Cara Terbaik Membujuk Pendukung Anti-Vaksin Agar Mau Berubah Pikiran

FYI.

This story is over 5 years old.

vaksin

Cara Terbaik Membujuk Pendukung Anti-Vaksin Agar Mau Berubah Pikiran

Capek debat dengan orang antivaksin di Internet? Bayangkan posisiku dong. Soalnya ibuku tidak percaya vaksin bagus untuk kesehatan.

Artikel ini pertama tayang di Tonic.

Aku dilahirkan di minggu terakhir 1990 di Plainfield, Vermont. Di kota itu, semua perempuan hamil bersalin dengan bantuan seorang bidan yang sama, Jude Luce. Di kota ini pula, cacar air dianggap baik bagi kesehatan, cara alamiah untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh. Yang lebih ajaib lagi, di kampung halamanku, ada anggapan gila yang mengatakan kalau rumah sakit itu hanya perlu dikunjungi kalau kita kecelakaan. Ke rumah sakit untuk berobat? Itu mubazir. Obat-obatan modern cuma bikin kesehatan kita makin suram, begitu katanya.

Iklan

Kira-kira bersamaan dengan waktu kelahiranku, ada yang memberi ibuku satu eksemplar buku A Shot In The Dark karangan Harris Coulter,  seorang dokter ahli homeopati dan pengobatan alternatif. Isinya bukunya engga jauh-jauh dari psuedosains yang menggambarkan vaksin layaknya bom waktu yang dimasukkan dengan paksa oleh pemerintah pada tubuh kita disertai berbagai pengakuan dari para orang tua. Buku ini secara khusus mencecar vaksin untuk pertussis—kepanjangan dari 'P' dalam dalam imunisasi DPT yang berguna untuk menangkal difteri dan tetanus—yang katanya bisa mengakibatkan kerusakan syaraf.

"Akhirnya buku itu dibaca banyak di Plainfield." ujar ibuku. "Dampak buku ini luar bisa, memantik keluarnya cerita-cerita menyeramkan seperti perawat yang menyaksikan seorang mati dalam dekapannya setelah diberi vaksin…semua orang di kota kecil ini menggunakan echinacea. Kami lumayan terdidik. Kami memang target yang empuk bagi buku itu."

Di buku itu, Coulter memang mengangkat beberapa masalah menyangkut vaksin, tapi tak satupun argumennya dilandasi fakta ilmiah: bagaimana mungkin bayi berbobot dua kg diberi dosis vaksin yang sama dengan pria yang memiliki berat 90 kg? Bagaimana mungkin jadwal pemberian vaksin yang cenderung memudahkan kerja tenaga medis bisa sesuai dengan perkembangan sistem kekebalan tubuh? Memangnya aman ya menyuntikan senyawa turunan air raksa (Thimerosal, yang berfungsi sebagai pengawet) ke dalam dalam tubuh? Dan tentunya, Coulter akhirnya mengajukan pertanyaan pamungkas itu: Kenapa program National Vaccine Injury Compensation hanya mau menerima klaim gejala salah vaksin dalam hitungan hari, kadang cuma jam, sementara autisme baru dikenali ketika anak menginjak usia dua tahun?

Iklan

26 tahun lalu, Internet belum mewabah. Jadi tak aneh, jika pertanyaan-pertanyaan ini terdengar valid. Intinya, kalau kamu kebetulan bukan seorang ilmuan dan bisa mengesampingkan egomu untuk mengatakan bahwa vaksin itu baik, pertanyaan-pertanyaan di atas terkesan punya landasan ilmiah. Bayangkan juga kamu salah satu orang tua baru yang tengah banyak cari tahu tentang bayi, aku bisa maklum jika kamu menganggap pertanyaan-pertanyaan Coulter ada benarnya karena sebagai ortu baru, lebih baik berhati-hati daripada salah kan?

Ibu yang melahirkanku di kamar mandi—engga masalah bagiku—tak pernah mau disuntik epidural saat bersalin karena dia selalu menaruh curiga pada motif para dokter, perusahaan farmasi apalagi industri asuransi kesehatan. Begitu juga ibu-ibu muda yang dikenalnya. Mereka punya pola pikir serupa. Perempuan, menurut pola pikir mereka, sudah sering melahirkan dan membesarkan anak tanpa campur tangan pemerintah. Lalu, tiba-tiba pemerintah mengambil kebijakan yang sangat orwellian: mewajibkan penggunaan vaksin. Bagi mereka, pemerintah sekonyong-konyong merendahkan kemampuan membesarkan anak mereka. Alhasil, perempuan sangat bergantung pada kaum pria yang untung banyak dalam skema baru ini.

