Vaksin COVID-19

Warga DKI Gugat Aturan Denda Rp5 Juta Penolak Vaksin Covid-19 ke Mahkamah Agung

Bagi kaum anti-vaksin, denda itu berlebihan. Pengamat menilai kebijakan yang bersifat menakut-nakutin cenderung membuat sebagian orang resisten.
Warga DKI Jakarta Gugat Aturan Dena Rp5 juta Penolak Vaksin Covid-19 ke Mahkamah Agung
Proses pengembangan vaksin Covid-19 oleh staf Sinovac. Foto oleh Wang Zhao/AFP


Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta 2/2020
 yang mengatur pewajiban vaksinasi bagi warga dinilai memberatkan. Pasal 30 aturan yang diteken 12 November lalu ini mengatur, siapa pun yang dengan sengaja menolak divaksin akan didenda maksimal Rp5 juta.

Seorang warga DKI Jakarta bernama Happy Hayati Helmi lantas menggugat aturan tersebut ke Mahkamah Agung (MA) pada Kamis (17/12) kemarin. Menurut Happy, aturan ini adalah pemaksaan. Selain itu besaran denda juga di luar kemampuannya.

Iklan

Kuasa Hukum Happy, Viktor Santoso Tandiasa, menyebut peraturan ini bertentangan dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Singkatnya, Indonesia punya aturan bahwa setiap orang berhak secara mandiri menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang ia terima.

“Mengingat selain sanksi denda bagi dirinya, pemohon juga memiliki seorang suami, seorang adik, dan seorang anak yang masih balita. Artinya apabila pemohon menolak vaksinasi bagi keluarganya, maka pemohon harus membayar denda sebesar Rp5 juta x 4 orang = Rp20 juta,” kata Viktor dalam siaran persnya, Jumat (18/12). Selain Viktor, Happy juga diwakili Yohanes Mahatma dan Arief Triono dalam tim kuasa hukum.

Pasal 30 Perda DKI Jakarta 2/2020 sendiri berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).”

Aturan ini dianggap Happy tidak jelas, mengingat pemerintah tidak menjamin apakah setelah membayar denda berarti masyarakat benar-benar bisa menolak vaksinasi, atau justru tetap dipaksa ikut. Viktor mengatakan pula bahwa Menteri Kesehatan berujar vaksinasi adalah pertahanan nomor dua mencegah risiko penularan Covid-19 setelah protokol 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), sehingga tidak adil apabila vaksin yang sampai saat ini belum terbukti manjur dipaksakan kepada warga.

Iklan

Selain mengatur hukuman para penolak vaksin, perda tersebut juga mengatur denda bagi penolak tes PCR (Rp5 juta), pembawa jenazah Covid-19 tanpa izin (Rp7,5 juta), dan pasien yang kabur dari tempat isolasi (Rp5 juta). “Menghalangi vaksin juga dendanya bahkan Rp5 juta sampai Rp7 juta,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria.

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah sepaham dengan kekhawatiran Happy. Menurutnya, kebijakan ini bisa membuat masyarakat khawatir dan cemas.

“Menurut saya kebijakan ini malah jadinya menakut-nakuti masyarakat. Artinya, kebijakan itu malah membebani masyarakat, karena persoalannya kan kalau orang tidak mau divaksin dan dikasih denda Rp5 juta itu, pada akhirnya masyarakat seperti dipaksa. Dan itu sangat mahal dan sangat berat dengan denda Rp5 juta. Kalau misalnya itu terjadi justru akan jadi bumerang membebankan masyarakat,” jelas Trubus kepada Tagar.

Indonesia telah mengimpor 1,2 juta dosis vaksin bernama CoronaVac produksi Sinovac Biotech Ltd. dari Tiongkok pada 6 Desember lalu. Sinovac belum mengumumkan hasil uji klinis fase 3 vaksin ini, menimbulkan keraguan di kalangan tenaga kesehatan tentang keamanannya, meski vaksin tersebut sudah dipakai terbatas di Tiongkok pada Juli lalu.

Pemerintah kini tengah menunggu persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan fatwa halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelum mengedarkan CoronaVac kepada penerima prioritas. Pada Januari 2021, pemerintah berencana menambah impor vaksin Sinovac sebanyak 1,8 juta dosis. Vaksin ini hanya bisa diberikan pada manusia berusia 18-59 tahun.