FYI.

This story is over 5 years old.

media sosial

Tak Ada Dukungan Bagi Guyonan Transfobia dan Bias Seksisme Ridwan Kamil

Postingan lelucon Wali Kota Bandung awal pekan ini berubah menjadi debat panas berhari-hari mengenai tendensi seksisme yang pernah muncul dari kebijakan pemkot.

Satu postingan kecil yang sebetulnya akan mendongkrak citra Kota Bandung berubah menjadi sumber perdebatan panas mengenai topik transfobia dan seksisme. Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung, terpojok karena komentarnya di Instagram yang mengesankan dia mempromosikan ketakutan publik terhadap keberadaan waria dan kalangan LGBTQ lainnya.

Semua kehebohan di medsos ini dipicu oleh postingan selebritas Thailand Punpun Sutatta Udomsil. Dalam postingan itu, Punpun mengirim ucapan cinta pada warga Kota Bandung. "I Love Bandung. To: Kang Emil #BandungJuara."

Iklan

Kang Emil, demikian sang wali kota kerap disapa, merespon balik ucapan itu dengan kalimat yang memicu masalah. "Dapat salam dari artis Thailand. Semoga dia bukan lelaki," kata Emil, menyoroti stereotipe bahwa banyak transgender Thailand melakoni operasi kelamin.

Komentar sang walikota segeran mengundang reaksi beragam dari para netizen di berbagai platform sosial media. Beberapa publik figur bahkan mengomentarinya melalui cuitan di twitter. Seperti Yenni Kwok jurnalis TIME dan CNN yang menilai ucapan Emil mengandung unsur seksisme, rasisme, dan transfobia.

Sutradara sekaligus selebritas Twitter Joko Anwar ikut menyoroti pilihan kata-kata sang walikota.

Setelah menuai beragam komentar, Ridwan Kamil pun mengoreksi caption Instagramnya dan meminta maaf pada publik. " Dapat salam dari artis Thailand. terima kasih untuk @punpun_sutatta (mohon maaf untuk posting sebelumnya, jika multi tafsir)"

Sebagian penggemar Emil mengapresiasi langkah sang wali kota meralat kata-katanya. Misalnya seperti komentar dari akun  Enricoreonald. "Lain kali lbh hati2 kang dlm memposting kata2nya, lbh difilter apalagi kang RK itu public figure. Kalo bukan public figure mungkin org2 ga akan terlalu gubris. Emang sih mksdnya pasti bercanda (gw bkn pembela lgbt tp gw juga ga transphobic)."

Warga Bandung, Lia Lestari, berpendapat bahwa caption yang ditulis Ridwan Kamil bisa jadi hanya upaya melontarkan lelucon di media sosial. "Mungkin dia pengennya bercanda, karena postingan dia juga captionnya selalu candaan… jokes receh soal perjombloan dan percintaan".  Kata Lia yang berprofesi sebagai Marketing Creative ini. "Karena dia juga walikota aja, jadi banyak yang berekspetasi sama dia jokenya sholeh aja (enggak aneh-aneh ya), ketika mengaitkan dengan gender jadinya sensitif".

Iklan

Ridwan Kamil sendiri pernah berpendapat bahwa LGBTQ adalah hak personal seseorang. Karena sikapnya yang cenderung positif pada penyuka sesama jenis, dia diserang kalangan sayap kanan di Twitter.

Persoalannya, bukan kali ini saja wali kota yang dulu diusung Partai Gerindra dan PKS ini menlontarkan kata-kata atau mempromosikan kebijakan dengan bias seksis serta transfobik. Contohnya pada 2014, komunitas #SayangBandung yang didukung Pemerintah Kota menggalakan kampanye anti-buang sampah sembarangan. Kampanye tersebut sempat menuai kritikan karena berbau seksis. Dalam iklan layanan masyarakat yang menghiasi billboard di jalan-jalan utama di Kota Bandung itu, tampak seorang perempuan berpose bersama dengan tagline "Pilih mana, bayar denda karena nyampah atau traktir aku?"

Beberapa kalangan menganggap kampanye ini mengandung objektifikasi perempuan sebagai daya tarik utama kampanye. "Kesannya kita enggak bisa bayar sendiri. If I want a car I'll buy it myself" kata Syarah Meidiana salah satu warga Kota Bandung. "I mean I get what they mean they're trying to get: an attention, but at what cost? Our dignity as a women who just want to live a life without male gaze? Dan sexism-nya juga goes both way. As if yang buang sampah tuh cowok-cowok doang."

Kontroversi terkait seksisme pun sebelumnya pernah muncul dari cuitan sang wali kota tentang kerja bakti.

Cuitan dua tahun lalu mengesankan kerja bakti hanya untuk kaum laki-laki, sedangkan perempuan cukup bertugas menyiapkan cemilan. Pilihan kata Kang Emil mengesankan perempuan Bandung sejati adalah mereka yang memenuhi kualifikasi "geulis" dan para ibu-ibu muda saja (yang mamah tapi tua dan mojang tapi tidak masuk kualifikasi cantik tidak boleh ikut?).

"Dari yang gue baca mungkin 'geulis Bandung' bisa dilihat dari historis-geografis katanya dekat dengan mata air gunung yang bikin kulit orang Bandung dianggap "cantik," kata Syarah. Pilihan Emil yang berulang kali menekankan kecantikan khas Bandung dalam pidato-pidatonya dianggap warga punya kecenderungan seksis. "Kalau ditarik ke isu-isu lain, gue sadar bahwa geulis itu cuma semacam mistifikasi."

Sebagai perempuan yang tumbuh besar di Bandung, semua perdebatan ini bukan perkara mudah. Rasanya jengah juga bila kita melulu dilabeli mitos "Mojang Bandung pasti cantik" atau "Gareulis atuh mojang Bandung mah!" atau "Geulis Bandung". Bagi saya yang tidak merasa atau tidak bersedia dilabeli demikian, rasanya engga enak banget berada dalam posisi sekarang.

Apalagi jika sorotan ini kembali muncul gara-gara lelucon tak sensitif dari pejabat publik di medsos.