Saat usiaku baru enam bulan, kami sekeluarga pindah ke Colorado, sebuah wilayah yang lebih sedikit lebih kota dari Plainfield. Di tempat baru, ibu sepertinya kelewat dirongrong oleh keharusan memvaksin anak. Akibatnya, dia membawaku periksa dari satu dokter ke dokter lainnya. Sayangnya, yang ibuku dapat cuma penilaian yang sok tahu. Takut dilaporkan pada pihak berwajib. Ibuku selalu bergonta-ganti dokter.

Iklan

"Aku dan ayahmu enggak mau terlihat mencolok apalagi aneh di Colorado. Kami takut didatangi petugas layanan sosial." tutur Ibuku. "[A Shot In The Dark] menggambarkan vaksin sebagai sesuatu yang dipaksakan. Misalnya, Sherrif bisa datang dan memasukkan kami ke penjara jika kami tak memvaksin kamu. Kami memang takut banget pada pemerintah."

Saat berusia tiga tahun, aku kena cacar air ringan. Tapi ternyata, setelah sembuh, aku tak langsung kebal cacar air. Tiga tahun kemudian, cacar air datang lagi. Kali ini lebih parah. Aku jadi yang terakhir kena cacar air di kelasku. Setahun kemudian, satu angkatan SDku langsung divaksin semua.

Satu dekade kemudian, informasi palsu tentang vaksin menyebar kemana-mana. Di saat yang sama, desakan publik untuk memberikan vaksin pada anak makin kuat. Ketika akhirnya adikku yang paling bontot disuntik vaksin cacar air di tahun 2005, itu adalah kali pertama dokter kami menangani kasus vaksin cacar air. Sebenarnya, Ibuku yang memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa adikku. Hanya satu orang di bangunan Kaiser Permanente pernah melihat cacar air. Ibuku bilang, dokter meminta ibu dan saudariku keluar lewat tangga belakang.

Nama dokter itu masih terus aku ingat, Sonya Black. Dia satu-satunya dokter yang telaten mendengarkan semua kekhawatiran ibuku tentang vaksin tanpa harus memberikan komentar sok benar. Walau Black jelas ingin aku dan saudara-saudaraku divaksin, tak pernah sekalipun dia memaksa ibu. Kalaupun dia berhasil menghapus kecurigaan ibu terhadap industri obat-obatan, Black melakukannya dengan amat perlahan. Alhasil, ibu merasa nyaman dan jadi langganan Sonya. "Kalian adalah keluarga anti vaksin satu-satunya yang aku pernah temui." ujar Black beberapa waktu lalu. "Kalian juga satu-satunya keluarga anti vaksin yang jadi aku temui dalam waktu lama, ini jarang terjadi lho di Denver."

Iklan

Namun, keluarga anti vaksin jamak ditemukan di Boulder, daerah berjarak 45 menit perjalanan dari Colorado yang lekat dengan komunitas hippies pemadat ganja yang liberal. Menurut Black, ketika pertama kali datang ke Boulder pada tahun 2001, vaksinasi masih jarang dilakukan di Boulder County. Akibatnya, tingkat vaksinasi di negara bagian Colorado begitu rendah. "Untungnya, mayoritas kaum penentang vaksin yang aku temui di Boulder bukan seperti pendukung Trump yang sinting. Simpelnya mereka lebih percaya sistem pengobatan holistik. Jadi, kami melihatnya sebagai sebuah komunitas homeopati."

Saat duduk di bangku SMA umum, bahkan dengan sisa-sisa pola pandang hippies yang tersisa dalam diriku, pola pikir ibu yang masih anti vaksin seperti sudah kurang nyambung dengan diriku. Istilahnya begini deh. Misalkan seorang guru bahasa Inggris kesayangku tiba-tiba menerangkan kalau bumi itu datar, bukannya bulat. Saya pasti merasa bingung bagaimana guru ini bisa sampai ke kesimpulan gila macam itu, meskipun, sekali lagi misalnya, aku dibesarkan di keluarga yang percaya bumi datar.

Akhirnya, aku divaksinasi juga—tepatnya pada tahun 2009. Gara-garanya sederhana sekali: universitas yang ingin aku masuki mewajibkan mahasiswanya sudah pernah divaksin. April tahun itu aku mendapatkan vaksin kombo MMR untuk mencegah campak (measles), mumps (gondok) dan campak jerman (rubella). Di bulan mei, aku mendapatkan vaksin polio. Di bulan Juli, aku divaksin polio (lagi), MMR (lagi), hepatitis B. Darahku juga diambil untuk menyakinkan bahwa aku pernah kena cacar. Di bulan Desember, giliran vaksin hepatitis B (lagi) dan hepatitis B.  Lalu, pada bulan mei 2010, aku lagi-lagi dapat vaksin hepatitis B dan akhirnya hepatitis A lagi di bulan Juni 2010.

Iklan

Masa-masa aku mendapatkan banyak vaksin jelas membuatku ibuku yang masih percaya vaksin berbahaya ketar-ketir. Dia kerap mendebatku dengan mengumbar argumen-argumen khas kaum konservatif. Meski demikian, ketidaksukaannya pada sistem vaksinasi tak menghalangi hasratku melanjutkan pendidikan di jenjang kuliah.

