FYI.

This story is over 5 years old.

Saya Lelah Dengar Curhatan Lelaki yang Karirnya Hancur Karena Kecanduan Pornografi

Inilah kisah tabib yang terbiasa memegang perkakas pria. Dia bilang generasi millenials banyak mengalami gangguan ereksi gara-gara film porno.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

*Fighting Words adalah kolum yang berisi tulisan nyeleneh  tentang tema-tema kurang populer di ranah fitnes, kesehatan, gizi dan lain-lain. Walau perspektifnya unik, namun semua esai wajib disajikan dengan argumentasi kuat. Ada unek-unek yang ingin disampaikan? Kirimkan idemu ke tonic@vice.com.  

Lazimnya, gangguan ereksi adalah urusan lelaki uzur. Gejalanya susah "berdiri", atau tak bisa "berdiri" untuk waktu yang cukup lama. Ini belum ngomongin masalah susahnya orgasme. Namun, kalau aku memainkan "punya mereka" dengan cara yang sangat spesial—dengan genggaman tertentu, sudut pergelangan tangan yang pas, dengan kecepatan dan kekuatan yang pas, sedikit plintiran dan elusan, gerakan yang makin lama makin kuat, niscaya dalam beberapa saat mereka "muncrat."

Iklan

Baiklah, sepertinya harus aku katakan bahwa aku adalah seorang tabib bidang Tantric Healer. Pekerjaanku sekilas namanya keren, padahal kalau kamu bisa saja menyebut pekerjaanku sebagai "Tukang Pegang Penis orang." Aslinya, aku tak sekedar mengelus-ngelus penis sembarang pria. Sebagai seorang pendeta yang ditahbiskan sebagai penolong kaum lelaki menjalankan kewajiban sucinya agar setiap lelaki senantiasa dapat menunaikan tugas keperkasaan seksual bersama perempuan pilihan. Begitu sih kerennya. Tapi Intinya, aku menyentuh banyak penis. Titik.

Oke, kembali ke masalah "susah bendiri" para lelaki uzur. Sebenarnya, itu sudah takdir. Om-om ini sudah hidup di Bumi bertahun-tahun dan entah sudah berapa kali memain-mainkan penis mereka. Alhasil, mereka kini menghadapi berbagai masalah dengan penis hingga susah berdiri. Sayangnya, belakangan justru generasi yang lebih mudah yang menemui kendala untuk "berdiri", mempertahankan ereksi, serta mencapai orgasme. Maraknya masalah ereksi pada lelaki muda memang tiba-tiba saja mencuat. Beberapa tahun terakhir, jumlah lelaki berumur 20-an tahun yang kesulitan membangunkan perkakasnya memang meningkat tajam.

"Sebarapa sering kamu nonton situs porno?" ujarku bertanya sehalus mungkin, pada pasien X yang tengah memasukkan ujung bajunya ke celana. Satu sesi terapi baru saja aku lalui.

Kaum millenials adalah generasi pertama manusia yang tumbuh besar bersama internet. Akibatnya, mereka lebih cepat mencapai masa akil baligh berkat bantuan akses web porno 24 jam sehari. Jadi, ketika generasi sebelumnya mengenal pornografi dari kartu remi bergambar perempuan telanjang atau majalah Playboy yang dicuri dari kamar ayah mereka, serta diam-diam membaca novel-novel Freddie S, remaja masa kini menggunakan koneksi internet supercepat mengklik puluhan tab di beberapa browser melihat gambar-gambar lucah beresolusi tinggi.

Iklan

Meski kedengarannya asoy, meracap sambil menjelajahi website porno punya efek samping sendiri.

