Politik

Pengamat Menilai Presiden Kita Punya Satu Masalah Besar: Terlalu Sering Temui Buzzer

Pertemuan ini sampai membicarakan isu penting macam reshuffle. Kata pengamat, keputusan Jokowi berkumpul sama buzzer menunjukkan ia sadar pemerintahannya mulai tidak populer di mata rakyat.
Jokowi Dikritik karena Terlalu Sering Kumpulkan Buzzer-buzzernya ke Istana
Presiden Jokowi berswafoto bersama pendukungnya di Jakarta. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Kritik terhadap kedekatan berlebihan presiden Joko Widodo dengan buzzer media sosial mengemuka, setelah RI-1 menemui artis dan influencer relawannya di Istana Bogor, 18 Februari lalu. Bukan hanya bertemu, Jokowi bahkan mengabarkan kepada para relawannya bahwa ia akan me-reshuffle kabinetnya yang baru berumur empat bulan kepada para pendengung itu.

Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra merasa, dengan lebih memilih ketemu influencer pro-istana, Jokowi terkesan kurang menghormati para pimpinan formal, staf ahli, atau menteri terkait di pemerintahan. Terlebih seharusnya setelah menang pilpres, kelompok relawan perlu dibubarkan. Hmmm, apa perlu pegiat Aksi Kamisan jadi simpatisan Jokowi dulu baru bisa diajak diskusi bareng?

Iklan

"Hal ini menandai Jokowi tidak memiliki kepercayaan kepada para pembantu formalnya untuk mendiskusikan hal sepenting struktur pemerintahannya. Maka wajar jika kemudian terjadi silang pendapat soal reshuffle, terburuknya jika kemudian publik tidak percaya pada lembaga-lembaga formal di masa mendatang," kata Dedi kepada Tempo.

Dedi yang juga dosen komunikasi di Universitas Telkom menganggap, keputusan begini menunjukkan sistem pemerintah tidak berjalan baik. Soalnya, pertimbangan keputusan-keputusan Jokowi jadi didengar sama pendukungnya sendiri. Dedi khawatir, kebiasaan ini akan memicu kegaduhan politik karena tata kelola komunikasi pemerintahan terlihat buruk.

Kabar akan adanya reshuffle disampaikan ke media oleh pegiat media sosial Dede Budhiyarto, salah seorang relawan Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019, yang salah turut hadir di pertemuan Istana Bogor tersebut. Pertemuan yang terjadi kurang lebih satu jam juga diikuti i nfluencer Ulin Yusron dan Chico Hakim.

Pengamat politik Achsin Ibnu Maksum punya pendapat senada dengan Dedi. Ia melihat Jokowi mengumpulkan buzzer ke Istana menandakan ia sedang merasa tidak populer di mata rakyat.

"Mengumpulkan buzzer di istana, Jokowi merasa sudah tidak populer di mata rakyat. Buzzer ini akan mencari pembenar berbagai kebijakan Jokowi yang menyengsarakan rakyat. Omnibus law RUU Cipta kerja mendapat protes keras dari Indonesia. Maka buzzer istana mengampanyekan bahwa omnibus law RUU Cipta Kerja sangat baik," ujar Achsin kepada Suara Nasional.

Iklan

Perkara keberatan terhadap Presiden yang ngundang buzzer ke istana pernah disampaikan Lord Fadli Zon pada 2017 lalu. Jokowi udah dianggap memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan doktrin positif terhadap imejnya di media sosial melalui influencer-influencer ini.

"Di tengah wabah hoax, hate speech, dan eksploitasi isu SARA di kalangan pengguna media sosial kita, mengumpulkan para buzzer pendukung pemerintah adalah bentuk komunikasi politik yang bermasalah dari seorang kepala negara," kata Fadli.

Namun, menurut Staf Khusus Bidang Komunikasi Presiden kala itu, Johan Budi S.P., keputusan presiden kala itu bukanlah mengundang buzzer, namun hanya semata melibatkan rakyat dalam pemerintahan.

"Bukan (buzzer). Itu kan banyak, ada 80-an [yang diundang]. Ya, itu netizen saja. Di situ Presiden menyampaikan himbauan untuk tidak saling maki-memaki di media sosial kepada siapa pun. Yang santun menggunakan media sosial. Di dalam pertemuan itu ya," bela Johan dilansir Okezone.