Sebelumnya, aku pernah mendapatkan suntikan tetanus pada tahun 2006 karena digigit anjing. Rupanya, tenaga medis memberiku sedikit bonus. Saat menyuntikan vaksin tetanus, mereka juga menyertakan vaksin anti difteri. Yang belum aku dapatkan hanya pertussis, vaksin yang waktu itu masih ditakuti ibuku gara-gara banyak dibahas di buku karangan Coulter.  Tempatku kuliah tak merasa vaksin pertussis wajib. Aku baru sadar aku belum mendapatkannya sampai sekarang.

Aku sempat tinggal di luar Amerika Serikat. Tapi pada tahun 2010, wabah meningitis mematikan melanda universitas-univesitas Colorado. Selama beberapa tahun kemudian, ibuku akhirnya sadar bahwa ilmu pengetahuan yang ia tanamkan padaku saat tumbuh dewasa banyak yang tak valid. Barangkali ini adalah hasil dari perdebatan menahun bersama Black—yang melayani ibu dengan telaten—dan denganku yang kadang pongah saat mendebat ibu.

Seorang bayi menerima dosis vaksin yang sama, ibu akhirnya paham, karena vaksin tidak bekerja dengan mencapai level tertentu dalam aliran darah. Vaksin melatih sel T dan B dalam sistem kekebalan tubuh kita untuk melawan infeksi yang biasa menyebar dalam tubuh. Sistem kekebalan tubuh kita sebenarnya tak peduli apakah vaksin didapatkan sekaligus atau secara berkala, wong sistem kekebalan kita sibuknya bukan main tiap hari.

Iklan

Ada berbagai macam air raksa yang masuk dalam tubuh kita dan tak semuanya bikin kamu sakit. Dan meski jangka waktu kompensasi vaksinasi bervariasi tergantung kondisi, berbagai penelitian menunjukkan kecenderungan autisme sama tingginya pada anak yang menerima vaksinasi atau tidak.

Jika kamu bisa mengesampingkan pendapat Jill Stein barang sebentar, citra tentang kaum penentang vaksin adalah kaum sayap kanan yang tak makan bangku sekolah, bisa saja berkulit putih dan tentu saja bloon—dalam contoh lain, mereka bisa berupa pemuja teori konspirasi yang koar-koar tentang autisme di facebook tanpa didukung data ilmiah yang kuat. Penolakan bahwa golongan anti vaksin juga bisa mencakup orang-orang yang cerdas dan toleran sangat mudah dipahami. Kita selalu tak mau dikaitkan dengan hal-hal yang merusak citra kita di depan orang. Ibuku misalnya, dia adalah seorang berkulit berwarna yang pernah mengeyam pendidikan di bangku kuliah. Ibuku juga seorang feminis vokal yang membela Hillary dan enteng saja membaca biografi  Lyndon Johnson. Propaganda kadang menyusup tanpa kita sadari.

Penentang vaksin banyak ditemui baik di kaum kiri ekstrem dan kaum kanan ekstrem. Jika kamu pikir pemerintah federal Amerika Serikat korup dan dikangkangi Wall Street dan raksasa farmasi dunia, histeria anti vaksin akan menyusup dalam pola pikir kamu tanpa peduli siapa yang kamu pilih jadi presiden. Trump, yang baru saja mengangkat tokoh anti vaksin Robert F. Kennedy Jr. untuk mengetuai komisi vaksin, sebenarnya menggunakan taktik yang sama seperti Coulter pada 1985.

"Coba bayangkan, ada satu bayi lucu dan anda menyuntikan vaksin ke tubuhnya—maksudku, vaksin itu kan seperti lebih tepat buat kuda, bukan buat bayi. Contohnya sering saya lihat seperto pada orang-orang yang bekerja padaku," ujar Trump dalam debat kedua partai Republican. "Baru beberapa hari lalu, bayi berumur dua tahun, anak yang lucu sekali. Dia diberi vaksin. Seminggu kemudian, dia kembali. Badannya meriang. Kena demam rupanya. Dia lantas sakit parah. Sekarang dia kena autisme."

Dalam kasus ibuku, akal sehat uang menang, meski kemenangan ini baru dicapai setelah Black dengan telaten mengubah pola pikir ibuku. "Ibumu banyak melakukan riset," ujar Black. "Mungkin cerita berbeda kalau kalian menjadi pasienku ketika kamu masih bayi. beruntung, cara aku mendekati ibu adalah memastikan bahwa [tidak memberikan vaksin] adalah keputusan yang boleh dia ambil. Banyak dokter tak mau menangani pasien kalau tak pernah menerima vaksin. Yang aku lakukan pada ibumu cuma bilang 'Gini lho sains sih bilangnya gini, tapi aku bakal terus merawatmu.'"