Saat kita "Menonton" film porno (atau lebih tepatnya, meracap dengan bantuan konten porno), otak kita akan dibanjir dopamin, hormon dalam tubuh yang memicu munculnya sensasi nikmat. Namun, jika kita berlebihan dalam memacu pusat kenimkatan di otak, kita malah makin mati rasa. Artinya, makin sering kita menonton konten pornografi, semakin sedikit kepuasan yang kita dapat. Alhasil, rangsangan yang kita berikan harus makin kuat. Kita pun mencari yang lebih eksplisit dalam merangsang pusat kenikmatan dan menghabiskan waktu lebih lama untuk melakukannya. Begitu seterusnya. Sekelompok ilmuwan Cambridge University menggunakan MRI scan untuk mencari bagian otak yang terstimulasi oleh konten pornografi baik pada "penikmat pornografi biasa" dan pecandu pornografi. Menurut peneliti utama Valerei Voon, hasil penelitian menunjukan bahwa konsumsi pornografi dalam jangka waktu yang lama bisa mengubah pusat kenikmatan pada otak—bagaian otak yang menghasilkan dopamin. Karena berubah, pusat kenikmatan ini makin toleran dengan rangsangan luar.  Akibatnya, para pecandu pornografi harus mencari yang lebih nendang untuk bisa merangsang keluarnya dopamin (dalam hal ini orgasme).

"Memangnya kenapa kalau aku suka membuka situs porno?" Mungkin begitu jawaban pecandu YouPorn. Ituku tetap bisa keluar. Lagian masturbasi katanya bagus buat latihan kardio, benar begitu bukan?

Iklan

Sebenarnya engga juga. Masalahnya, masturbasi sesungguhnya adalah kegiatan merasang syaraf membuat kita merasakan kenikmatan. Nah, kalau kita terlampau sering atau terlampau keras merangsangnya, kita malah menurunkan respon syaraf tersebut. Makanya, kemampuan kita merespon kenikmataan seksual makin terbatas. Ini fakta yang makin sering saya temukan di meja prakter saya—lelaki muda bugar yang seharusnya sedang mengalami puncak stamina seksual tapi hanya merasakan sedikit saja kenikmatan seksual. Mereka sampai harus berusaha mati-matian, mengepal-ngepal  atau mengesek-gesekan anunya pada tangan saya yang menyentuhnya dengan lembut.

Terus apa salahnya dengan berusaha mati-matian, mengepal dan menggesek-gesekan anu? Mereka bertanya. Well, ini adalah bukti kebenaran temuan penelitian Voon. Pecandu pornografi "punya respon terhadap rangsangan seksual yang lebih rendah dan memiliki gangguan ereksi yang lebih parah" dari penikmat pornografi standar. Menggesek-gesek dan memegang penis dengan lebih keras adalah pertanda makin mati rasanya penis dan usaha-usaha yang lebih ekstrim para pasien untuk mendapatkan rangsangan yang lebih asoy. Ini terjadi karena—seperti yang telah kita tahu—mereka telah mentoleransi rangsangan seksual biasa. Mereka butuh rangsangan yang lebih kuat dan saru agar bisa "bangun" dan akhirnya orgasme.

Selama berpraktik, aku banyak melihat lelaki yang tak kecanduan konten pornografi akan bereaksi seperti ini: dia berbaring di atas meja praktek, matanya tertutup, terlena dengan pijatanku yang membuat makin rileks. Aku gerakan jariku menyusuri pinggir pinggulnya. Bulu romanya berdiri. Aku tempatkan telapak tanganku di atas tulang sakrum, dan perlahan-lahan ujung jariku menyentuh bagian dekat belahan pantat. Pinggulnya bergetar. Aku belai bagian dalam pahanya. Skrotum langsung kontraksi. Kalau sudah begini, aku tahu tak ada yang salah dengan pasienku. Semua sistem tubuhnya berfungsi dengan baik. Ketika sensasi yang aku berikan makin intens, pria ini tak merapatkan giginya, mengesek-gesekan penisnya atau setidak berusaha terlalu keras untuk terangsang. Dia membiarkan rangsangan mengaliri tubuhnya, merasakan kenikmatan yang tak harus dikejar, dipaksakan apalagi dipalsukan. Pecandu pornografi tak memiliki respon seperti itu. Tak bulu roma yang berdiri dan skrotum yang mengeras karena tak rangsangan yang saru dan berlebihan. Intinya, "perkakas" pecandu pornografi umumnya mati rasa kecuali terhadap rangsangan ekstrem pada penis. Dia juga tak kunjung "berdiri" meski sudah mengetatkan otot di daerah  perineum, mengangkat pinggul mereka agar kena sentuhan tanganku dan berusaha mati-matian membuat daerah bawahnya terangsang.

