahwa gerakan feminisme Indonesia dipengaruhi oleh mereka. Meski begitu, perbedaan konteks antara feminisme ala Indonesia dan ala Barat dibedakan secara jelas oleh akademisi feminis Gadis Arivia. Pada konferensi internasional bidang feminisme September tahun lalu, Arivia menolak gagasan bahwa feminisme dimulai di Barat. Sebaliknya, Arivia mengungkapkan betapa perempuan Indonesia telah memperjuangkan kesetaraan gender sejak awal Abad ke-20. "Di tahun 1928, ibu-ibu kita menyelenggarakan Women Congress, dan menyampaikan bahwa perempuan mesti mandiri dan poligami mesti ditolak, dan seterusnya," ujarnya.

Taarna menyetujui pendapat semacam itu. Sementara banyak perempuan menghadapi kendala yang sama di seluruh dunia, prioritas dan perjuangan spesifik yang diperjuangkan di Indonesia amat berbeda. "Misalnya, titik potong antara agama dan feminisme memiliki peran besar di sini daripada di barat. Amat penting bagi perempuan yang feminis dan religius untuk merasa bahwa suatu isu tidak mengucilkan isu lainnya. Dalam hal ini, feminisme barat bisa mengalienasi bagi feminis-feminis yang juga religius," ungkapnya.

"Penting sekali bahwa feminisme diakui sebagai gerakan internasional, tapi kebutuhan dan perjuangan individu dari kelompok-kelompok berbeda juga mesti diakui."