Iklan

"Bisa lepas bajumu?" ujar pasien Z dengan nada agak menyebalkan.

Kebiasan menonton konten pornografi membuat otak terbiasa menghubungan gambar visual yang eksplisit dengan rancangan seksual. Pecandu pornografi memerlukan rangsangan visual erotis untuk bisa "bangun." masalahnya, solusinya bukan menambah dosis pornografi, bukan makin sering menjadi perempuan sebagai obyek seksual belaka, bukan pula makin rajin nonton film-film JAV. Pria memang makhluk visual. Namun, pria yang sehat secara seksual bisa mendapatkan rangsangan dari sumber yang beragam dan tak melulu bergantung pada stimulus visual. Ini artinya, sebenarnya wajar-wajar saja kalau gambar-gambar daerah pribadi perempuah bikin seorang pria tegang. Ini manusiawi. Yang jadi masalah adalah ketika seorang pria-pria tak bisa "berdiri" tanpa bantuan stimuli visual yang erotis. Kalau begini kasusnya, pasti ada yang salah dalam perilaku seksualnya. Dan tentunya, ada yang harus berubah atau diperbaiki.

"Kenapa kamu tak menutup mata," kataku mengelak, "lalu fokus pada sensasi yang kamu rasakan."

Bukan masalah jika kamu mati rasa di atas meja tantrik. Beda urusanya jika kamu sedang hemhem dengan pasanganmu. Dia pasti ingin berbagi pengalaman erotis intim dan sangat memuaskan. Nah, kalau dalam situasi ini yang bisa kamu lakukan adalah menggertakan gigi, menggesek-gesek anumu dengan keras sembari membayangkan puluhan skenario jorok yang pernah kamu temukan di internet agar bisa terangsang, kamu dalam bahaya.

Iklan

Ini dia salah satu sisi negatif mencandu konten saru. Pornografi membuat hasrat pasanganmu akan sentuhan hangat manusia terkesampingkan karena pornografi membuatmu terbiasa dengan perempuan "2D" yang lebih gampang diurus daripada perempuan asli yang punya emosi, pms dan klitoris yang asli.

"Saya lebih memilih bertemu denganmu karena jujur saja aku agak sebal tiap kali harus melakuan foreplay dengan pasangan saya," ungkap seorang klien berumur 27 tahun.

"Mungkin konsumsi pornografinya harus dikurangi," aku mengusulkan karena meski aku merasa lumayan tersanjung, aku merasa risih menyembuhkan generasi yang kikut dengan keintiman dan terganggu kala harus menyenangkan pasangan.

Aku mohon maaf jika ini terdengar terlalu kasar. Tapi, aku benar-benar ada di garis depan di bidang ini dan kesabaranku sudah hampir habis. Jadi begini, pornografi itu industri jutaan dolar yang tak akan bangkrut dalam waktu dekat. Meski aku sering mendorong pasienku untuk masturbasi dengan menggunakan tangan yang tak dominan atau belajar mencintai aktivitas yang membuat pasangan mereka puas secara seksual, aku merasa apa yang aku lakukan sia-sia. Jadi rasanya, aku harus berhenti jadi tabib metode tantric.

Selebihnya, aku harap dengan sepenuh hati agar kalian—maksudku kalian yang mencandu konten pornografi—segera menjauh dari PornHub, lantas berusaha menemukan kegiatan otoerotis yang tak ada hubungannya dengan internet. Benearn deh, hidupmu akan lebih bahagia jika terbebas stimulus hormon yang berlebihan atau fantasi-fantasi seksual bombastis yang jauh dari kesan manusiawi.